BAB 6: BUNYI LONCENG DI PINTU KEMATIAN
Novel_Santo_dan_Santi
Penulis Cerita: Jakaria
BAB 6: BUNYI LONCENG DI PINTU KEMATIAN
Rumah itu bergetar.
Bukan oleh gempa, bukan pula oleh angin. Tapi oleh sesuatu yang tak terlihat. Malam ini, suasana di Desa Lingsir begitu sunyi dan dingin, seolah seluruh alam menahan napas. Di balik jendela kaca rumah Pak Suro, Santi berdiri mematung, matanya terpaku ke arah kegelapan luar. Di kejauhan, terdengar... dentang... satu suara kecil, seperti lonceng berdenting pelan.
Santo langsung menghampiri Santi, menggenggam tangannya.
"Aku juga dengar," katanya pelan, matanya waspada.
Dentang itu tak seperti suara dari menara masjid. Tidak juga seperti suara logam biasa. Ada gema dalam dentangnya, ada gema yang menyentuh kulit sampai tulang. Dan setiap kali bunyi itu muncul, jantung mereka berdegup lebih cepat.
Pak Suro melangkah masuk ke ruang tengah dengan sorban setengah kusut.
"Itu sudah mulai," katanya tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Wajahnya tegang. "Jangan buka pintu malam ini, apa pun yang terjadi."
Nyai Ranti duduk bersila di tikar pandan, mengayun-ayunkan dupa dari tempurung kelapa. Aromanya menyengat, seperti rambut terbakar dan bunga bangkai. Gendis bersembunyi di belakang kain tirai, bibirnya gemetar, menyaksikan orang-orang dewasa bersiap seakan akan terjadi perang.
"Mulai apa, Pak?" tanya Santo, mencoba mengendalikan logika.
Pak Suro hanya menatapnya. Dalam tatapannya, ada trauma lama yang belum sempat sembuh. “Lonceng itu bukan sembarang lonceng. Itu tanda bahwa penjaga batas sedang berjalan.”
Santi mencengkeram tangan Santo makin erat. "Penjaga... batas?"
Nyai Ranti menyahut, suaranya berat, seperti berasal dari dua suara sekaligus.
“Di desa ini, ada pintu. Tapi bukan pintu biasa. Itu pintu antara dunia kita dan dunia para arwah yang tak diterima. Mereka bukan sekadar hantu. Mereka yang ditolak bumi dan langit.”
Lonceng berdentang sekali lagi. Kali ini lebih dekat. Tak ada angin. Tak ada langkah. Tapi suara itu seperti bergerak mendekat... dari arah luar rumah.
Santo mendekat ke jendela, tirai sedikit tersingkap. Di luar... tidak ada siapa-siapa. Tapi ada bayangan. Seolah kabut membentuk sosok tinggi berjubah hitam. Ia tidak bergerak, hanya berdiri di jalan tanah, menghadap ke rumah mereka.
“Jangan lihat!” bentak Pak Suro.
Terlambat. Mata Santo dan Santi sudah menangkap bayangan itu. Dan seperti efek domino, udara di dalam rumah tiba-tiba berubah. Lampu minyak bergoyang. Nyala lilin menari liar. Gendis berteriak.
“Dia tahu kita melihatnya,” bisik Nyai Ranti.
Mereka semua terduduk dalam lingkaran. Di tengah ruangan, Pak Suro menancapkan sebilah keris berlumur minyak hitam. Urat-urat tangannya tegang saat ia membaca doa-doa dalam bahasa Jawa kuno yang bahkan Santo belum pernah dengar.
“Keris ini dari mbahku,” katanya cepat. “Dulu dia juga yang mengusir makhluk dari batas itu. Tapi yang sekarang lebih kuat. Karena dia... membawa dendam.”
Nyai Ranti membuka kantong kain kecil dan mengeluarkan boneka jerami dengan wajah arang gosong. “Seseorang telah membuka pintu itu,” katanya. “Dan mengundang sesuatu yang seharusnya tidak datang.”
