Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Malam Jumat (1)

“Re, mama mau yang terbaik buat kamu."

"Apa, Ma?"

"Minggu depan kamu nikah!"

"What?! Nikah? Ma, Rere masih SMA, Rere gak mau nikah, intinya Rere gak mau!" tolak Rere.

"Sial, gue yang pacaran dia yang nikah," umpat Gina yang mendengar semua percakapan mereka.

"Ini yang terbaik, Re."

"Terbaik apanya, Ma?! Terbaik buat Mama? Atau terbaik untuk menjaga nama baik keluarga Pratama?"

"Tutup mulut kamu!" bentak Karina.

"Mama egois! Mama lebih mementingkan nama baik keluarga daripada masa depan anaknya. Mama jahat." Rere hendak pergi. Namun, tangannya dicekal oleh papanya.

"Masa depan apa hah?! Orang bodoh dan nakal seperti kamu mau menata masa depan yang seperti apa? Berantem di mana-mana atau hamil di luar nikah?" ucap Karina tajam.

"Rere gak nyangka, Mama bisa berpikir seperti itu. Padahal, Mama dan Papa sama sekali gak tahu kelebihan Rere. Kalian hanya melihat Rere dari sisi buruk yang kalian lihat. Kalian jahat!" sarkas Rere.

"Re, papa dan Mama melakukan hal ini agar merubah kebiasaan buruk kamu, setidaknya bisa memperbaiki nilai kamu yang jauh dari rata-rata itu, papa cuman mau lelaki itu bisa merubah kamu ke arah yang lebih baik, sayang." Kali ini Rusli angkat bicara.

"Pa, Ma. Rere sudah besar, Rere tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Rere bisa menata masa depan Rere dengan cara Rere sendiri, bukan dengan nafsu mama yang menginginkan nama baik keluarga ini terus terjaga, itu sama saja mama egois," ujar Rere.

"Ya Tuhan, kenapa gak ada satu orang pun yang percaya dengan kelebihanku? Apa aku gak pantas untuk bahagia? Lalu bagaimana jadinya jika Rere menikah tanpa didasari dengan cinta?" batin Rere.

"Mama gak mau tahu, pokoknya minggu depan kita bicarakan!"

Rere tidak mempedulikan mamanya, ia berlari ke luar rumah, entah ke mana ia akan pergi.

Di jalan, Rere hanya bisa mengeluarkan air matanya seraya berjalan menunduk. Namun, saat Rere hendak menyebrang, ada sebuah motor yang hampir menabrak Rere. Sontak Rere dan lelaki di motor itu kaget bukan main, karena malam itu adalah malam jumat dan Rere keluar sendirian dengan rambut panjangnya yang terurai disertai kaos putihnya.

"Astagfirullah, ya Allah lindungi hambamu ini dari gangguan makhluk seperti yang ada di depan hamba, lindungi hamba ya Allah, jangan sampai hamba diapa-apain sama makhluk ini," ucap lelaki itu seraya menutup matanya dengan kedua tangannya.

Rere yang melihat itu terbahak-bahak, lelaki itu pun langsung membuka tangannya.

"HAHAHA! Lo itu apa-apaan sih? Percaya sama begituan? Woi inget ini udah tahun berapa! Dua ribu dua puluh masih percaya kayak gitu? Hellow apa kabar dengan popularitas Anda," sindir Rere disertai tawaannya yang tak bisa berhenti.

"Eh sialan lo! Ternyata lo, cewek aneh yang selalu ganggu ketentraman gue. Pantas aja gue kaget, ya lo mirip banget sama yang sering keluar malam-malam kayak gini," ucap lelaki itu yang tak lain adalah Rey.

"Jadi, ketua OSIS ini takut sama hantu? Ya ampun, gosip baru nih," ucap Rere asal.

"Tutup mulut lo! Atau gue aduin video bolos lo ke kepala sekolah," ancam Rey tak mau kalah menggertaknya.

"Eh jangan! Iya deh gue gak akan sebarin, tapi ada syaratnya," bujuk Rere.

"Apaan?"

"Traktir gue makan malam ini, gue laper gak bawa duit."

"Hah?! Gak salah? Keluarga Pratama minta ditraktir? Duit keluarga lo yang segudang itu ke mana?" sindir halus Rey.

"Yang kaya itu orang tua gue, bukan gue. Gue gak punya apa-apa, gue miskin."

Rey yang mendengar suara perut Rere tak tega untuk meninggalkannya malam-malam seperti ini, ia memutuskan untuk mengajak Rere ke suatu tempat.

"Yaudah, ayo!"

"Ngapain?"

"Lo maunya ngapain?"

"Gak jelas lo bikin gue pengin nonjok, tahu?!" Rere berdecak pinggang di hadapan Rey.

"Ya 'kan tadi lo yang minta ditraktir, pinter banget sih jadi cewek—ralat— cewek jadi-jadian."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel