Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 05 - Jejak di pelabuhan lama

Mentari pagi menembus sela-sela gedung rusak. Bara duduk bersila di tepi atap, memandangi jalanan yang masih sepi. Reya bersandar di tembok belakang, masih waspada, pistol di pinggang, matanya terus memperhatikan sekeliling.

“Lo yakin aman di sini?” tanya Reya.

Bara mengangguk pelan. “Tempat ini dulu base pelatihan waktu gue masih SMA. Gak ada yang tahu. Gak ada yang nyari.”

Reya menghampiri. “Gue baru dengar satu hal tentang Ira Kencana tadi malam. Tapi lo, lo udah pernah dilatih sama dia? Itu bukan guru biasa, Bar.”

Bara memejamkan mata sejenak. Ingatan lama muncul: wanita berambut pendek, suara tenang, pidato tentang integritas dan hukum. Tapi di balik semua itu... ada sorot mata dingin yang dulu tak pernah Bara pahami.

“Dulu, gue pikir dia orang paling lurus yang pernah gue kenal. Tapi waktu bokap gue dituduh korupsi, dan bukti yang bisa nyelamatin dia tiba-tiba ‘hilang’ di kantor Ira—semua berubah.”

Reya terdiam. “Jadi... lo yakin dia jual bokap lo?”

Bara membuka mata. “Gue gak yakin. Tapi malam itu, Ira ngasih gue uang... dalam amplop. Dia cuma bilang: ‘Lanjut hidup lo, Bara. Dunia gak selalu butuh pahlawan.’”

Reya menatap Bara lama. “Dan lo pilih jadi pahlawan jalanan.”

Bara hanya tertawa pelan. “Atau pecundang keras kepala.”

Pukul 08:00 – Kantor Berita Independen, Distrik Selatan

Seorang jurnalis muda dengan kamera di leher—Damar—menerima sepucuk amplop tak bernama. Di dalamnya, foto-foto dari malam sebelumnya: Bara di Lorong Tujuh, perkelahian berdarah, Reya menodongkan pistol.

“Siapa yang kirim ini?” bisik Damar, gemetar.

Di belakangnya, layar komputernya menampilkan berita utama:

“Legenda Kota atau Kriminal Jalanan? Siapa Sebenarnya Bara?”

Pukul 09:25 – Dalam Mobil Reya

Reya membuka email dari informannya. Satu nama muncul lagi—“Advokat Hitam”—julukan bagi Ira di jaringan bawah tanah. Tapi ada satu tambahan mengejutkan:

“Dulu dia juga dikenal sebagai Tangan Kanan Kapten Raka.”

Bara yang mendengar langsung menoleh tajam. “Kapten Raka?”

Reya mengangguk. “Komandan Operasi Rahasia yang pernah dikira tewas dalam operasi bersih-bersih mafia sepuluh tahun lalu.”

Bara mengatupkan rahangnya. “Kalau dia hidup... dan Ira orangnya... artinya ini bukan sekadar jaringan kejahatan biasa. Ini militer. Ini... sistemik.”

Pukul 10:10 – Apartemen Reya

Telepon Reya berdering. Di ujung suara: seseorang dari masa lalu Bara. Suara laki-laki, berat, dalam, dingin.

“Bara... kalau lo mau jawaban soal bokap lo dan soal Ira... lo harus datang ke Pelabuhan Lama, jam dua siang. Sendirian. Kalau lo bawa siapa-siapa, yang mati bukan cuma lo.”

Reya berdiri. “Kita harus susun strategi—”

Tapi Bara sudah mengambil jaketnya. “Gue datang sendiri.”

“GILA LO?! Itu bisa jebakan!”

Bara menoleh, serius.

“Kalau Ira Kencana nyambung sama kematian bokap gue... gue harus tahu. Entah gue mati hari ini... atau mulai hidup lagi.”

Angin asin laut berembus kencang, membawa aroma karat dan kenangan kelam. Bara berjalan perlahan di antara kontainer berkarat, langkahnya mantap, matanya awas menelisik tiap bayangan.

Di tangan kirinya, ia menggenggam erat liontin kecil—satu-satunya peninggalan dari ayahnya, kini mulai terasa berat seperti beban masa lalu.

Dari kejauhan, seorang pria bertubuh kekar dengan topi hitam berdiri di ujung dermaga, membelakanginya.

“Lo datang,” ucap pria itu tanpa menoleh.

“Gue sendiri, seperti lo minta,” jawab Bara datar.

Pria itu menoleh perlahan—wajah penuh bekas luka, mata tajam namun lelah.

“Nama gue dulu Ardiansyah, tapi semua orang di dunia bawah kenal gue sebagai Bang Radja. Gue anak buah terakhir yang masih hidup dari... Kapten Raka.”

Bara mendekat satu langkah. “Gue nyari jawaban. Tentang Ira. Tentang bokap gue.”

Radja menghela napas panjang. “Lo harus ngerti, Bara... semua ini jauh lebih besar dari dendam lo.”

Ia mengeluarkan sebuah flashdisk kecil dan melemparkannya ke Bara.

“Isinya rekaman: pertemuan rahasia sepuluh tahun lalu. Termasuk Ira... dan bokap lo.”

Bara menggenggam flashdisk itu, mata tak lepas dari Radja. “Lo ada di sana?”

Radja mengangguk. “Dan gue ngelihat... gimana bokap lo dibuang karena nolak main kotor. Ira waktu itu masih idealis. Tapi sesuatu berubah. Dia naik cepat... terlalu cepat.”

Bara mencengkeram flashdisk itu erat. “Lo yakin ini bukan jebakan?”

Radja mendekat, suaranya nyaris berbisik.

“Gue udah kehilangan semua, Bar. Keluarga gue dibakar hidup-hidup karena gue nolak nurut lagi sama mereka. Sekarang... cuma lo satu-satunya yang bisa habisin mereka dari dalam.”

Tiba-tiba...

DORRR!!

Tembakan memecah udara. Radja terhuyung, peluru menembus bahunya.

Dari atap kontainer seorang sniper!

“BARA! AMBIL DISKNYA DAN LARI!” teriak Radja sambil menarik pistol dari balik jaket.

Bara melompat ke balik peti kayu, flashdisk masih dalam genggaman. Dua peluru nyaris mengenai lututnya.

DOR DOR DOR!!

Radja membalas tembakan, namun sniper itu bergerak cepat, menghilang dari atap kontainer.

Suara mesin mendekat—SUV hitam tanpa plat nomor muncul dari arah selatan pelabuhan. Pintu belakang terbuka, Reya berteriak dari dalam:

“MASUK! SEKARANG!!”

Bara berlari sambil menarik Radja yang sudah nyaris pingsan. Darah membasahi lengan baju Radja.

Mobil melaju kencang, meninggalkan pelabuhan dan dentingan peluru yang masih terpantul di udara.

Pukul 15:10 – Apartemen Reya, Lantai 23

Radja dibaringkan di sofa, luka di bahunya sudah dibalut. Reya sibuk mengunci jendela dan menghapus jejak GPS mobil.

Bara menatap layar laptop—membuka isi flashdisk. Terdapat satu folder: "RAHASIA_MISI_RAKA"

Dalamnya: rekaman video dengan cap waktu 10 tahun lalu. Di sana, suara ayahnya terdengar jelas, berdebat dengan seorang wanita—yang tak lain adalah Ira Kencana.

“Saya gak akan tandatangan dokumen ini, Ira. Ini bukan keadilan. Ini permainan kotor.”

“Keadilan butuh kekuatan, Pak Hidayat. Bukan sekadar niat baik.”

“Lo salah jalan, Ira.”

“Atau mungkin saya yang satu-satunya paham cara main di dunia ini…”

Bara memejamkan mata. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras.

Reya berdiri di belakangnya, pelan berkata, “Bar... ini baru awal. Kita nyenggol sarang naga.”

Bara menoleh, suara lirih namun tegas:

“Kalau naga-nya nyulik cahaya... gue siap jadi apinya.”

Angin asin laut berembus kencang, membawa aroma karat dan kenangan kelam. Bara berjalan perlahan di antara kontainer berkarat, langkahnya mantap, matanya awas menelisik tiap bayangan.

Di tangan kirinya, ia menggenggam erat liontin kecil—satu-satunya peninggalan dari ayahnya, kini mulai terasa berat seperti beban masa lalu.

Dari kejauhan, seorang pria bertubuh kekar dengan topi hitam berdiri di ujung dermaga, membelakanginya.

“Lo datang,” ucap pria itu tanpa menoleh.

“Gue sendiri, seperti lo minta,” jawab Bara datar.

Pria itu menoleh perlahan—wajah penuh bekas luka, mata tajam namun lelah.

“Nama gue dulu Ardiansyah, tapi semua orang di dunia bawah kenal gue sebagai Bang Radja. Gue anak buah terakhir yang masih hidup dari... Kapten Raka.”

Bara mendekat satu langkah. “Gue nyari jawaban. Tentang Ira. Tentang bokap gue.”

Radja menghela napas panjang. “Lo harus ngerti, Bara... semua ini jauh lebih besar dari dendam lo.”

Ia mengeluarkan sebuah flashdisk kecil dan melemparkannya ke Bara.

“Isinya rekaman: pertemuan rahasia sepuluh tahun lalu. Termasuk Ira... dan bokap lo.”

Bara menggenggam flashdisk itu, mata tak lepas dari Radja. “Lo ada di sana?”

Radja mengangguk. “Dan gue ngelihat... gimana bokap lo dibuang karena nolak main kotor. Ira waktu itu masih idealis. Tapi sesuatu berubah. Dia naik cepat... terlalu cepat.”

Bara mencengkeram flashdisk itu erat. “Lo yakin ini bukan jebakan?”

Radja mendekat, suaranya nyaris berbisik.

“Gue udah kehilangan semua, Bar. Keluarga gue dibakar hidup-hidup karena gue nolak nurut lagi sama mereka. Sekarang... cuma lo satu-satunya yang bisa habisin mereka dari dalam.”

Tiba-tiba...

DORRR!!

Tembakan memecah udara. Radja terhuyung, peluru menembus bahunya.

Dari atap kontainer—seorang sniper!

“BARA! AMBIL DISKNYA DAN LARI!” teriak Radja sambil menarik pistol dari balik jaket.

Bara melompat ke balik peti kayu, flashdisk masih dalam genggaman. Dua peluru nyaris mengenai lututnya.

DOR DOR DOR!!

Radja membalas tembakan, namun sniper itu bergerak cepat, menghilang dari atap kontainer.

Suara mesin mendekat—SUV hitam tanpa plat nomor muncul dari arah selatan pelabuhan. Pintu belakang terbuka, Reya berteriak dari dalam:

“MASUK! SEKARANG!!”

Bara berlari sambil menarik Radja yang sudah nyaris pingsan. Darah membasahi lengan baju Radja.

Mobil melaju kencang, meninggalkan pelabuhan dan dentingan peluru yang masih terpantul di udara.

Pukul 15:10 – Apartemen Reya, Lantai 23

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel