Bab 2 : Ibuku disakiti
Bab 2: Bayang-Bayang Pilihan
Aku berjalan tanpa arah. Kaki ini membawaku menjauh dari rumah, dari teriakan Budi, dari tangisan Ibu, dari segalanya. Malam di Jakarta terasa dingin. Angin malam menerpa wajahku, tapi tidak bisa menghapus panas di kepalaku. Lampu-lampu neon dari kafe dan mall berkedip-kedip, seolah mengejek kekacauan dalam diriku.
"Aku punya sesuatu untukmu."
Suara ayah masih terngiang-ngiang. Dalam, berwibawa, persis seperti dulu. Aku ingat waktu itu, sepuluh tahun lalu, ketika dia pergi tanpa pamit. Pagi itu aku bangun, dan ayah sudah tidak ada. Hanya ada Ibu yang menangis di kamar, dan koper-koper ayah yang hilang.
"Dia pergi, Nak," bisik Ibu waktu itu, suaranya hancur. "Dia pilih wanita itu."
Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, dia muncul lagi. Menawarkan sesuatu. Seperti dulu dia selalu menjanjikan hadiah-hadiah mahal, tapi tidak pernah memberi waktunya.
Aku membayangkan kehidupan di sisi ayah. Apartemen mewah di kawasan elit. Mobil-mobil mahal. Wanita-wanita cantik yang mungkin berkeliaran di sekitarnya. Aku membayangkan bagaimana rasanya punya uang, punya kekuasaan. Bebas dari semua ini.
Tapi kemudian aku ingat Lia. Wajahnya yang tulus. Pelukannya yang hangat. Apakah dia akan tetap mau bersamaku jika aku memilih jalan ayah? Atau justru akan menjauh, karena membenciku seperti ayahnya?
---
Kafe "Angkring" selalu jadi pelarianku. Tempat kecil di sudut jalan ini biasanya ramai sampai larut. Aroma kopi dan gorengan menyambutku begitu pintu terbuka.
"Reza! Sini!"
Nisa sudah duduk di sudut biasa, ditemani laptop dan beberapa buku. Hijabnya yang putih masih rapi, meski sudah malam. Wajahnya yang lembut selalu bisa menenangkan.
"Akhirnya keluar juga dari kandang singa?" katanya sambil menyodorkan segelas kopi. Aku tahu dia sudah memesankannya untukku.
Aku mendesah panjang, menjatuhkan tubuh di kursi kayu. "Lebih buruk dari biasanya, Nis. Budi marah besar. Ibu... Ibu lagi-lagi jadi sasaran."
Nisa menutup laptopnya. Matanya yang cerdas menatapku penuh perhatian. "Cerita saja. Aku dengarkan."
Aku menceritakan semuanya. Pertengkaran pagi tadi. Kata-kata kasar Budi. Tangisan Ibu. Dan yang terakhir, telepon dari ayah.
Nisa menggeleng-geleng pelan. "Reza, kamu tidak bisa terus seperti ini. Setiap hari kamu pulang dengan wajah seperti orang perang."
"Tapi aku tidak bisa tinggalkan Ibu sendirian. Kamu tahu bagaimana Budi akhir-akhir ini. Semakin kasar."
"Dengar, Rez." Nisa memegang tanganku. "Aku tahu dari pengalamanku sendiri. Dulu, waktu orang tuaku meninggal, aku pikir dunia sudah berakhir. Di pesantren, aku belajar satu hal: kita tidak bisa menyelamatkan orang lain jika diri sendiri tenggelam."
Aku menatapnya. Nisa jarang bercerita tentang masa lalunya. "Tapi dia ibuku, Nis."
"Iya, dan kamu anaknya. Tapi lihat dirimu. Kuliah hampir berantakan, kerja paruh waktu habis untuk bantu bayar tagihan rumah, dan setiap hari hidup dalam ketakutan. Itu namanya bukan hidup, Rez. Itu siksaan."
Dia mengambil napas. "Aku yakin ibumu tidak mau melihatmu seperti ini. Seorang ibu yang baik pasti ingin anaknya bahagia, bahkan jika itu berarti harus berpisah sementara."
Aku memutar-mutar gelas kopiku. "Apa kamu pikir aku harus terima tawaran ayah?"
"Itu bukan pertanyaannya, Rez. Pertanyaannya adalah: apa yang terbaik untukmu dan ibumu dalam jangka panjang? Terus tinggal di rumah yang penuh kekerasan? Atau mencari cara lain?"
Dia tersenyum kecil. "Dulu di pesantren, ustaz selalu bilang: Tuhan kasih banyak jalan, tapi kita harus berani memilih yang paling tepat, bukan yang paling mudah."
