Bab 6: Rayuan Pantai yang Pahit
Aku masih duduk di teras. Pipiku yang ditampar Budi tadi masih terasa panas dan berdenyut-denyut. Aku menghisap rokok terakhir dari bungkusnya sampai filter. Asap tebal memenuhi paru-paruku, membuatku batuk-batuk kecil.
Dari balik pintu, aku masih mendengar isakan ibu yang tersedu-sedu. Suaranya pelan tapi jelas, setiap tarikan napasnya yang tersendat seperti pisau yang mengiris hatiku. "Kenapa dia tidak bisa membelaku?" pikirku. "Aku anak kandungnya sendiri, tapi dia lebih memilih diam saat aku dipermalukan."
Aku menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Mereka berkedip-kedip seolah mengejek ketidakberdayaanku. Aku ingat waktu kecil, ibu selalu menemaniku menatap bintang dari halaman rumah yang sama ini. Dia bilang, setiap bintang adalah harapan yang diberikan Tuhan. Sekarang, di tempat yang sama, harapan apa yang masih tersisa untukku?
---
Pagi hari, aku sudah terbangun karena punggungku yang sakit menusuk. Tidur di lantai dapur yang keras selama berminggu-minggu mulai memberikan akibatnya. Aku sedang mencoba menyelesaikan tugas kuliah yang sudah tertunda seminggu ketika Putri datang ke ruang tamu dengan wajah berseri-seri.
"Ayah, Bu! Aku mau cari kerja nih!" katanya dengan suara riang yang dibuat-buat.
Budi yang sedang asyik minum kopi langsung menaruh cangkirnya dengan keras. "Wah, akhirnya anak Ayah mau mandiri! Mau kerja di mana, Sayang?"
Putri dengan sengaja duduk di sofa tepat di depan pintu dapur, mendekatkan diri ke ibu. "Aku pikir mau mulai dari yang sederhana dulu, Bu. Biar belajar tanggung jawab. Mungkin coba melamar di Indomaret dekat sini."
Ibu memandangnya dengan tatapan lembut yang membuat hatiku perih. "Bagus sekali, Sayang. Ibu sangat bangga dan pasti dukung penuh."
Aku mendengar semua percakapan ini dari balik pintu dapur. Perasaan iri mulai menggerogoti hatiku. Putri punya dukungan penuh dari mereka, sementara aku? Aku harus berjuang sendirian membiayai kuliah dengan kerja paruh waktu yang tak cukup. Tidak ada yang pernah peduli.
"Dia yang baru datang beberapa minggu, tapi sudah bisa berkuasa seperti ratu," gumamku dalam hati sambil mengepalkan tangan. "Aku yang lahir dan besar di rumah ini, malah diperlakukan seperti budak tak berguna."
Putri sengaja mencuri pandang ke arahku, senyum sinisnya terlihat jelas. Aku tahu, semua ini adalah bagian dari rencananya untuk semakin mengukuhkan posisinya dan membuatku semakin tidak berharga di mata ibu.
---
Aku mencoba memaksakan diri untuk fokus pada tugas kuliah. Tapi konsentrasiku terus buyar. Mataku lelah, punggungku nyeri, dan suara riuh dari ruang tamu tak henti-hentinya mengganggu.
"Anakku pasti langsung diterima di mana saja dia melamar," kata Budi dengan nada bangga yang berlebihan. "Dia kan dari kecil sudah pintar dan mandiri."
"Aku sudah latihan untuk interview nanti, Bu," kata Putri pada ibu dengan suara manja. "Bantu doakan ya biar lancar."
Ibu menjawab dengan lembut, "Iya, Sayang. Ibu yakin kamu pasti bisa. Kamu anak yang pintar."
Aku menutup telinga dengan tangan, tapi itu tidak membantu. Suara tawa dan obrolan mereka bagai jarum-jarum kecil yang terus menusuk-nusuk relung hatiku yang paling dalam.
Dua hari kemudian, Putri pulang dengan wajah berseri-seri dan langkah yang melompat-lompat.
"Aku diterima! Mulai minggu depan aku resmi kerja di Indomaret!"
Budi langsung berdiri dan memeluknya erat. "Anak Ayah memang hebat! Kita harus rayakan ini dengan meriah!"
Ibu tersenyum lebar, sesuatu yang sudah lama tidak kulihat. "Ibu akan masak semua makanan favoritmu, Sayang."
Putri lalu menoleh ke arahku dengan pandangan penuh kemenangan. "Reza, kamu ikut ya nanti. Ini kan pesta keluarga, harus kompak."
Aku ingin menolak, ingin berteriak bahwa ini bukan keluarganku. Tapi ibu menatapku dengan pandangan memohon. "Ikutlah, Nak. Ini kan pesta keluarga."
Nadanya ragu dan goyah. Seolah ini bukan undangan, tapi perintah yang harus kuturuti. Atau mungkin peringatan halus bahwa aku harus menerima posisiku.
Aku melihat Putri berbisik sesuatu pada Budi sambil sesekali melirik ke arahku. Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, tapi dari senyuman sinis dan tatapan penuh arti mereka, aku tahu ini pasti bukan sesuatu yang baik untukku.
Malamnya, aku mencoba menelepon Lia. Jariku sudah menekan nomornya, tapi aku batalkan di detik terakhir. Rasa malu yang dalam menguasai diriku. Aku tidak mau dia tahu betapa hancur dan memalukan kehidupanku sekarang. Aku membayangkan bagaimana jika aku bisa lari bersamanya, menghabiskan malam berdua saja di suatu tempat yang tenang. Tapi itu hanya khayalan kosong yang tak akan pernah terwujud.
---
Pesta diadakan di halaman belakang rumah. Budi menyewa peralatan BBQ yang cukup mewah. Ibu memasak banyak makanan enak yang jarang kami makan. Aroma daging bakar dan rempah-rempah memenuhi udara.
Aku duduk di kursi paling ujung, terpisah dari mereka. Tidak ada yang mengajakku bicara atau bahkan menoleh ke arahku.
"Reza pasti iri ya lihat aku sudah dapat kerja," kata Putri tiba-tiba dengan suara lantang. "Dia kan masih jadi mahasiswa pengangguran yang numpang hidup."
Budi tertawa keras, "Iya, dia masih harus tergantung sama kita. Masa muda seharusnya sudah mandiri."
Ibu hanya tersenyum lemah dan tidak berkata apa-apa untuk membelaku.
Aku menatap piring di hadapanku yang masih kosong. Aroma daging yang lezat justru membuat perutku mual dan sesak. Cahaya hangat dari api unggun menerangi wajah-wajah mereka yang tampak bahagia, tapi hatiku merasa semakin gelap dan dingin.
Putri berpura-pura baik dengan mendekatiku dan memberikan tambahan daging ke piringku. "Makan yang banyak ya, biar kuat terus kerja rumah tangga. Kan tugasmu sekarang."
Budi mulai bercerita panjang lebar tentang masa kecil Putri, betapa pintar dan mandirinya dia sejak kecil. Tidak ada satu pun yang bertanya tentang tugasku, tentang kuliahku yang hampir berantakan, tentang hidupku yang semakin tak menentu.
"Ini benar-benar pesta mereka," pikirku dengan getir. "Bukan pesta keluargaku. Aku hanya seperti tamu tak diundang yang tidak diinginkan kehadirannya."
Aku melihat ibu tertawa lepas bersama Putri, wajahnya yang biasanya penuh kesedihan sekarang berseri. Air mataku hampir jatuh melihat pengkhianatan halus ini, tapi kutahan kuat-kuat. Aku tidak mau mereka melihat kelemahanku.
---
Setelah pesta usai dan semua orang selesai makan, mereka semua pergi meninggalkan aku sendirian di halaman.
"Reza, beres-beres ya semuanya," kata Budi dengan nada perintah. "Cuci semua piring yang menumpuk, bersihkan halaman dari sampah-sampah, dan buang semua kotoran ini."
Aku memberanikan diri untuk protes. "Kenapa harus aku sendiri yang membereskan? Kalian kan juga yang makan dan membuat berantakan."
Budi mendekatiku dengan langkah mengancam. "Kalau tidak mau beres-beres, jangan harap lo ikut kita ke pantai nanti."
Aku terkejut. "Pantai? Kita mau ke pantai?"
Putri yang mendengar obrolan kami segera menghampiri dengan senyum sinis. "Iya, kita mau ke pantai untuk merayakan lagi keberhasilanku. Tapi pembantu harus kerja dulu baru boleh ikut main."
Ibu hanya diam membisu, memandangku dengan mata penuh kesedihan tapi tetap tidak berkata apa-apa untuk membelaku.
Aku mulai membereskan semua sendirian. Tanganku terasa sangat lelah. Piring yang harus dicuci menumpuk tinggi, sampah berserakan di mana-mana, dan sisa makanan berceceran. Sementara dari dalam rumah, aku mendengar mereka tertawa riang sambil merencanakan perjalanan ke pantai besok.
"Mereka merayakan kesuksesan Putri dengan uang hasil jerih payah ibu," gumamku sambil menggosok piring dengan kasar. "Tapi aku yang harus membayar harganya dengan menjadi budak mereka."
