Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Penindasan yang Tak Tertahankan

Aku terbaring di matras tipis di lantai dapur. Punggungku sakit. Aku mendengar suara tawa dari ruang tamu. Aku bangun dan mengintip melalui celah pintu.

Putri sedang duduk di sofa, memeluk ibu. "Bu, tolong pijat bahuku ya. Lelah sekali hari ini."

Ibu tersenyum lemah. "Iya, Sayang." Tangannya mulai memijat bahu Putri.

Aku tidak percaya. Ibu, yang biasanya lelah setelah seharian kerja, sekarang dengan senang hati memijat Putri.

Budi datang dengan membawa secangkir teh. "Ini untukmu, Sayang." Dia mencium kening ibu. Lembut. Berbeda sekali dengan sikapnya yang biasa.

"Terima kasih, Bud," kata ibu. Senyumannya tulus. Aku sudah lama tidak melihatnya tersenyum seperti itu.

Tapi senyuman itu bukan untukku. Itu untuk mereka. Untuk keluarga barunya.

Aku kembali ke matras. Aku memeluk bantal tipis. Kenapa ibu memilih mereka? Aku yang selalu ada untuknya selama ini. Aku yang membelanya dari Budi. Sekarang dia seperti lupa padaku.

Aku membayangkan Lia. Aku ingin memeluknya sekarang. Merasakan kehangatannya. Tapi aku malu. Aku tidak mau dia melihatku seperti ini. Diperlakukan seperti sampah di rumah sendiri.

---

Malam semakin larut. Aku mencoba mengerjakan tugas kuliah. Tapi susah. Bau amis dari dapur membuatku mual. Punggungku sakit karena tidur di lantai.

Aku menulis dengan susah payah. Tanganku pegal. Suasana pengap di dapur membuatku sulit bernapas.

Pagi hari, aku baru tertidur lelap ketika sesuatu yang dingin menyiram wajahku.

"Aduh!" Aku terbangun mendadak.

Putri berdiri di atasku dengan ember kecil. "Bangun, anak tiri! Sudah pagi!"

Aku mengusap air dari wajahku. "Kenapa sih? Aku baru tidur!"

"Dasar pemalas. Ini, cuci baju-bajuku." Dia melemparkan keranjang baju kotor ke arahku. "Ini pakaianku, lo cuciin. Celana dalamku awas lu aneh-aneh."

Aku melihat keranjang itu. Ada celana dalam, bra, baju-baju mahal. Tanganku gemetar. Aku merasa sangat malu. Seperti budak.

"Kenapa aku yang harus mencuci pakaian dalammu?" protesku.

"Karena lo anak tiri! Lo tinggal di sini gratis, jadi kerja dong! Gampang kan logikanya?"

Aku melihat ibu yang sedang menyiapkan sarapan di kompor. Dia melihatku, tapi hanya berkata pelan, "Ikuti saja, Nak. Biar tidak ada masalah."

Hatiku hancur. Ibu membiarkan ini terjadi. Ibu membiarkan aku dipermalukan seperti ini.

Aku mengambil keranjang itu dan pergi ke belakang. Aku mencuci pakaian-pakaian itu dengan tangan. Air dingin membuat tanganku merah. Sabun membuat kulitku perih.

Dari dalam, aku mendengar tawa Putri, Budi, dan ibu. Mereka sedang sarapan bersama. Seperti keluarga yang bahagia. Dan aku? Aku di sini, mencuci pakaian dalam anak perempuan mereka.

---

Setelah makan malam, Putri datang lagi ke dapur dengan tumpukan piring kotor.

"Ini, anak tiri! Cuci yang bersih ya. Jangan seperti kemarin yang masih ada noda."

Aku melihat piring-piring itu. Masih banyak sisa makanan. "Kenapa tidak kalian yang cuci? Kalian yang makan."

Putri tertawa sinis. "Lo kan pembantu di sini. Kerja saja jangan banyak bacot."

Budi yang lewat mendengar. "Dengar kata kakakmu, Reza. Kerja yang baik."

Aku menggigit bibir. Kakak? Dia bukan kakakku. Dia bukan apa-apaku.

Aku mulai mencuci piring. Air panas membuat tanganku melepuh. Tapi yang lebih sakit adalah hatiku. Mendengar mereka tertawa riang di ruang tamu. Sedangkan aku diperlakukan seperti pelayan.

Beberapa hari kemudian, penindasan semakin menjadi.

"Reza, bersihkan kamarku," perintah Putri suatu pagi. "Dan gosok sepatuku yang putih itu."

"Buang sampah di kamarku," perintahnya di hari lain.

"Ambilkan aku air minum. Yang dingin ya."

Setiap kali, dengan nada merendahkan. Setiap kali, dengan senyuman sinis.

Suatu kali, dia bahkan berkata, "Lo gak pantes di sini, mending balik ke ayah lo yang kaya."

Ibu mendengarnya. Tapi diam saja. Hanya melihatku dengan mata sedih. Tapi tidak berkata apa-apa untuk membelaku.

Aku semakin sering membayangkan Lia. Aku ingin lari dari semua ini. Tapi aku tidak punya uang untuk kos. Dan aku tidak mau meninggalkan ibu. Meskipun ibu sudah meninggalkanku.

---

Hari ini adalah puncaknya.

"Reza," panggil Putri dari kamarnya. "Aku mau minum jus. Buatkan ya."

Aku yang sedang mencoba belajar untuk ujian, menghela napas. "Buat sendiri saja. Aku sedang sibuk."

Putri datang ke dapur. Wajahnya masam. "Sibuk? Lo pikir lo siapa? Mahasiswa gagal? Kerja saja yang bener!"

Aku menatapnya. Semua amarah yang kutanam selama berminggu-minggu akhirnya meledak. Air mataku mengalir. Suaraku bergetar.

"Mending lo jadi lonte saja! Biar urus barang mau suruh saja!"

Segera setelah kata-kata itu keluar, aku menyesal. Tapi juga lega. Akhirnya aku melawan.

Wajah Putri memucat. Ruangan mendadak hening. Ibu yang sedang memasak di kompor menatapku dengan wajah syok dan kecewa.

"Reza! Apa yang kau katakan?" hardik ibu.

Tapi aku sudah tidak bisa berhenti. "Dia yang memulai! Selama ini dia memperlakukanku seperti budak! Dan ibu diam saja! Ibu membiarkannya!"

Putri mulai menangis. Tapi aku tahu itu air mata palsu. "Aku hanya menyuruhnya membantu sedikit... dia langsung marah-marah..."

Aku gemetar. Aku ingat dulu ibu mengajarku untuk selalu sopan. Tapi sekarang, di rumah ini, kesopanan tidak ada artinya.

---

Tidak lama kemudian, Budi pulang kerja. Seperti biasa, dia langsung pergi setelah menerima telepon pagi tadi. Pekerjaannya tetap misterius.

Putri langsung berlari ke dia. "Ayah! Reza bilang aku lonte! Dia kasar sekali padaku!"

Budi memandangku dengan mata berapi. "Apa? Kau bilang apa pada putriku?"

Aku berdiri. "Dia yang memulai! Dia memperlakukan aku seperti budak!"

Budi tidak mendengarkan. Dia menghampiriku dengan cepat. Tamparannya mendarat di pipiku. Keras. Dunia berputar. Pipiku terasa panas.

"Jangan, Sayang! Jangan pukul Reza!" Ibu berteriak, menarik tangan Budi.

Tapi Budi mendorongnya pelan. "Diam! Anakmu ini kurang ajar! Berani menghina putriku!"

Aku mengepalkan tangan. Ingin membalas. Tapi aku melihat wajah ibu yang penuh air mata. Aku tidak bisa.

"Keluar dari sini sekarang!" teriak Budi.

Aku berjalan keluar. Ke teras. Aku duduk di lantai. Tanganku gemetar. Aku mengambil sebatang rokok dari saku dan menyalakannya.

Asap rokok menari di udara malam. Angin dingin menerpa tubuhku. Dari dalam, aku mendengar isakan ibu. Dan suara Budi yang masih memaki.

Aku melihat ponselku. Pesan dari ayah masih ada. "Besok jam 8, aku tunggu."

Aku menghisap rokok dalam-dalam. Mataku basah. Aku terpecah. Bertahan demi ibu? Tapi ibu sudah tidak membelaku lagi. Atau pergi ke ayah? Tapi apa ayah tidak akan mengecewakanku lagi?

Aku menatap bintang-bintang di langit. Bisakah aku mengubah nasibku? Atau aku akan hancur di bawah penindasan ini?

Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku tidak bisa terus seperti ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel