Pustaka
Bahasa Indonesia

Petarung Jalanan

25.0K · Tamat
APNJ
19
Bab
22
View
9.0
Rating

Ringkasan

Di tengah gemerlap dan kebusukan kota metropolitan, hidup seorang pemuda bernama Bara—tampan, gagah, dan jago bela diri. Terlahir dari lingkungan keras yang tak pernah memberinya pilihan mudah, Bara memilih menjadi pembasmi kejahatan jalanan. Ia bukan polisi, bukan pula pahlawan bertopeng. Ia hanya seorang pria biasa dengan tekad luar biasa. Saat malam turun dan hukum tak lagi berdaya, Bara muncul di gang-gang sempit, pasar-pasar gelap, dan lorong-lorong kriminal—membawa pukulan keras bagi mereka yang melukai yang lemah. Tapi setiap pertarungan bukan sekadar adu fisik. Bara menghadapi dilema moral, rahasia masa lalu, dan musuh-musuh yang bersembunyi di balik senyum para pejabat dan pengusaha kaya. Dari geng jalanan hingga konspirasi tingkat tinggi, dari pengkhianatan sahabat hingga cinta yang tumbuh dalam bahaya, Bara harus memilih: menjadi simbol harapan di jalanan atau menjadi bayangan yang hilang ditelan malam. “Keadilan bukan selalu soal hukum. Kadang, butuh tangan yang kotor untuk membersihkan kota ini.” – Bara

MetropolitanDewasaPengkhianatanThrilleractionpetarungMengungkap MisteriPetualanganGentlemanDrama

Bab 01 - Luka yang tak tampak

“Udah malam, Bara. Jangan bikin ribut lagi, ya?”

Suara itu datang dari Mak Imas, ibu warung yang menjaga pojok gang seperti penjaga gerbang istana. Suaranya keras, tapi penuh kasih.

Bara, berdiri di depan warung dengan hoodie gelap dan ransel lusuh di punggungnya, tersenyum sekilas. “Tenang, Mak. Saya cuma lewat. Nggak nyari ribut kecuali ada yang nyari saya duluan.”

Mak Imas melotot kecil, tapi tahu betul siapa Bara. Anak muda itu seperti siluman muncul tiba-tiba, hilang tiba-tiba, tapi selalu ada tiap ada kejahatan. Kadang pulang dengan wajah lebam, kadang dengan tangan berlumuran darah. Tapi yang pasti, selalu pulang.

Bara melangkah pelan menyusuri gang. Langkahnya ringan, tapi waspada. Kota ini bukan tempat untuk orang baik dan Bara tahu itu sejak kecil.

Di seberang jalan, suara jeritan menggema. Seorang pemuda tertatih, berdarah, dikejar dua preman dengan golok kecil.

Bara berhenti. Napasnya pelan, tapi matanya menyala.

“Woi, jangan ikut campur!” salah satu preman berteriak saat melihat Bara mendekat.

Tapi Bara tak menjawab. Ia menaruh ranselnya ke tanah, perlahan menggulung lengan jaketnya. Angin malam berembus, membawa aroma darah dan hujan.

Preman pertama mengayunkan golok. Bara menghindar secepat bayangan, menyikut rahang lawannya dengan presisi. Suara tulang retak terdengar jelas. Preman kedua menyerang membabi buta, tapi dalam dua gerakan cepat, tubuhnya sudah mencium tanah.

Korban yang tadinya dikejar hanya bisa menatap Bara dengan mata membelalak. “L-Lu siapa?”

Bara mengangkat ranselnya lagi dan berbisik, “Orang yang nggak suka lihat orang lemah diinjak.”

Tanpa menunggu balasan, Bara berjalan kembali ke kegelapan gang. Tapi dari jendela-jendela sempit, dari balik teralis warung, dari pojok jalan dan langit malamnamanya kembali dibicarakan.

Bara. Petarung Jalanan.

Langkah Bara masih bergema di lorong sempit, membelah malam seperti bayangan panjang yang tak pernah diundang. Hujan sudah berhenti, tapi genangan air memantulkan cahaya neon warung-warung kecil yang masih buka.

Di belakangnya, dua preman terkapar. Yang satu tak sadar, yang lain mengerang mencoba menahan rasa sakit sambil menatap punggung Bara dengan dendam.

“Lu bakal nyesel,” desisnya pelan.

Tapi Bara sudah tak lagi mendengarnya. Ia tahu aturan jalanan: malam ini bisa kau menangkan, tapi dendam akan datang besok pagi.

Bara berbelok ke sebuah gang rahasia, masuk ke pintu sempit yang hanya dikenalnya dan beberapa orang terpilih. Tempat itu bukan rumah, bukan juga markas. Hanya sebuah ruangan kecil di lantai dua, di atas toko elektronik bekas, tempat ia bisa istirahat sejenak dari dunia.

Begitu membuka pintu, ia langsung disambut suara berat penuh sindiran.

“Dua lawan satu lagi? Lu beneran nyari mati, Bar.”

Dhani, pria berkacamata dengan kaus oblong usang dan rambut gondrong setengah kering dari handuk. Ia sahabat sekaligus 'tukang urut darurat' Bara, mantan atlet silat yang sekarang jadi teknisi radio.

“Yang mulai bukan gue,” jawab Bara sambil melempar ranselnya ke pojok.

“Yang ngeluarin jurus silat jurang neraka siapa?”

“Insting.”

Dhani mendengus, mengambil salep dari laci. “Insting bisa bikin tulang lo remuk suatu hari nanti.”

Bara duduk di atas kasur lipat, membuka jaketnya. Ada lebam di lengan kanan dan goresan panjang di punggung tangannya. Tapi wajahnya tetap datar, tenang.

Dhani mulai mengoleskan salep, lalu bertanya dengan suara pelan, “Kenapa lu terusin ini, Bar? Lu bukan polisi. Bukan pahlawan. Lu bisa aja cabut, hidup normal, kerja sopan.”

Bara diam sejenak.

“Ada anak kecil tadi. Dia ngeliat semuanya. Dari jendela warung sebelah.”

Dhani mengerutkan kening

.

“Dia liat preman itu mau nusuk orang. Dia juga liat waktu gue datang. Lu tahu ekspresi dia, Dhan? Bukan takut. Tapi lega. Seolah dia tahu… masih ada orang yang mau lawan yang jahat.”

Suasana hening.

Lalu Dhani tertawa kecil, pahit. “Kalau lu mati besok, anak itu lega juga?”

Bara menatap langit-langit. “Nggak tahu. Tapi malam ini, dia bisa tidur tanpa mimpi buruk.”

***

Di tempat lain, di sebuah ruangan dengan kaca besar menghadap kota, seseorang sedang menonton rekaman CCTV. Dua preman terkapar. Seorang pemuda berjalan pergi tanpa menoleh.

“Dia lagi,” kata pria bersetelan mahal dengan suara dingin.

Di belakangnya, seorang wanita berseragam formal mencatat sesuatu.

“Nama… Bara,” gumamnya. “Laporan datang dari enam titik. Selalu muncul di malam hari. Selalu melawan geng. Tapi tak pernah tertangkap kamera secara utuh.”

Pria itu tersenyum tipis.

“Kalau begitu, waktunya kita undang dia ke dalam permainan yang lebih besar.”

Pagi menjelang dengan lambat. Langit kota masih kelabu, diselimuti kabut asap dan debu kendaraan. Tapi di dalam ruangan sempit lantai dua itu, Bara sudah terjaga. Matanya terbuka, menatap langit-langit retak, namun pikirannya masih tertinggal di malam sebelumnya dan kata-kata Dhani.

“Kalau lu mati besok, anak itu lega juga?”

Bara duduk. Jaketnya tergantung di paku dinding, masih lembab karena keringat dan sisa hujan. Tangannya terasa berat. Tapi bukan karena luka.

Karena sesuatu mengganggu perasaannya.

Di bawah, di depan toko elektronik yang belum buka, seorang kurir ojek daring berhenti. Ia melihat ke atas, lalu menurunkan helmnya.

“Permisi,” katanya ke anak kecil yang tengah bermain gundu di depan toko. “Ini buat… Bara.”

Anak kecil itu menatap bingung. “Mas Bara yang suka nongkrong di atas?”

Kurir itu mengangguk.

Anak itu menerima amplop hitam kecil dan berlari ke atas.

BRAK.

Pintu kamar Bara diketuk keras.

“Barrr, bangun! Ada surat! Dikirim orang!”

Bara mengernyit, membuka pintu. Anak itu menyerahkan amplop hitam, tanpa nama, tanpa alamat.

Bara membuka perlahan. Di dalamnya hanya satu kertas, bertuliskan tangan:

“Kalau kau benar pembela keadilan, buktikan.

Datang ke Gudang 17, Pelabuhan Lama. Jam 10 malam. Sendiri.”

Dhani yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung bersiul. “Wow. Akhirnya lu dapet surat cinta juga. Tapi kayaknya bukan dari penggemar.”

Bara tak tertawa.

Ia melipat surat itu, menyelipkannya ke dompet.

“Lu nggak serius, kan? Itu pelabuhan tempat geng-geng tua ngeracik bisnis gelap mereka. Lu pikir itu undangan syukuran?”

Bara hanya menatap Dhani. Matanya tak bergeming.

“Justru karena itu gue harus datang.”

Malam Hari, Gudang 17 Pelabuhan Lama

Tempat itu seperti bangkai raksasa. Besi tua, karat, kontainer terbengkalai, dan lampu-lampu padam. Di kejauhan, suara ombak menghantam beton.

Bara tiba tepat waktu. Sendiri. Seperti yang diminta.

Ia berjalan perlahan, matanya menyapu sekeliling.

Sunyi.

Lalu…

Tap. Tap. Tap.

Langkah-langkah muncul dari bayangan. Empat orang berpakaian gelap, wajah tertutup. Di tengah mereka, seorang pria bertubuh tinggi memakai jas putih berdiri angkuh.

“Selamat datang, Bara,” katanya, suaranya dingin dan rapi.

“Siapa lu?” Bara bertanya.

“Penyelenggara permainan. Dan kamu baru saja masuk ke dalamnya.”

Tiba-tiba lampu sorot menyala dari arah atas. Sekeliling Bara kini penuh orang. Setidaknya lima belas, semua bertato, bersenjata.

“Kalau kau lolos malam ini… kita akan bicara. Kalau tidak…” Pria itu menunjuk ke depan.

“...kau hanya legenda jalanan yang selesai terlalu cepat.”

Bara tak menjawab. Ia menurunkan ransel, mengencangkan ikat sepatu, lalu mengambil napas panjang.

“Sayang, gue udah mandi duluan.”

Dan perkelahian pun dimulai.

DOR!

Bara menjatuhkan satu lawan dengan hantaman siku ke leher, lalu bergerak ke kanan, menghindari pukulan besi dari pria bertubuh gempal. Ia menendang lutut lawan itu hingga roboh, kemudian berputar, mendaratkan lutut tepat ke rahang pria lain yang berlari ke arahnya.

Satu lawan. Dua. Tiga.

Gerakan Bara seperti air dan api dalam satu tubuh. Luwes, tapi mematikan.

Sementara itu, pria berjubah putih berdiri jauh, menonton dengan tenang dari atas tumpukan kontainer, seolah ia hanya sedang menikmati pertunjukan seni kekerasan.