2. Kelebihan Rere
"Sekarang pajaran bahasa Inggris, Re," bisik Mala.
"Serius lo?!"
"Iya, kenapa?"
"Gue gak perlu belajar kalau itu, lima belas menit selesai," sombong Rere.
"Gaya lo! Mana ada murid yang sering bolos pintar pelajaran tersulit itu," cecar Mala.
"Kita buktikan, oke."
Pengawas perempuan itu membagikan soal kepada seluruh murid di ruangan itu tanpa terkecuali.
Rere yang mendapatkan soal lebih awal, ia bergegas mengisi biodata dan soal demi soal yang tertera di kertas itu. Tak peduli teman-temannya yang lain berisik untuk bertukar jawaban, karena menurut Rere soal ini adalah soal termudah yang pernah ia temui.
Setelah 15 menit, Rere maju untuk mengembalikan kertas soal dan kertas jawaban pada pengawas.
"Woi, Re, cepat amat lo? Google ya? Ngaku lo!" cicit Indri tak percaya.
"Mana ada gue google, hp gue 'kan disita mama," ucap Rere.
Bahkan kedua sahabatnya pun tak percaya jika Rere sangat pandai dengan pelajaran yang satu ini, begitu juga dengan mamanya yang tak percaya dengan kemampuan Rere, karena Rere hanya terkenal dengan kenakalannya dan sikapnya yang sering bolos sekolah.
Rere selalu dibanding-bandingkan dengan kedua saudaranya, padahal menurut Rere semua orang pasti punya keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Namun, keluarganya tak pernah percaya dengan kemampuannya. Biarkanlah, suatu saat mereka pasti percaya dengan kelebihan Rere.
Karena Rere telah selesai mengerjakan, ia diminta untuk menunggu di luar kelas.
Rere melihat sekeliling, tampak sepi seperti pada umumnya, namun ada seorang lelaki yang terlihat dari jauh, ia berada di kelas 11 saat ini.
Rey, pria yang sangat unggul di semua pelajaran, bahkan ia terpilih sebagai ketua OSIS karena kepandaiannya.
Tanpa sadar, Rey dan Rere saling menatap dari kejauhan, tak ada tatapan benci kali ini, melainkan tatapan heran dari seorang Rey untuk Rere karena hanya mereka berdualah yang telah selesai mengerjakan dari sekian banyak murid SMA Insan Jaya ini.
"Itu ketos ngapain ngeliatin gue mulu sih," batin Rere.
Rere tak menghiraukan tatapan Rey, begitu juga dengan Rey yang mengalihkan pandangannya karena kedatangan seorang guru.
"Ini teman-teman gue pada lemot atau gimana sih? Soal segitu gampangnya sampai setengah jam belum selesai," batin Rere menggerutu.
Satu jam, kedua temannya itu bahkan belum ada yang keluar satu pun.
"Rere ...," teriak Indri saat dirinya baru saja keluar dari kelas.
"Udah lo? Lama amat, satu jam, kenapa gak sekalian sehari aja?" Rere berdecak kesal karena menunggu terlalu lama.
"Gila lo, segitu aja gue udah bersyukur banget ditolong sama Alika, kalau gak ada dia bisa mati gue," ucap Mala.
"Cih! Cewek so pinter itu? Haha, lihat nanti, gue yakin nilai pelajaran ini gue yang lebih unggul daripada dia," ucap Rere santai.
"Gaya lo, Re. Absen bolos berapa sih, hah?" Mala berdecak pinggang di depan Rere.
"Juara satu gue kalau absen bolos."
"Bodoh!"
***
Pulang sekolah, lagi-lagi Rere harus menunggu abangnya ini, Rere sangat tidak suka jika harus disuruh menunggu, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti, menyakitkan sekali, bukan?
Rere merogoh saku bajunya, ia mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Kenapa, Re?"
"Bisa ke gerbang sebentar gak? Gue lagi nunggu abang lama banget, temenin," pinta Rere.
"Duh sorry, Re, gue lagi ada urusan."
Selalu seperti ini, Rere tak pernah dijadikan prioritas oleh pacarnya sendiri.
Fariz Aldiwijaya, pria yang menjabat sebagai pacar Rere selama 8 bulan ini. Namun, Rere tak pernah merasakan layaknya sebagai pacar pada umumnya.
"Ya Tuhan, kenapa Rere harus mengalami kehidupan seperti ini," batin Rere.
Tak lama, Rere melihat kedatangan Dito, banyak perempuan yang terpesona melihat ketampanan Dito Namun, bagi Rere Dito tetaplah Dito, abang yang paling membuat Rere merasa kesal sendiri ketika dekat dengannya, pasti saja ada keributan yang mereka berdua perbuat, dari kecil hingga besar seperti sekarang tak ada yang berubah, hanya saja hal yang menjadi bahan rebutan mereka berdua.
"Lama banget lo, Bang. Nyari cabe dulu ya? Gak usah jauh-jauh, teman-teman gue pada cabe semua kok."
