Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Darah dan Luka

Aku berdiri di ruang tengah yang gelap, hanya diterangi cahaya remang-remang dari lampu taman luar. Mataku tertancap pada memar di pipi Ibu. Warna biru keunguan itu seperti lukisan yang menceritakan semua kepedihan.

"Dasar anak manja," gumam Budi sambil menengak minuman kerasnya. Suara gelas berdentum di meja. "Pulang malem-malem, bikin berisik aja. Kerjaannya cuma bikin masalah."

Aku mengepalkan tangan sampai kuku-kukuku menancap di telapak. "Kamu pukul Ibu. Aku lihat memarnya."

Budi tertawa pendek, sinis. "Dia kan istriku. Urusan suami istri, kamu ngapain ikut campur? Emangnya kamu polisi?"

"Dia ibuku," kataku, suaraku rendah tapi bergetar penuh emosi. "Aku tidak akan biarkan siapapun menyakitinya. Siapapun."

Budi berdiri perlahan, tubuhnya yang gemuk bergoyang tak stabil. "Oh, jadi sekarang mau jadi pahlawan? Selama ini hidup numpang di rumahku, makan makananku, sekarang mau melawan? Lu lupa diri ya?"

"Aku bayar sendiri makananku. Aku yang bayar listrik bulan ini. Aku yang beli gas minggu lalu. Jangan bicara seolah-olah aku parasit."

Budi melangkah mendekat, bau alkoholnya semakin menyengat memenuhi ruangan. "Dengan uang siapa? Uang dari ayahmu yang brengsek? Atau hasil nyuci piring di kafe? Jangan sok suci!"

"Dengan uang hasil kerjaku yang halal! Sedangkan kamu? Minum-minum dari pagi, marah-marah tanpa alasan! Kerja aja jarang!"

Budi mendorong bahuku keras. "Jangan lancang sama aku, bocah! Aku masih kepala keluarga di sini!"

Aku mendorongnya balik dengan lebih kuat. Budi terhuyung ke belakang, menabrak meja kecil sampai rubuh. Gelas minumannya jatuh, pecah berantakan di lantai.

"Berani kau!" teriak Budi, wajahnya memerah marah. "Anak durhaka!"

Dia melompat ke depan, meninju mukaku dengan sekuat tenaga. Aku tidak sempat menghindar. Tinjunya mengenai pipiku tepat. Sakit yang tajam menyebar. Aku merasakan sesuatu yang asin di mulut. Darah.

Aku membalas tanpa berpikir. Tinjuku mendarat di perutnya yang buncit. Budi mengeluarkan suara mendesah, tapi tidak jatuh. Dia menendang kakiku dengan kasar. Aku terjatuh, menabrak kursi sampai rubuh bersamaku.

"Berhenti! Tolong berhenti!" Ibu berteriak dari pintu, suaranya panik. Tapi amarahku sudah membutakan segalanya.

Aku bangkit, menerjang Budi seperti orang gila. Kami jatuh bersama ke lantai yang penuh pecahan kaca. Meja terguling. Vas bunga pecah. Air dan bunga berserakan. Aku merasakan tangan Budi menekan leherku sampai sesak.

"Anak kurang ajar!" teriaknya dekat telingaku. Napasnya bau alkohol dan rokok. "Ajarin sopan santun sama bapak!"

Aku berusaha melepaskan cengkeramannya yang mencekik. Tanganku meraba sekeliling, menemukan pecahan gelas. Tanpa pikir panjang, aku tusukkan ke lengannya.

Budi menjerit kesakitan. Cengkeramannya mengendur. Aku mendorongnya, membalikkan posisi. Sekarang aku yang di atas.

"Aku benci kamu!" teriakku, meninju wajahnya berulang kali tanpa henti. "Aku benci kamu menyakiti Ibu! Aku benci semua ini! Aku benci hidup seperti ini!"

Tanganku sakit, tapi aku terus memukul. Semua perasaan terpendam selama ini akhirnya meledak. Semua kemarahan, semua rasa tidak berdaya, semua kepedihan.

"Reza! Tolong hentikan!" Ibu menarik lenganku dari belakang dengan sekuat tenaga. "Dia suamiku! Dia suamiku! Bukan preman jalanan!"

Aku berhenti. Napasku terengah-engah. Aku melihat ke bawah. Budi sudah tidak melawan lagi. Wajahnya bengkak, berdarah-darah. Matanya setengah tertutup.

Aku bangkit. Tubuhku gemetar tak terkendali. Tangan kananku berdarah, mungkin karena pecahan gelas. Bajuku robek di beberapa tempat, menampakkan luka di kulit.

Ibu berlutut di samping Budi, wajahnya pucat. "Budi? Budi, kamu baik-baik saja? Bicara padaku!"

Budi menggerakkan kepalanya pelan. "Dasar... anak gila..." gumamnya lemah. "Anak... tidak tahu terima kasih..."

Ibu menatapku, matanya penuh air mata dan kekecewaan. "Lihat apa yang telah kau lakukan, Reza! Lihat kekacauan ini!"

"Aku melindungimu, Ibu! Dia yang memulai! Dia yang selalu memulai! Dia yang pukul kamu!"

"Tapi tidak dengan kekerasan! Tidak seperti ini! Tidak sampai hampir membunuhnya!"

Aku tertawa getir. "Lalu bagaimana? Diam saja ketika dia memukulmu? Terima saja ketika dia memperlakukan kita seperti sampah? Menunggu sampai dia benar-benar melukaimu parah?"

Ibu tidak menjawab. Dia mencoba membantu Budi berdiri. Budi terhuyung-huyung, bersandar pada Ibu dengan berat.

"Aku pergi," katanya dengan suara parau. "Aku butuh angin. Rumah ini bikin sesak. Penuh dengan anak tidak tahu diri."

Dia berjalan keluar dengan tertatih, meninggalkan jejak darah di lantai. Pintu depan terbanting keras.

Sekarang hanya ada aku dan Ibu. Dan kehancuran di sekitar kami. Ruang tamu yang berantakan, kursi-kursi rubuh, vas pecah, darah di mana-mana.

Aku memandang Ibu. Dia masih berdiri di sana, menatapku dengan ekspresi campur aduk yang tidak bisa kubaca. Marah? Kecewa? Takut? Atau semuanya?

"Aku... aku minta maaf, Ibu," kataku pelan, suaraku serak. "Tapi aku tidak tahan melihat dia menyakitimu. Tidak bisa."

Ibu mendekatiku pelan. Tangannya yang lembut menyentuh pipiku yang bengkak. "Kamu terluka, Nak. Kamu berdarah."

"Tidak apa-apa. Yang penting Ibu aman. Aku rela terluka asal Ibu tidak disakiti lagi."

Ibu memelukku erat. Aku merasakan tubuhnya yang kecil bergetar. "Ibu minta maaf, Reza. Ibu sudah buat kamu seperti ini. Ibu tidak mau kamu jadi orang penuh kekerasan. Ibu tidak mau anakku jadi pemarah."

"Aku hanya membela Ibu. Aku tidak mau Ibu menderita seperti dulu."

"Tapi dengan cara yang salah, Nak." Ibu menarik napas dalam. "Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Ibu tahu Budi salah. Tapi ini bukan caranya. Melukai orang tidak akan menyelesaikan masalah."

Aku melihat sekeliling. Ruang tamu yang sudah berantakan bagaikan cermin dari kehidupan kami. Semua berantakan, hancur, penuh luka.

"Kamu harus pergi, Nak," bisik Ibu tiba-tiba, suaranya bergetar.

Aku menatapnya tak percaya. "Apa? Ibu mau mengusirku?"

"Bukan mengusir. Tapi... kamu harus pergi dari sini. Tinggal dengan ayahmu. Atau cari kos-kosan. Apa saja. Yang penting kamu tidak di sini."

"Tapi aku tidak bisa tinggalkan Ibu sendirian! Dengan dia? Setelah apa yang terjadi malam ini?"

"Ibu bisa urus diri sendiri. Ibu sudah dewasa. Yang penting kamu aman. Kamu tidak terpengaruh lingkungan seperti ini." Ibu memegang bahuku erat. "Aku tidak mau melihat anakku tumbuh jadi orang penuh amarah. Aku tidak mau kamu jadi seperti mereka."

Aku ingin membantah. Ingin berkata bahwa aku kuat. Tapi aku melihat matanya. Dia serius. Dia benar-benar ingin aku pergi demi kebaikanku sendiri.

Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa itu. Ayah. Masih menunggu jawabanku. Masih menawarkan dunia baru.

Aku memandang Ibu. Wajahnya yang lelah, matanya yang sayu, tapi dengan tekad yang kuat. Dia rela melepasku, rela berpisah demi masa depanku.

Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar mempertimbangkan untuk pergi. Benar-benar memikirkan kemungkinan meninggalkan semua ini.

Tapi bisakah aku meninggalkannya? Bisakah aku hidup dengan diri sendiri jika sesuatu terjadi padanya? Jika Budi semakin menjadi-jadi?

Aku tidak tahu. Yang aku tahu, sesuatu harus berubah. Dan mungkin, mungkin pergi adalah jawabannya. Mungkin inilah saatnya aku membuat pilihan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel