Bab 06 - Pilihan bara
Radja dibaringkan di sofa, luka di bahunya sudah dibalut. Reya sibuk mengunci jendela dan menghapus jejak GPS mobil.
Bara menatap layar laptop—membuka isi flashdisk. Terdapat satu folder: "RAHASIA_MISI_RAKA"
Dalamnya: rekaman video dengan cap waktu 10 tahun lalu. Di sana, suara ayahnya terdengar jelas, berdebat dengan seorang wanita yang tak lain adalah Ira Kencana.
“Saya gak akan tandatangan dokumen ini, Ira. Ini bukan keadilan. Ini permainan kotor.”
“Keadilan butuh kekuatan, Pak Hidayat. Bukan sekadar niat baik.”
“Lo salah jalan, Ira.”
“Atau mungkin saya yang satu-satunya paham cara main di dunia ini…”
Bara memejamkan mata. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras.
Reya berdiri di belakangnya, pelan berkata, “Bar... ini baru awal. Kita nyenggol sarang naga.”
Bara menoleh, suara lirih namun tegas:
“Kalau naga-nya nyulik cahaya... gue siap jadi apinya.”
Pukul 01:23 – Apartemen Reya, Lantai 23
“Lo yakin tempatnya ini?” tanya Bara sambil menunjuk titik merah di peta digital di laptop Reya.
Reya mengangguk. “Semua data dari flashdisk itu mengarah ke fasilitas di bawah tanah kawasan industri kosong di Distrik Barat. Gak ada nama resmi, gak terdaftar, tapi listriknya nyedot kayak pabrik senjata.”
Bara menatap layar, lalu ke Reya. “Lo pernah masuk sana?”
Reya tersenyum tipis. “Gue pernah hampir mati di sana.”
Hening. Hanya suara kipas laptop yang terdengar.
Radja, yang duduk dengan bahu dibalut perban, akhirnya angkat bicara, suaranya lemah tapi serius.
“Tempat itu bukan cuma markas. Itu... arsip hidup. Semua operasi rahasia mereka disimpan di situ. Kalau kalian bisa masuk dan ambil data utama—lo bisa bikin semua struktur kekuasaan mereka runtuh.”
Bara berdiri, memandangi jendela. Kota malam memantulkan cahaya biru ke wajahnya. “Berarti kita gak cuma nyerang... kita bakal ngungkap semuanya.”
Reya mendekat, meletakkan tangan di bahu Bara. “Dan kita harus cepat. Mereka pasti tahu flashdisk itu di tangan lo sekarang.”
Pukul 03:42 – Distrik Barat, Kawasan Industri Terbengkalai
Bara dan Reya menyusup lewat gorong-gorong tua yang dulunya saluran limbah pabrik tekstil. Bau apek dan suara tetesan air menemani langkah mereka yang mantap di kegelapan.
“Kenapa selalu jalannya lewat tempat jorok?” gumam Bara sambil menghindari genangan air hitam.
“Karena keadilan gak pernah dikasih karpet merah,” jawab Reya ringan, tapi tegang.
Mereka sampai di dinding logam besar dengan sistem pemindai retina.
Reya mengeluarkan sebuah lensa mata palsu dari kantong kecil. “Ini bekas mata salah satu petinggi mereka. Mati dua minggu lalu karena ‘kecelakaan tangga’. Untung bola matanya masih bisa dipakai.”
“Lo serem,” kata Bara lirih.
Pintu terbuka dengan bunyi desis elektromekanis.
Di dalam—sebuah koridor putih terang steril. Tidak ada kamera, tapi Bara merasa diperhatikan.
Mereka menyusup lebih dalam. Di ujung lorong, ada tiga pintu.
“Pintu satu ruang eksperimen. Dua, ruang interogasi. Tiga, server utama,” bisik Reya.
Bara menunjuk ke arah server. “Data dulu. Bukti dulu. Baru kita putar balik dan ledakkan tempat ini.”
Saat mereka membuka pintu ketiga—mata Bara membelalak.
Puluhan tabung kaca berisi manusia. Beberapa masih hidup, tertidur seperti dikendalikan bius. Di dinding: data genetika, catatan eksperimen modifikasi.
“Ini gila…” desis Reya.
Salah satu tabung mulai berbunyi bip bip bip… tanda aktif.
Mata di dalam tabung terbuka—seorang anak kecil, sekitar usia 10 tahun, menatap Bara tajam.
Dan anak itu… mirip Bara.
Bara mundur selangkah. “Gila… ini…”
Reya menarik tangannya. “Bar, kita harus keluar. Sekarang. Ini bukan cuma markas mafia. Ini fasilitas cloning.”
Tiba-tiba, suara mikrofon terdengar dari speaker langit-langit:
“Kau terlalu dalam masuk, Bara. Tapi belum terlambat untuk memilih sisi…”
Suara itu…
Ira Kencana.
Pukul 03:58 – Fasilitas Bayangan, Ruang Server
Suara Ira menggema lagi dari speaker di langit-langit.
"Mereka bukan hanya eksperimen, Bara. Mereka... adalah bagian dari dirimu. Harapan baru. Pewaris kekuatanmu."
Bara menatap tabung kaca di depannya. Anak laki-laki itu masih menatap tajam, seperti sadar… atau seperti mengenali Bara.
“Jangan dengarkan dia,” kata Reya cepat, memegang lengan Bara. “Ini permainan psikologis. Lo bukan eksperimen. Lo bukan alat.”
Tapi Bara tidak menjawab. Pandangannya terkunci pada data yang berderet di layar.
Nama subjek: B-07
Sumber DNA: Bara Adyatma x unknown (EKS-13)
Status: Stabil
Level adaptasi: Tinggi
Kemampuan motorik: Di atas rata-rata
Catatan: "Kandidat pewaris proyek ‘Petarung Jalanan’ fase dua."
“Gue... dari awal udah jadi bagian dari ini?” bisik Bara.
Reya mendekatkan wajahnya ke layar. “Bisa jadi cuma sampel. Bisa jadi lo diculik waktu kecil—tapi itu gak bikin lo jadi bagian dari mereka.”
Tiba-tiba lampu darurat menyala merah. Alarm berbunyi.
“Pintu keluar akan dikunci dalam 7 menit.”
“Tim penindak sedang menuju ke fasilitas.”
Reya mengutuk pelan. “Mereka tahu kita di sini. Kita harus cabut!”
Bara menoleh cepat. “Kita gak bisa tinggalin mereka.”
Reya ragu sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kita ambil satu. Gak mungkin bawa semua.”
Bara menatap anak laki-laki di dalam tabung. “Yang itu. B-07.”
Reya membuka panel kontrol, tangannya bergerak cepat membobol sistem pembuka.
Tabung terbuka perlahan. Uap putih menyembur. Anak itu terbatuk, lalu jatuh berlutut, masih gemetar.
Bara menunduk dan meraih tubuh kurusnya. “Namamu siapa?”
Anak itu menatapnya. Mata hitam pekat, seperti bayangan Bara sendiri. “…Bara juga, katanya.”
Reya terkejut. “Mereka bahkan ngasih nama lo juga?”
Tiba-tiba pintu utama terbuka paksa. Tiga pria bersenjata penuh taktis masuk.
“Serahkan anak itu!” teriak salah satu dari mereka.
Bara mengangkat anak itu ke belakang punggungnya dan berdiri. “Kalau mau, lewat gue dulu.”
Dan begitu kalimat itu keluar… Bara bergerak.
Cepat. Mematikan. Dua detik pertama, satu penjaga pingsan. Tiga detik berikutnya, senjata disita. Enam detik—semua tumbang.
Reya berdiri mematung. “Lo... lebih cepat dari biasanya.”
Bara menoleh. “Gue gak tahu kenapa. Tapi pas tadi gue lihat dia… gue ngerasa kayak semua energi di tubuh gue aktif.”
Mereka lari menyusuri lorong. Suara tembakan terdengar dari jauh. Tubuh anak itu dipeluk erat oleh Bara.
“Kau mencuri masa depanmu sendiri, Bara,” suara Ira terdengar lagi, lebih dekat. “Tapi semua pilihan ada harganya.”
Bara menggertakkan gigi. “Gue udah bayar terlalu mahal selama ini…”
“Belum.”
Tiba-tiba dinding di depan mereka meledak. Dari reruntuhan, muncul sosok tinggi berpakaian hitam, wajah setengah tertutup masker logam.
“Siapa lagi ini?” tanya Reya waspada.
Bara menurunkan anak itu. “Bawa dia keluar. Gue tahan yang ini.”
Reya ragu. “Lo yakin?”
“Cepat!”
Reya menarik anak itu, berlari ke arah lift darurat.
Sementara Bara berdiri menghadap sosok baru itu, napasnya berat.
“Kalau lo kiriman Ira,” kata Bara, mengangkat tinjunya, “lo bakal nyesel gak lahir dua kali.”
Sosok bertopeng itu hanya diam, lalu angkat tangan… dan menyalakan sarung tangan listrik berwarna biru menyala.
Lorong Bawah Tanah – Fasilitas Bayangan, 04:06 WIB
Tubuh Bara berdiri tegang. Sosok bertopeng di hadapannya melangkah pelan ke depan. Sarung tangan di tangan kanannya bersinar biru, suara bzzt listrik menggema dari logamnya.
“Kau tidak tahu siapa aku, tapi tubuhmu tahu apa yang harus dilakukan.”
Suaranya berat, teredam oleh masker logam. Bara menggertakkan gigi.
“Kalau lo nyebut diri lo siapa pun yang penting, gue juga gak peduli. Yang gue tahu—lo penghalang!”