Santi gemetar. “Apakah karena aku... yang membuka loteng itu?”
Nyai Ranti menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Kau tidak tahu. Tapi ya... dia sudah menandai kalian sejak itu.”
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan dari arah pintu depan.
Tok... tok... tok...
Tiga kali. Rapi. Tenang. Menyakitkan.
Tak ada yang bergerak. Bahkan Gendis menahan napas.
“Jangan dibuka,” bisik Pak Suro. “Walau dia menyebut nama kalian, jangan dibuka.”
Dan benar saja.
Beberapa detik kemudian, suara dari luar berkata dengan lembut, suaranya seperti bisikan angin yang dicampur dengan suara logam pecah.
“San...ti… Santo…”
Tubuh Santi kaku. Santo berdiri dan hampir saja melangkah ke pintu jika Nyai Ranti tidak menariknya kembali.
“Itu bukan manusia. Dia hanya memakai suara manusia yang pernah kalian kenal.”
Ketukan berhenti. Tapi tiba-tiba, ada sesuatu yang lebih menyeramkan terjadi. Sebuah cermin di pojok ruangan... retak perlahan. Dan di dalamnya, bukan bayangan mereka yang terlihat, tapi… wajah seorang wanita berambut panjang dan mata terbalik. Ia tersenyum, darah menetes dari bibirnya.
Santi menjerit. Santo berbalik dan memeluknya.
Pak Suro meraih kendi tanah liat dan memecahkannya di depan pintu.
“Air mawar campur besi tua. Itu bisa menahan arwah luar selama satu malam.”
“Malam ini...?” Santi mulai menangis. “Cuma malam ini?”
Nyai Ranti mengangguk.
“Besok, kalian harus pergi ke tempat asal lonceng itu. Kalau tidak, dia akan datang lagi. Dan kali ini, dia akan masuk.”
---
PAGI HARI DI BALIK DINGIN
Mentari belum muncul. Tapi suara azan subuh telah membelah keheningan. Udara terasa lebih ringan, meskipun semalam mereka semua tidak bisa tidur. Pak Suro duduk di serambi rumah, wajahnya lelah.
“Tempat asal lonceng itu... di mana?” tanya Santo.
“Di ujung desa. Di tanah yang dulu disebut Alas Sentono. Tak ada yang berani ke sana lagi. Di sanalah pintu itu dibuka pertama kali. Dan hanya di sana, kalian bisa menutupnya.”
Nyai Ranti menambahkan, “Tapi kalian tak bisa pergi begitu saja. Kalian harus membawa penuntun. Dan penuntun itu... adalah seseorang yang sudah mati di sana.”
Santi menatapnya tak percaya. “Maksudnya?”
“Arwah yang belum sempurna. Seseorang yang pernah mengenal batas antara hidup dan mati.”
Gendis menyela, suaranya lirih. “Aku tahu satu nama... Mbok Iyem. Dia pembantu kami dulu. Dia meninggal di sana, kan?”
Pak Suro terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Mungkin... itu satu-satunya cara.”
(Bersambung ke Bab 7)
Puisi:
GEMA LONCENG YANG TAK TERDENGAR
Lonceng berdenting di malam kelam
Menyebut nama dengan lirih tenggelam
Duka mengendap di balik malam
Menanti jiwa yang akan karam
Langkah samar di lorong sunyi
Menyentuh hati dengan suara sepi
Gigil tubuh tanpa bisa lari
Saat kegelapan datang mengunci
Kabut tipis menari pelan
Menyusup waktu membawa beban
Dari masa silam yang telah ditelan
Kini kembali sebagai ancaman
Jangan dengar suara itu berulang
Ia bukan panggilan untuk pulang
Tapi jerat dari kutukan yang datang
Menarik nyawa dalam diam yang benderang
Bogor, 5 Mei 2025
Quote:
"Terkadang, yang berdiri di depan pintu bukan tamu, tapi penjemput yang tak terlihat."
#Bab6 #NovelHororCinta #SantoDanSanti #RumahTerlarang #GemaLoncengMaut