"Sembarangan lo kalau ngomong. Udah cepetan! Mau bareng gue atau naik angkot?" tanya Dito.
"Iya deh iya, Abang bawel, eh btw si Gina sama siapa?"
"Sama pacarnya—eh—gebetan maksudnya, anak SMA sini juga kalau gak salah," ucap Dito.
"Hah?!" Rere terbelalak kaget ketika mengetahui pacar adiknya itu adalah murid satu sekolahnya.
"Dia 'kan kelas sembilan, bentar lagi SMA," ucapnya.
Rere naik ke motor Dito, semua siswi yang melihat itu terbelalak kaget dengan tingkah Rere, bagaimana tidak? Disaat pacarnya sedang sibuk dengan suatu hal, Rere juga tak mau kalah sibuk dengan yang baru, itulah pikiran mereka terhadap Rere. Padahal kenyataannya jauh dari itu, Rere setia dengan pacarnya.
"Bang, lo gak ada niatan pacaran gitu?" tanya Rere saat di perjalanan, karena selama ini Rere tak pernah melihat Dito membawa seorang perempuan ke rumahnya.
"Gak ada waktu buat pacaran, bagi gue pacaran cuman buang-buang waktu."
"Lah?"
"Lo aja pacaran berbulan-bulan gak menghasilkan apa-apa, yang ada malah tambah bego karena lo salah bergaul dengan orang kayak Fariz," ucap Dito.
"Maksud lo? Fariz kenapa?"
"Tuh 'kan, bahkan lo aja gak tahu. Gue gak akan ngasih tahu lo, biar lo tahu sendiri nanti," ucap Dito, Rere mengangguk malas.
Sesampainya di rumah, Rere terbelalak kaget dengan adanya sang ketua OSIS di kursi depan rumahnya, ia bersama Gina yang sedang bercanda ria.
Dito tak peduli, ia memilih masuk dengan wajah datarnya, sedangkan Rere menatap tajam lelaki itu.
"Woi, ngapain lo di sini?!" ucap Rere.
"Lah? Seharusnya gue yang nanya, lo ngapain di rumah Gina?" jawab Rey.
"Rumah Gina rumah gue juga, pinter!"
Rere tak menghiraukan kedekatan mereka berdua, meski ia merasa risih karena kedatangan musuhnya itu.
"Gak mungkin 'kan kalau si ketos itu pacarnya Gina?" gumam Rere dalam hatinya.
Jam 4 sore, Rere melihat Rey yang masih berada di depan rumahnya, artinya 2 jam Rey berada disini, entah apa yang dilakukan mereka berdua di siang ini.
"Ngapain sih masih di sini? Gak punya rumah lo?" sinis Rere pada Rey, Gina menatapnya tajam.
"Kak, lo apa-apaan, sih?! Emang kenapa kalau dia ada di sini? Ganggu lo?" timpal Gina.
"Ya lo berdua tahu waktu lah, siang-siang seperti ini berduaan, mana ada yang gak risi?!" Rere melampiaskan sorot tajam matanya pada Gina.
"Terserah lo deh, Kak! Emang ya, lo itu gak pernah bisa kalau ngelihat gue bahagia sedikit pun," ucap Gina lalu pergi meninggalkan Rere dan Rey dengan wajah kesalnya.
Rey yang melihat Gina pergi ia pun bergegas pergi dari hadapan Rere untuk pulang ke rumahnya.
"Berantem jadinya? Gue penyebabnya? Yaelah, baperan amat sih, bocah dasar," batin Rere.
Rere masuk ke dalam menuju kamarnya, namun di ruang keluarga terlihat Kirana sedang berdecak pinggang melihat kedatangan Rere.
"Bagus ya bagus! Terus aja buat mereka berantem," ucap Kirana.
"Hah? Maksud Mama?"
"Kamu udah bego Re, gak usah pura-pura gak tahu yang bisa bikin kamu tambah bego," cicit Kirana.
"Ma, kenapa Mama selalu membela Gina? Coba Mama hitung, berapa kali Mama bela Rere daripada Gina?! Rere tahu Gina itu anak bungsu, tapi gak gini caranya cara Mama membanding-bandingkan anaknya. Mama harus adil antara kita bertiga! Rere gak mau diginiin terus, Ma." Rere terisak setelah ia melontarkan semua unek-unek yang ia tahan.
"Jaga bicara kamu! Kamu tahu 'kan sekarang kamu sedang berbicara dengan siapa? Mama kamu!" bentak Karina.
"Siapa yang bilang Rere lagi bicara dengan orang lain? Rere cuman minta keadilan dari Mama, apa Rere salah?"
Rere tak mempedulikan lagi, ia berlari menuju kamarnya, lalu Rere mengunci kamarnya rapat-rapat, sungguh hari ini sangat menguras emosi Rere.
Tok ... tok ... tok ....
Seseorang mengetuk pintu kamar Rere, dia adalah—