Aku terdiam. Pikiranku melayang ke Lia. "Aku... aku takut kehilangan Lia. Dia tidak suka dunia kayak gitu. Dunia orang kaya yang penuh kepalsuan."
Nisa mengangkat alis. "Lia itu cewek baik, Rez. Dia cinta kamu untuk siapa dirimu, bukan untuk latar belakangmu. Lagian..." dia menyeringai, "dari ceritamu, hubungan kalian sudah cukup dalam ya?"
Aku sedikit tersipu. "Kita... dekat. Tapi aku merasa tidak pantas untuknya. Hidupku berantakan begini."
"Justru itulah kenapa dia tetap bertahan, Rez. Karena dia melihat sesuatu dalam dirimu yang kamu sendiri tidak lihat."
---
Pukul sebelas malam, aku memutuskan pulang. Percakapan dengan Nisa memberiku sedikit kejelasan, tapi tidak banyak membantu.
"Aku antar kamu," katanya sambil berdiri.
"Gak usah, Nis. Jarak dekat kok."
"Dengar, Rez. Jakarta malam-malam begini tidak aman. Lagian aku kan tinggal di kosan dekat sini."
Kami berjalan pelan. Suara klakson mobil dan musik dari club malam memenuhi udara. Dunia ini terus berputar, tidak peduli dengan masalah kita.
"Kalau kamu memutuskan untuk tinggal dengan ayahmu," kata Nisa tiba-tiba, "itu tidak membuatmu jadi anak yang buruk. Kadang kita harus egois untuk bisa bertahan."
"Tapi Ibu..."
"Ibumu adalah wanita kuat, Rez. Dia sudah bertahan dari perceraian, dari pengkhianatan. Dia akan bertahan dari ini."
Sampai di depan rumah, Nisa memelukku. "Pikirkan baik-baik. Apapun keputusanmu, aku dukung."
Aku melihatnya berjalan pergi, hijabnya berkibar ditiup angin malam. Aku berdiri sebentar di depan pagar, mengumpulkan keberanian untuk masuk.
Rumah sudah gelap. Aku membuka pintu pelan-pelan, berharap semua sudah tidur.
Tapi Ibu duduk di teras belakang, sendirian. Bahunya terangkat-naik, seperti habis menangis.
"Ibu?" panggilku pelan.
Dia menoleh cepat, menyeka wajahnya. "Reza... kamu pulang."
Aku duduk di sampingnya. Di bawah cahaya bulan, aku melihat memar di pipinya. Merah kebiruan, persis di tulang pipi.
"Ibu, itu apa?" tanyaku, suaraku gemetar.
Dia menunduk. "Gak apa-apa, Nak. Ibu tidak lihat, nabrak pintu."
"Jangan bohong, Ibu." Aku menarik napas dalam. "Budi, kan?"
Ibu menangis. Pelan, tapi menyakitkan. "Dia... dia marah karena uang. Katanya uangnya hilang. Tapi Ibu tidak ambil, Nak. Demi Tuhan, Ibu tidak ambil."
Aku meremas tangan. Kemarahan membara di dadaku. Ingin rasanya masuk ke kamar Budi dan...
"Jangan, Reza," bisik Ibu, seperti bisa membaca pikiranku. "Ibu bisa tangani. Ibu sudah biasa."
"Itu yang membuatku semakin marah, Bu! Ibu sudah biasa diperlakukan seperti sampah!"
Ibu memegang tanganku. "Dengarlah, Nak. Ibu tahu hidup di sini sulit. Tapi Ibu memilih ini. Ibu tidak mau kamu terganggu kuliahnya."
"Tapi Ibu tidak lihat? Justru ini mengganggu kuliahku! Setiap hari aku khawatir, Ibu! Setiap hari aku takut pulang dan menemukan Ibu..."
Aku tidak bisa melanjutkan. Dadaku sesak.
Ibu memelukku. "Ibu minta maaf, Nak. Ibu sudah buat hidupmu sulit."
Bukan Ibu yang harus minta maaf, pikirku. Tapi aku tidak bisa mengatakannya.
Ponselku bergetar. Aku mengeluarkannya. Sebuah pesan masuk.
Ayah: Besok jam 8, aku tunggu. Jangan kecewakan aku lagi, Nak. Tapi kalau kau masih mau bersama ibumu, ayah tetap menunggu kamu disini.
Aku menatap pesan itu. Lalu menatap Ibu yang masih memelukku, pipinya yang memar, matanya yang penuh air mata.
Jantungku berdebar kencang. Di depanku, ada ibu yang kucintai tapi tak bisa kuselamatkan. Di belakangku, ada ayah yang pernah menghancurkan kami, menawarkan jalan keluar.
Dan aku terjebak di antara keduanya.
