Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 : Putri Dari Kota

Bab 4: Rumah yang Hilang

Aku berjalan tanpa tujuan. Kaki ini menapak pelan di trotoar yang retak. Aku menendang-nendang batu kecil yang ada di jalan. Suara batu berguling-guling di aspal seperti suara hatiku yang berantakan.

Angin malam menerpa kulitku. Dingin. Aku tidak pakai jaket. Jaketku tertinggal di rumah. Atau lebih tepatnya, di rumah yang dulu adalah rumahku.

Suara mobil dan motor masih sesekali lewat. Lampu-lampu kota berkedip. Tapi semuanya terasa jauh. Aku sendirian.

Kenapa Ibu mengusirku? Aku hanya ingin melindunginya. Aku tidak mau dia disakiti lagi. Tapi malah aku yang harus pergi.

Aku ingat dulu, waktu aku masih kecil. Sebelum semua ini terjadi. Ibu selalu mencium keningku sebelum tidur. Dia menyanyikan lagu untukku. Rumah kami penuh tawa.

Sekarang? Rumah itu penuh teriakan. Dan aku tidak diizinkan masuk lagi.

Aku membayangkan Lia. Aku ingin memeluknya sekarang. Merasakan kehangatannya. Tapi aku malu. Aku tidak mau dia melihatku seperti ini. Gagal. Tidak punya tempat pulang.

Aku terus berjalan. Kaki ini mulai lelah. Aku butuh tempat untuk beristirahat.

---

Aku menemukan sebuah toko tua yang sudah tutup. Terasnya cukup lebar. Aku duduk di lantai beton yang dingin. Aku letakkan tas ranselku sebagai bantal.

Tidur di trotoar. Tidak pernah kubayangkan akan seperti ini. Anak seorang CEO, tidur di jalanan seperti gelandangan.

Aku mencoba tidur. Tapi dinginnya lantai merambat ke tulang-tulangku. Suara tikus-tikus berdecit di selokan. Bau sampah menyengat.

Aku memeluk tubuhku sendiri. Berusaha menghangatkan diri. Tapi yang ada hanya rasa sepi yang semakin dalam.

---

Aku terbangun oleh suara azan subuh. Suaranya indah, tapi bagai pisau di hatiku. Mengingatkanku bahwa hari baru sudah mulai, tapi aku masih di sini. Masih di trotoar.

"Hey! Bangun kau!"

Seorang pria paruh baya berdiri di depanku. Wajahnya masam. Dia memegang sapu.

"Maaf, Pak," kataku sambil bangun. "Aku cuma numpang tidur semalam. Sekarang juga aku pergi."

"Gembel! Jangan tidur di sini! Ini tempat usaha, bukan tempat tidur!"

"Aku bukan gembel, Pak. Aku cuma..."

"Dasar pemalas! Muda-muda tidur di jalan! Mending cari kerja!"

Dia mengayunkan sapunya, hampir mengenainya. Aku segera mengambil tas dan pergi. Pipiku panas. Aku menahan malu.

Aku berjalan menjauh. Mendengar dia masih memaki dari belakang. Aku menunduk. Aku tidak mau orang melihat wajahku.

Dari anak CEO jadi ditertawakan seperti ini. Hidup memang tidak adil.

---

Pagi semakin terang. Aku masih berjalan. Baju dan celanaku kusut. Aku merasa kotor.

Aku melewati sebuah keluarga kecil. Seorang ayah menggendong anak perempuannya yang kecil. Seorang ibu mendorong kereta bayi. Mereka tertawa. Bahagia.

Aku ingat dulu, waktu aku masih kecil. Ayah juga sering menggendongku seperti itu. Ibu selalu memegang tangannya. Kami sering jalan-jalan di hari Minggu.

Sekarang? Ayah ada di tempat mewah. Ibu ada di rumah dengan orang yang menyakitinya. Dan aku? Aku di jalanan.

Kenapa ini terjadi padaku? Apa salahku? Aku hanya ingin keluarga yang utuh. Seperti dulu.

---

Aku akhirnya memutuskan pulang. Ke rumah yang sekarang mungkin bukan rumahku lagi.

Aku membuka pagar pelan-pelan. Ibu sedang di teras, menyapu daun-daun kering.