---
Akhirnya, setelah semua beres dan halaman kembali bersih, aku diizinkan ikut ke pantai. Mobil sewaan sudah menunggu di depan rumah. Aku tahu pasti, uang untuk menyewa mobil ini berasal dari tabungan ibu, dari hasil kerjanya yang susah payah selama ini.
Di dalam mobil, Putri dengan sengaja mengambil tempat duduk di depan bersama Budi. Aku harus duduk di belakang sendirian, seperti anak kecil yang dihukum.
"Reza pasti belum pernah pergi ke pantai yang bagus, kan?" ejek Putri sambil menoleh ke belakang. "Anak miskin kayak kamu paling cuma main di kali kotor saja."
Aku tidak menjawab, lebih memilih menatap pemandangan di luar jendela. Rumah-rumah dan pohon-pohon hijau berlalu dengan cepat, tapi hatiku terasa kosong dan hampa.
Sampai di pantai, pemandangan memang sangat indah. Matahari mulai terbenam dengan warna jingga kemerahan, ombak biru memecah di hamparan pasir putih, angin segar bertiup sepoi-sepoi.
Tapi ketegangan masih terasa jelas. Budi dan Putri langsung sibuk foto-foto dengan ibu di berbagai spot. Mereka tertawa riang, terlihat seperti keluarga yang bahagia. Aku sama sekali diabaikan, seperti tidak ada.
"Berenang sana," kata Putri padaku dengan nada merendahkan. "Biar mandi gratis sekalian. Kan jarang-jarang ke pantai."
Aku memutuskan untuk berjalan sendiri di sepanjang pantai. Pasir lembut membalut kakiku, ombak sesekali menyentuh jari-jari kakiku dengan dingin. Aku membayangkan jika Lia ada di sini bersamaku, berjalan berpegangan tangan, mungkin berciuman mesra di tepi ombak dengan suara deburan sebagai latar. Tapi itu hanya khayalan yang tak mungkin terwujud.
Aku melihat dari kejauhan, Budi, Putri, dan ibu sedang berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahku. Aku tahu mereka sedang merencanakan sesuatu yang buruk untukku. Tapi aku tidak bisa menebak apa.
---
Saatnya pulang. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, langit mulai dipenuhi kegelapan.
"Kita pergi ya," kata Budi padaku dengan nada datar.
Aku mengangguk dan mulai berjalan ke arah mobil. Tapi ketika aku akan masuk, Budi tiba-tiba menghalangi.
"Lo tidak ikut bayar sewa mobil, jadi jalan kaki saja pulangnya."
Aku terkejut bukan main. "Apa? Tidak mungkin! Jarak dari sini ke rumah sekitar 15 kilometer!"
Putri tertawa terkekeh-kekeh. "Ya jalan kaki saja. Kan sehat, sekalian olahraga. Dasar lembek."
Aku menatap ibu, memohon dengan mataku. Dia terlihat ragu, matanya berkaca-kaca. Tapi seperti biasa, dia tidak berkata apa-apa. Dia masuk ke mobil dengan wajah menunduk.
"Bu!" teriakku, suaraku pecah. "Ibu, tolong jangan tinggalkan aku di sini!"
Tapi mobil sudah mulai bergerak perlahan. Ibu menoleh lewat jendela, air matanya jatuh deras. Tapi dia tetap tidak menyuruh Budi untuk berhenti atau membelaku.
Mobil itu semakin cepat, semakin jauh, sampai akhirnya hilang dari pandanganku.
Aku sekarang sendirian. Di pantai yang semakin gelap dan menyeramkan. Ombak yang tadi terlihat indah sekarang seperti monster yang siap menerkam. Angin yang tadi terasa segar sekarang menusuk tulang dengan dinginnya.
Aku tidak membawa uang sepeserpun. Ponselku tertinggal di mobil. Jarak 15 kilometer harus kutempuh dengan berjalan kaki.
"Mereka menggunakan uang hasil jerih payah ibu sendiri untuk menyakitiku seperti ini," gumamku dengan getir.
Aku mulai berjalan pelan. Kaki ini terasa berat melangkah. Aku tidak tahu harus pergi ke mana, tidak tahu harus melakukan apa.
Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat cahaya lampu sebuah warung kecil. Mungkin ada telepon umum di sana. Atau mungkin aku bisa minta tolong pada pemilik warung.
Tapi yang lebih penting, aku teringat pesan ayah yang terus menghantuiku. "Besok jam 8, aku tunggu."
Mungkin memang sudah waktunya. Mungkin inilah tanda bahwa aku harus pergi dari semua ini. Untuk selamanya.
Aku terus berjalan menuju cahaya itu. Melangkah menuju keputusan yang akan mengubah hidupku selamanya.
