Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7: PINTU KEEMPAT YANG TERLUPAKAN

‎Novel_Santo_dan_Santi

‎Penulis Cerita: Jakaria

‎BAB 7: PINTU KEEMPAT YANG TERLUPAKAN

‎Malam keempat di rumah tua itu tak seperti malam-malam sebelumnya. Angin tidak lagi hanya menggoyangkan dahan kering, melainkan menggugurkan daun-daun seperti serpihan kulit dari tubuh yang menua. Aroma bunga kamboja yang biasa hanya samar, kini menyengat. Seolah seseorang menaburinya dari dalam rumah.

‎Santo duduk di ujung dipan yang berderit, menatap pintu lemari tua di kamar tamu. Pintu itu selalu terkunci, dan tak pernah dibuka sejak mereka pertama datang. Tapi malam ini, entah kenapa, engselnya tampak seperti bergeser sendiri.

‎Santi berdiri di ambang jendela. Tatapannya kosong ke luar, tapi matanya seperti menangkap sesuatu yang Santo tak lihat. “San... kamu dengar itu?”

‎Santo menajamkan telinga. Tak ada suara.

‎“Apa?”

‎“Suara langkah kaki... dan tangis kecil. Dari bawah lantai.”

‎Santo berdiri, wajahnya menegang. “Jangan bercanda, Sant.”

‎“Aku nggak bercanda. Itu suara anak kecil.” Santi meraih tangannya. “Aku takut...”

‎Santo menarik napas dalam-dalam. Ini bukan pertama kalinya mereka mendengar suara-suara. Tapi malam ini terasa berbeda. Lebih dingin. Lebih menyesakkan. Dan... lebih dekat.

‎Tanpa berkata banyak, Santo membuka lemari tua itu. Di dalamnya, tidak ada pakaian. Hanya dinding polos.

‎Namun...

‎Ada sesuatu yang berbeda. Garis halus di papan belakang lemari memperlihatkan lekukan menyerupai pintu rahasia.

‎Santo memukul papan itu pelan. Kosong. Seperti ada ruang di baliknya.

‎“Kau lihat ini?” bisik Santo.

‎Santi mengangguk, suaranya tercekat. “Itu... pintu keempat... yang belum kita buka, kan?”

‎Santo menatap Santi. “Kau tahu tentang ini?”

‎Santi memejamkan mata. “Nyai Ranti pernah bilang... rumah ini punya empat pintu kematian. Tiga sudah kita temukan. Tapi satu, katanya... hanya akan terbuka jika salah satu dari kita siap menerima takdir terburuk.”

‎Santo menghela napas, lalu menekan lekukan itu. Sebuah mekanisme tua bergerak dengan derak pelan.

‎Dan pintu terbuka.

‎Dari balik pintu, lorong sempit terbuka ke bawah tanah. Tangga batu menuju ruang gelap yang mengembuskan udara beku dan bau tanah basah—serta bau anyir yang baru.

‎Mereka saling pandang.

‎“Kalau kita masuk... kita nggak bisa kembali sebagai orang yang sama lagi,” kata Santi.

‎Santo menggenggam tangan kekasihnya. “Apapun yang terjadi, aku bersamamu.”

‎Mereka turun perlahan.

‎Tangga itu menurun curam. Lampu minyak di dinding menyala sendiri, satu per satu, membentuk jalur ke ruang bawah yang seperti kapel tua.

‎Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu. Di atasnya, terdapat foto tua dari seorang anak kecil—Gendis.

‎“Ini... foto Gendis waktu kecil?”

‎Santi mengangguk. “Tapi... lihat matanya. Matanya... hitam semua.”

‎Dari bayang-bayang, suara geraman rendah terdengar.

‎Muncullah sosok perempuan berpakaian putih, rambut panjang menutupi wajahnya, berdiri di belakang meja batu itu.

‎“Gendis bukan manusia biasa...” suara itu berat dan tua, meski berasal dari sosok anak kecil.

‎“Dia anak pertama yang dikorbankan untuk menjaga gerbang ini tetap tertutup,” lanjut suara itu. “Tapi kau, Santi... darahmu yang akan membuka jalan baru.”

‎Santi mundur, terhuyung.

‎Santo menghunus pisau kecil yang selalu dibawanya sejak kejadian aneh dimulai. Tapi pisau itu seketika meleleh di tangannya, seperti meleleh dalam panas yang tak kasat mata.

‎“Tak bisa melawan kami dengan besi,” ucap sosok itu, kini wajahnya perlahan tampak—Nyai Ranti.

‎Tapi wajahnya lebih tua. Lebih mengerikan. Mata putihnya membesar dan mulutnya penuh taring.

‎“Nyai...?” gumam Santi.

‎“Ini bentuk asliku, Santi. Kau pikir kau bisa datang ke rumah ini tanpa bayar harga? Santo adalah kunci, tapi kamulah gerbangnya.”

‎Santi menjerit ketika bayangan hitam merayap dari sudut ruangan dan menyatu ke tubuhnya. Ia terdorong ke meja batu, tubuhnya mengejang, dan luka luka lama di punggungnya berdarah kembali.

‎Santo mencoba menariknya, tapi bayangan itu membakar tangannya.

‎“Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!” teriak Nyai Ranti.

‎Tiba-tiba, dari atas tangga, suara Pak Suro terdengar.

‎“PERGI KAU, NYAI!”

‎Cahaya dari lentera tua yang dibawanya memancarkan kilat terang yang menyilaukan. Nyai Ranti memekik dan terhuyung mundur, sementara Santi jatuh ke lantai.

‎Pak Suro berlari turun. Di belakangnya, Gendis muncul, tapi matanya kini normal. “Santi bukan pengorbanan. Dia adalah pemutus kutukan ini!”

‎Dengan sigap, Pak Suro menyerahkan sebotol kecil cairan ke Santo.

‎“Percikkan ke jantungnya! Itu darah akar dari tanah leluhur!”

‎Santo menuangkannya ke dada Santi. Tubuhnya bergetar, lalu suara lengking tajam terdengar dari dalam tubuhnya—suara lain yang bukan suaranya sendiri.

‎Nyai Ranti memekik, tubuhnya mulai terbakar api tak kasat mata, menjerit dan akhirnya meledak menjadi debu.

‎Suasana hening.

‎Santi terbaring lemas. Napasnya tersengal. Tapi matanya terbuka.

‎“San... aku lihat... semuanya. Tentang Gendis. Tentang rumah ini. Tentang kita...”

‎Santo menatap matanya. Air matanya jatuh.

‎“Aku kira aku kehilanganmu.”

‎Santi mengelus pipinya. “Belum. Tapi kita harus siap... karena tiga pintu lainnya belum tertutup sepenuhnya.”

‎Mereka saling menatap dalam keheningan ruang bawah tanah itu. Gendis mendekat, wajahnya tenang.

‎“Kalian harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai... atau semuanya akan bangkit kembali.”

‎Lampu-lampu padam serempak.

‎Dan langkah kaki mulai terdengar dari tangga di atas mereka.

‎(Bersambung ke Bab 8)

‎Puisi :

‎JALANAN MENUJU GELAP YANG KEEMPAT

‎(Jakaria)

‎Langkah menjejak tanah yang beku

‎Dibalik kabut kutemukan bayang semu

‎Teriakan sunyi menghantam waktu

‎Menuju lorong yang tak bermuara di kalbu

‎Kupanggil nama di antara desah abu

‎Tak satu pun menjawab, semua membisu

‎Dinding berbisik dalam bahasa berseru

‎Mengikat nyali dalam dingin yang membeku

‎Gemeretak tulang di bawah sepatu

‎Menyeret kisah lama yang membiru

‎Ritual pun usai sebelum disuruh

‎Namun, arwahnya belum tentu setuju

‎Bayang keempat membuka pintu

‎Tak bercahaya, hanya rindu yang layu

‎Luka mengalir tanpa sembuh waktu

‎Satu jiwa tergadaikan—tak berpalu

‎Bogor, 6 Mei 2025

‎Quote:

‎"Ketika kau pikir semua telah terbuka, ada satu pintu yang tertutup rapat di balik nyawa."

‎#SantoDanSanti #NovelHororCinta #GerbangKematian #ArwahTerikat #NyaiRanti #KisahMisteri #RumahBerhantu #PuisiMalam #KematianKeempat

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel