
Ringkasan
Reza, mahasiswa berusia 22 tahun, terjebak dalam luka masa lalu ketika ayahnya, seorang CEO kaya raya, ketahuan selingkuh dan menyebabkan perceraian dengan ibunya. Memilih ikut ibunya, Reza justru menghadapi perlakuan tidak manusiawi dari ayah tirinya yang kasar dan manipulatif. Di tengah tekanan emosional dan hasrat dewasa yang mulai terbangun, Reza berjuang mencari jati diri dan tempat yang bisa disebut rumah. Kehidupannya berubah ketika sebuah panggilan telepon dari ayahnya menawarkan kehidupan baru yang penuh kemewahan—namun menyimpan rahasia gelap. Terperangkap antara pengkhianatan keluarga, trauma, dan godaan dunia yang penuh intrik, Reza harus memilih: kembali ke ayahnya yang karismatik tapi licik, atau bertahan dalam rumah yang penuh penindasan. Dengan elemen erotis yang membumbui perjalanan emosionalnya, novel ini menggali hasrat, pengkhianatan, dan pencarian makna di tengah kehancuran keluarga.
Bab 1 : Awal mula keretakan Hidupku
Suara itu—suara teriakan Ibu dan bentakan Ayah—masih jelas di kepalaku, padahal itu sudah sekitar tujuh tahun yang lalu.
"Jangan tinggalin kami, Arif!" teriak Ibu dalam mimpiku.
"Kamu pikir aku mau hidup seperti ini?"bentak Ayah.
Aku meremas pelipisku. Cahaya pagi yang suram masuk melalui jendela kamar, memperlihatkan retakan-retakan di langit-langit. Kamar berukuran 3x3 meter ini selalu membuatku merasa seperti dalam penjara.
Aku menendang selimut dan berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang kuyupkan ke wajah tidak bisa menghilangkan perasaan hampa. Di bawah pancuran, mataku tertutup. Pikiranku melayang kepada Lia.
Aku membayangkan dia di sini, bersama aku. Menenangkanku saat gelisah. Tapi seperti biasa, ini hanya membuatku semakin kesepian.
"Lia..." gumamku pelan.
Tapi yang ada hanya air dingin yang membasahi tubuhku.
Setelah mandi, aku memakai kaus oblong dan celana jeans lama. Bau gorengan sudah tercium dari dapur. Ibu pasti sudah bangun sejak tadi.
"Aduh, Reza, kok pucat sekali?" tanya Ibu begitu aku masuk ke dapur kecil itu. Tangannya masih memegang spatula. Matanya sembap, seperti habis menangis diam-diam.
"Aku nggak papa, Bu. Cuma mimpi buruk aja," jawabku sambil duduk. Kursi kayu itu bergoyang-goyang tidak stabil.
Ibu meletakkan sepiring nasi goreng dihadapanku. "Mimpi apa lagi?"
"Biasa... masa kecil," jawabku singkat.
Ibu menghela napas panjang. "Reza, kamu harus move on. Itu kan sudah lama sekali."
Aku menatapnya. Kerutan di sudut matanya semakin dalam. Rambutnya yang dulu hitam berkilau sekarang sudah ada uban di sana-sini. "Gampang bilang move on, Bu. Tapi tiap hari kita harus hadapi ini."
Kami makan dalam diam. Suara sendok yang berdenting di piring terdengar jelas. Ketegangan di udara bisa dirasakan.
Tiba-tiba langkah berat terdengar dari luar. Budi, ayah tiriku, masuk dengan wajah masam. Bau rokok dan alkohol masih melekat di bajunya.
"Loh, anak emas udah bangun?" katanya dengan suara serak. Tangannya yang besar meraih termos kopi. "Daripada duduk-duduk bengong, mending bantu bersihin gudang. Banyak barang-barang berantakan."
Aku mengepalkan tangan di bawah meja. "Aku ada kuliah pagi ini, Pak."
"Alasan!" bentaknya sambil menempelkan wajahnya dekat dengan wajahku. Aku bisa mencium bau mulutnya yang tidak sedap. "Kuliah melulu! Uang kuliahmu dari mana? Dari keringat ibumu yang kerja dari pagi sampai malem!"
Ibu berdiri, mencoba menengahi. "Budi, tolong... dia memang ada jadwal kuliah hari ini. Nanti sore aku yang bantu bersihkan gudang."
Budi memutar badan dan menatap Ibu dengan mata merah. "Kamu selalu bela dia! Dari dulu selalu begitu! Dia udah besar, Sin! Umur 22 tahun! Masa masih numpang idup di sini?"
Aku berdiri, kursiku terjatuh ke belakang. "Aku nggak numpang hidup! Aku juga yang bayar listrik dan air bulan ini!"
"Oh, pinter?" Budi mendekatiku lagi, kali ini lebih mengancam. "Dengan uang siapa? Uang dari ayahmu yang brengsek itu? Atau uang hasil nyuci piring di kafe?"
Ibu menarik lenganku. "Reza, jangan..."
Aku menarik napas dalam. Aku ingat janjiku pada diri sendiri untuk tidak memperburuk keadaan. Tapi setiap kali Budi mulai, rasanya ingin sekali aku hancurkan semua barang di rumah ini.
"Budi, dia anakku," kata Ibu dengan suara gemetar.
"Dan aku suamimu!" teriak Budi sambil menunjuk-nunjuk. "Tapi kamu selalu prioritaskan dia! Kapan kamu prioritaskan aku?"
Aku memungut tas yang jatuh. "Aku pergi dulu."
"Lari lagi? Dasar pengecut!" teriak Budi dari belakang.
Aku berjalan cepat keluar rumah, meninggalkan suara pertengkaran yang semakin menjadi. Dadaku sesak. Aku ingat betul hari di pengadilan dulu, ketika hakim bertanya ingin ikut siapa. Saat itu, tanpa ragu aku memilih Ibu. Aku benci Ayah karena telah mengkhianati kami.
Tapi sekarang, setelah lima tahun hidup dengan Budi, aku mulai bertanya-tanya apakah pilihanku salah.
Kampus adalah pelarianku. Setidaknya di sini aku bisa bernapas lega.
"Reza!"
Aku menoleh. Lia sedang berdiri di depan gedung fakultas, tersenyum. Rambutnya yang panjang dikepang rapi. Matanya yang hitam berbinar-binar.
"Kamu kenapa? Muka kayak orang kesetrum," katanya sambil memegang tanganku.
"Aku baik-baik aja," bohongku.
Lia memiringkan kepalanya. "Jangan bohong. Budi lagi-lagi?"
Aku mengangguk pelan. "Dia marah lagi pagi-pagi. Bilang aku pemalas, numpang hidup..."
Lia menarik tanganku ke bangku taman terdekat. "Dengarlah, Rez. Kamu bukan pemalas. Kamu kerja paruh waktu, bayar sendiri uang kuliah, dan masih bantu ibu di rumah. Budi itu yang tidak bisa melihat kebaikanmu."
Dia meraih kedua tanganku. Sentuhannya hangat. "Sabarlah, Rez. Kamu kan tinggal beberapa bulan lagi lulus. Nanti kita cari apartemen kecil, kita tinggal bersama. Jauh dari semua masalah ini."
Aku menatap matanya yang jujur. "Kamu yakin mau sama aku? Aku cuma anak broken home yang tidak punya masa depan jelas."
Lia menepuk pundakku. "Jangan bicara begitu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Ingat waktu pertama kita ketemu? Kamu yang bantu aku waktu ada masalah dengan mantan pacarku. Kamu yang temani aku sampai jam 3 pagi."
Aku tersenyum kecil. "Iya, tapi waktu itu aku cuma dengar kamu curhat berjam-jam."
"Dan itu yang membuatku sembuh," katanya dengan suara lembut. "Kamu pendengar yang baik, Rez. Kamu perhatian. Kamu berbeda dengan ayahmu."
Mendengar kata "ayah", wajahku langsung berubah. Lia menyadari kesalahannya.
"Maaf, aku tidak seharusnya..."
"Tidak apa," potongku. "Aku harus bisa menghadapi kenyataan bahwa ayahku memang pengkhianat."
Lia mendekatkan wajahnya. "Reza, dengar. Tidak semua laki-laki seperti ayahmu atau Budi. Kamu buktinya."
Dia mencium pipiku pelan. Bau wangi shamponya membuatku tenang. Untuk sesaat, aku lupa semua masalah.
Tapi kemudian kenangan itu datang lagi.
"Bu, HP Ayah ketinggalan," kataku waktu itu, waktu aku masih 15 tahun.
Aku mengambil ponsel ayah yang bergetar di meja makan. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal: "Sayang, aku kangen. Kapan kita ketemuan lagi?"
Jantungku berdetak kencang. Dengan gemetar, aku membuka percakapan lainnya. Pesan-pesan mesra bertebaran. Foto-foto wanita cantik yang bukan ibuku. Janji-janji pertemuan di hotel.
"Reza, siapa yang sms?" tanya Ibu dari dapur.
Aku tidak bisa berkata-kata. Tanganku gemetar memegang ponsel itu. Saat itulah dunia runtuh.
"Apa ini, Yah?" tanyaku ketika Ayah pulang.
Dia melihat ponsel di tanganku, wajahnya pucat. "Reza, berikan itu pada Ayah."
"Ibu! Ibu!" teriakku.
Ibu datang berlari. Aku menunjukkan ponsel itu padanya. Aku melihat bagaimana wajahnya hancur berantakan. Air matanya mengalir deras.
"Arif... bagaimana bisa kau..."
Ayah hanya diam. Dia tidak menyangkal. Dia bahkan tidak meminta maaf.
"Untuk bisnis," katanya akhirnya. "Dia partner bisnis..."
"Jangan bohong!" teriak Ibu. "Dia sekretarismu, kan? Aku tahu dari dulu!"
Itulah hari terakhir kami bersama sebagai keluarga.
"Reza? Kamu lagi di mana?"
Lia menggoyang-goyang pundakku.
"Aku ingat waktu ketahuan selingkuh," kataku pelan. "Aku yang tunjukkan bukti pada Ibu."
Lia memelukku erat. "Kamu tidak bersalah, Rez. Kesalahan ada di ayahmu, bukan di kamu."
"Tapi Ibu menderita karena aku yang buka semuanya."
"Lebih baik tahu kebenaran daripada dibohongi seumur hidup," kata Lia dengan tegas. "Ibumu pasti bersyukur kamu yang buka semuanya."
Aku menghela napas. "Sekarang dia jadi CEO sukses. Hidup mewah di apartemen mewah. Sementara kami... begini."
Lia mengangkat wajahku. "Kekayaan bukan segalanya, Rez. Lihat Budi, dia kaya tapi hatinya miskin. Kamu lebih kaya dari dia, karena kamu masih punya hati nurani."
Kami duduk diam beberapa saat, hanya mendengar suara angin berhembus.
"Rez, kamu harus bicara dengan ibumu. Kasih ultimatum. Atau kita cari kos-kosan untukmu."
Aku menggeleng. "Aku tidak bisa tinggalkan Ibu sendirian dengan Budi. Dia semakin kasar akhir-akhir ini."
"Tapi kamu tidak bisa mengorbankan dirimu terus-terusan."
Aku tahu Lia benar. Tapi meninggalkan Ibu sendirian? Aku tidak tega.
Malam hari ketika aku pulang, suasana sudah seperti perang. Dari luar rumah saja, aku sudah mendengar teriakan Budi.
"Uangku hilang 500 ribu! Pasti kamu kasih ke anakmu itu!"
"Budi, aku tidak ambil uangmu! Itu uang hasil kerjaku!" balas Ibu.
"Bohong! Perempuan pembohong! Dari dulu kamu lebih sayang anakmu daripada aku!"
Aku berdiri di depan pintu, tidak bisa bergerak. Dadaku sesak. Tanganku berkeringat. Aku ingin masuk dan melabrak Budi, tapi aku tahu itu hanya akan membuat Ibu semakin susah.
"Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu masih kontak dengan mantanmu itu! Aku lihat di HP!"
"Ibu tidak..." suara Ibu terisak. "Dia yang telepon aku... mau kasih uang untuk Reza..."
"Dasar pelacur! Mau dijagain sama mantan yang kaya? Pergi sana! Tinggalin aku seperti istri pertamaku!"
Aku mendengar suara barang pecah. Ibu menjerit.
Tidak tahan lagi. Aku membuka pintu.
Budi berdiri dengan wajah merah, memegang vas bunga yang pecah. Ibu terduduk di lantai, menangis.
"Keluar dari rumahku!" teriak Budi padaku.
"Ini juga rumah Ibu!" bentakku.
Budi melangkah mendekat. "Kamu pikir kamu siapa? Selama ini aku yang bayar semuanya! Makan yang kamu makan, listrik yang kamu pakai, dari keringatku!"
Ibu berdiri, berdiri di antara kami. "Tolong... berhenti..."
"Kamu pilih siapa, Sin?" teriak Budi. "Aku atau anakmu?"
Ibu menatapku, matanya penuh air mata. "Budi... dia anakku..."
"Kalau begitu, kalian berdua bisa pergi dari sini!"
Aku menarik napas dalam. Inilah yang selalu kutakuti. Aku membuat Ibu harus memilih.
Tiba-tiba, ponsel di saku celanaku bergetar. Aku mengabaikannya, fokus pada Budi yang masih marah.
Tapi ponsel itu berdering lagi. Dan lagi.
Aku mengeluarkannya. Nama "Ayah" berkedip di layar. Jantungku berhenti berdetak.
"Siapa? Pacarmu?" ejek Budi.
Aku memandang Ibu yang masih terisak, lalu Budi yang wajahnya penuh kebencian. Dengan tangan gemetar, aku menekan tombol hijau.
"Halo?" suaraku serak.
"Reza," suara di seberang sana dalam dan tenang, persis seperti yang kuingat. "Ayah di sini. Dengarlah, Nak. Sudah waktunya kamu tinggal bersamaku. Aku punya sesuatu untukmu. Sesuatu yang akan mengubah segalanya."
Aku terdiam. Mataku masih tertuju pada Ibu yang sedang ditatapi penuh kebencian oleh Budi.
"Ayah..." kataku, suaraku hampir tidak keluar.
"Besok pagi aku jemput jam 8. Bawa barang-barangmu. Selamat tinggal untuk ibumu."
Telepon ditutup.
Aku masih memegang ponsel, tidak percaya dengan apa yang baru terjadi. Dunia seakan berhenti berputar. Suara pertengkaran Budi dan isakan Ibu seperti sayup-sayup saja.
Aku menatap Ibu yang sedang berusaha menenangkan Budi. Aku melihat rumah tua ini yang penuh dengan kenangan pahit. Lalu aku melihat ponsel di tanganku.
Sebuah dunia baru. Mewah, misterius, penuh dengan luka lama yang belum sembuh. Tapi mungkin... mungkin ini jalan keluarnya.
Atau jebakan yang lebih dalam?
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, besok pagi hidupku akan berubah selamanya.