"Ibu," panggilku pelan.

Ibu menoleh. Matanya merah. "Reza? Kamu kembali? Kenapa tidak pergi seperti yang Ibu minta?"

"Aku tidak punya tempat lain, Ibu. Aku mau tinggal di sini. Aku mau sama Ibu."

Ibu meletakkan sapunya. Dia mendekatiku. Tangannya yang kasar menyentuh pipiku. "Tapi Ibu tidak mau kamu menderita di sini. Lihat apa yang terjadi kemarin."

"Tidak apa-apa. Asal sama Ibu. Aku kuat."

Ibu menarik napas panjang. "Yasudah. Tapi..."

"Tapi apa?"

Budi keluar dari dalam rumah. Wajahnya masih bengkak dari perkelahian semalam. "Dia kembali? Dasar anak tidak tahu malu!"

Ibu berdiri di antara kami. "Budi, dia anakku. Dia tidak punya tempat lain."

Budi tertawa sinis. "Oke. Tapi dia tidak boleh tidur di kamarnya lagi."

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena anak kandungku dari istri pertama mau pindah ke sini. Namanya Putri. Dia baru lulus kuliah dan mau cari kerja di sini. Neneknya dari pihak ibunya baru meninggal, jadi dia tidak punya tempat tinggal."

Aku terdiam. Hatiku seperti ditusuk-tusuk.

"Jadi di mana aku tidur?" tanyaku pelan.

"Di dapur. Barang-barangmu sudah aku pindah ke sana."

Aku masuk ke dalam rumah. Benar. Semua barang-barahgku—baju, buku kuliah, tas—sudah ditumpuk di sudut dapur. Tempat tidurku diganti dengan kardus-kardus berisi barang Putri.

"Kenapa?" tanyaku pada Budi yang mengikutiku. "Hanya karena perkelahian semalam?"

"Bocah ingusan tidak usah sok bicara ya. Masih mending lu masih gw kasih tempat tinggal. Harusnya lu sudah gw usir semalam."

Aku melihat Ibu. Dia menunduk. Tidak membelaku.

Rasanya seperti ditikam dari belakang. Oleh orang yang paling kucintai.

---

Siang hari, Putri datang. Dia turun dari taksi dengan tas besar. Wajahnya cantik, tapi dingin. Dia memakai baju yang bagus. Tasnya mahal.

"Siapa ini?" tanyanya padaku sambil menunjuk.

Budi segera menghampiri. "Ini saudara tirimu, Sayang. Namanya Reza."

Putri memandangku dari ujung kepala sampai kaki. "Anak tiri? Pantesan rumah ini berantakan. Bau tidak enak."

Aku mengepalkan tangan. Tapi ku tahan.

"Reza, bantu angkat barang-barang Putri," perintah Budi.

Aku mengambil tas besar itu. Berat.

"Hati-hati ya," kata Putri dengan nada merendahkan. "Isinya barang mahal. Jangan sampai jatuh."

Aku mengangguk pelan. Aku bawa tas itu ke kamar yang dulu adalah kamarku. Sekarang sudah penuh dengan barang-barang perempuan. Parfum. Kosmetik. Baju-baju bagus.

Aku kembali ke dapur. Tempatku sekarang. Aku duduk di lantai, memandang barang-barangku yang berantakan.

Dari ruang tamu, aku mendengar tawa Putri dan Budi. Mereka sedang bercanda. Bahagia. Seperti keluarga yang utuh.

Dan aku? Aku di sini. Sendiri. Seperti orang asing di rumah sendiri.

Ponselku berdering. Aku lihat. Ayah lagi.

Aku tidak angkat. Tapi aku mulai berpikir. Mungkin memang sudah waktunya pergi. Meninggalkan semua ini.

Atau bertahan? Tapi untuk apa? Untuk diperlakukan seperti sampah?

Aku memeluk lututku. Aku menunduk. Air mata akhirnya jatuh. Diam-diam. Agar tidak ada yang mendengar.

Aku menangis untuk rumah yang sudah hilang. Untuk keluarga yang sudah tidak ada. Untuk anak kecil yang dulu bahagia, yang sekarang harus menghadapi kenyataan pahit.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel