Bab 04 - Bayangan di lorong
Lampu redup. Reya membuka pintu apartemennya cepat, memastikan tak ada yang menguntit. Bara dan Dhani masuk. Luka Dhani makin parah—darah menetes dari betisnya.
“Duduk sini. Gue ambil kotak P3K,” ujar Reya sambil masuk ke dapur.
Bara diam. Matanya mengamati ruangan. Rapi. Steril. Terlalu bersih untuk seseorang yang mengaku cuma kerja serabutan.
“Reya,” panggil Bara pelan. “Lo bukan orang biasa, kan?”
Reya menoleh sebentar, wajahnya tetap tenang. “Gue nggak pernah bilang gue biasa.”
Pukul 00:40 – Ruang tengah
Dhani tertidur di sofa karena kelelahan dan kehilangan darah. Bara dan Reya duduk di lantai, bersandar ke dinding. Di antara mereka, ada senyap yang berat. Akhirnya Reya bicara.
“Dulu gue bagian dari tim ‘pembersih’—kerja buat orang-orang yang bersihin kekacauan yang nggak boleh sampai ke media. Gue ninggalin itu semua, tapi…”
“Tapi mereka nggak ninggalin lo,” sambung Bara.
Reya mengangguk. “Dan sekarang, kayaknya mereka balik. Karena lo.”
Pukul 01:00 – Data lama Reya
Reya menyalakan laptop tuanya. Jari-jarinya menari cepat di keyboard. Di layar, tampak folder berlabel "Black Arkive".
“Gue sempet backup sebagian data lama. Nama-nama, operasi, rencana... termasuk jaringan Yoga.”
Bara mencondongkan badan. “Lo tahu siapa di atas dia?”
Reya membuka satu file. Foto hitam-putih pria paruh baya muncul. Wajahnya dingin, mata tajam.
“Namanya: RAGIL ARMAN.”
“Ragil...” Bara mengerutkan dahi. “Nama itu muncul di buku catatan korban pembunuhan minggu lalu.”
Reya menoleh cepat. “Lo yakin?”
Bara mengangguk. “Dan dia disebut sebagai ‘Tangan Kanan Bayangan.’”
Pukul 01:30 – Sementara itu, di tempat lain
Ragil Arman berdiri di depan layar besar, menampilkan gambar satelit kota. Di belakangnya, Yoga masih berdarah karena pecahan kaca dari pelabuhan tadi.
Ragil tidak menoleh. “Bara mulai menyusun serpihan puzzle-nya.”
Yoga menahan amarah. “Izinkan saya turun tangan langsung.”
Ragil hanya menjawab, “Belum. Biar dia cari. Biar dia berpikir dia memimpin.”
Pukul 01:45 – Apartemen Reya
“Kalau Ragil target utama kita,” kata Bara, “gue butuh tim. Orang-orang yang bisa dipercaya.”
Reya menatapnya tajam. “Gue ikut. Gue utang banyak. Dan dia—” reya menunjuk ke Dhani yang tidur “—nggak akan bertahan kalau kita diem aja.”
Bara bangkit berdiri, suaranya mantap.
“Kita mulai dari bawah. Kita cari informan lama, kita bongkar transaksi ilegal, dan kita buat mereka keluar dari lubang mereka sendiri.”
Reya mengangguk. “Dan langkah pertama?”
Bara menatap ke luar jendela, ke cahaya kota yang tak pernah tidur.
“Kita ke Lorong Tujuh. Tempat para informan diam. Kalau Ragil ada bayangan, maka salah satunya pasti ada di sana.”
Pukul 02:30 – Jalanan Kota
Mobil Reya meluncur cepat menembus malam. Bara duduk di samping, diam, matanya menatap jalan kosong. Kota seperti tidur, tapi mereka tahu: sesuatu sedang terbangun di bawahnya.
“Gue belum pernah ke Lorong Tujuh,” kata Bara pelan.
“Dan semoga ini juga terakhir,” sahut Reya sambil menurunkan kecepatan. “Itu tempat di mana banyak orang hilang, Bara. Sekali lo masuk, kalo lo gak kenal siapa-siapa, lo gak keluar.”
Bara tersenyum samar. “Gue gak niat pulang tanpa jawaban.”
Pukul 02:50 – Lorong Tujuh
Lorong itu berada di balik pasar tua yang sudah lama mati. Reya mengetuk pintu besi besar tiga kali, lalu dua kali cepat. Pintu terbuka sedikit. Seorang pria botak dengan satu mata memeriksa.
“Reya?” katanya pelan. “Udah mati belum lo?”
“Belum, sayangnya,” jawab Reya cuek.
“Siapa dia?” tanya si penjaga sambil melirik Bara.
“Temen lama. Gak suka basa-basi.”
Penjaga membuka pintu lebih lebar. “Hati-hati. Hari ini banyak mulut tua yang kebakar.”
Pukul 03:00 – Bar Bawah Tanah, Lorong Tujuh
Mereka duduk di meja sudut, di bawah lampu kuning temaram. Musik jazz kasar berdengung dari speaker tua. Orang-orang di sekitar menatap Bara. Beberapa mengenali Reya. Sisanya menatap dengan tatapan haus darah.
“Yang kita cari namanya Ompong,” kata Reya. “Dulu dia tukang simpan dokumen, sekarang... tukang jual rahasia.”
Bara mengamati. “Itu dia, yang pakai jaket kulit coklat?”
“Bukan,” kata suara dari belakang mereka.
Bara menoleh cepat.
Seorang pria tua, gigi tinggal dua, topi buluk, berdiri sambil mengunyah rokok linting.
“Gue Ompong. Dan gue tau lo bakal datang, Bara.”
Pukul 03:10 – Meja belakang
Ompong menatap Bara sambil menyesap kopi kental.
“Lo nyari Ragil Arman? Dia gak cuma bayangan, Bara. Dia arsitek labirin. Dan sekarang lo jalan di dalamnya.”
Bara mencondongkan tubuh. “Gue gak peduli. Labirin sebesar apa pun, pasti punya pintu keluar. Gue cuma butuh peta-nya.”
Ompong tertawa kecil. “Gue kasih lo satu nama. Tapi lo harus bayar.”
“Dengan apa?”
Ompong menatap tajam. “Dengan darah.”
Pukul 03:20 – Lorong Tujuh Tiba-tiba Sunyi
Lampu padam.
Dari ujung lorong, terdengar suara langkah. Berat. Teratur.
Reya berdiri, tangannya sudah menyentuh gagang pistol.
Bara bangkit. Instingnya bicara: ini bukan serangan biasa.
Dari kegelapan, muncul empat sosok berpakaian hitam, bertopeng.
Ompong mendesis, “Mereka suruhan Ragil.”
Bara siap bertarung.
Salah satu dari mereka berkata, suaranya dingin:
“Bara. Serahkan nama itu. Atau Reya yang mati duluan.”
Bara menjawab dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan:
“Lo salah pilih tempat buat ancam orang, Bro.”
Pukul 03:21 – Lorong Tujuh, Bar Bawah Tanah
Empat pria bertopeng itu tak bicara lagi. Mereka langsung maju, cepat, senyap, brutal.
BRAK!
Salah satu dari mereka menghantam meja tempat Bara duduk barusan, memecah kayu dan memicu kepanikan. Orang-orang mulai lari, kursi beterbangan.
Reya mencabut pistol, tapi seorang penyerang menendangnya hingga pistol itu terlempar ke sudut ruangan. Dia menghindar, menyikut lawan dan mundur ke samping.
Bara tidak mundur.
Dia maju.
“Lo mau nyulik, ngebunuh, atau ngasih kado? Pilih sekarang,” kata Bara sambil mengangkat kedua tangannya dalam posisi siap tempur.
Satu lawan menyerang cepat, tusukan pisau ke arah perut Bara.
Bara memutar tubuhnya, menangkap pergelangan tangan musuh, memelintir, dan BUGH! lututnya menghantam dada pria itu. Pisau terlepas. Bara menendang perut lawan hingga terlempar ke rak botol.
Dua lainnya maju bersamaan.
Bara melempar kursi ke salah satu, menendang yang lain. Tinju, pukulan, dan gerakan kuncian berpadu cepat. Tubuh-tubuh bertabrakan, suara tulang retak terdengar di tengah kekacauan.
Reya berhasil merebut kembali pistolnya. DOR! DOR!
Dua tembakan ke langit-langit menghentikan sisa serangan. Penyerang terakhir kabur, memanggul rekannya yang terluka parah.
Ompong mendekat dengan langkah gemetar. “Gila... lo beneran bukan orang biasa, Bara.”
Bara menarik napas panjang. “Lo janji satu nama. Sekarang.”
Ompong membuka mulutnya, pelan.
“Ira Kencana. Mantan pengacara. Sekarang... dalang jaringan pencucian uang dan intel informasi di balik Ragil. Dan... dia juga... mantan istri pejabat polisi besar.”
Reya tersentak. “Pejabat... siapa?”
Ompong menggeleng. “Itu... gue belum berani omong sekarang.”
Bara menatap kosong. Nama itu menggema di kepalanya. Ada sesuatu dalam nada Ompong. Bukan cuma ketakutan—tapi rasa bersalah.
Reya memegang lengan Bara. “Kita harus pergi sekarang. Tempat ini gak aman lagi.”
Bara tidak bergerak. Tatapannya tajam, terarah ke satu sudut gelap di bar itu.
“Gue rasa... kita diawasi sejak tadi.”
Pukul 03:45 – Dalam Mobil Reya
Reya menyetir cepat keluar dari kawasan Lorong Tujuh. Bara duduk diam, wajahnya keras.
“Lo kenal nama itu?” tanya Reya, pelan.
Bara hanya mengangguk.
“Ira Kencana bukan cuma nama. Dia masa lalu yang harusnya udah mati.”
Reya menoleh cepat. “Maksud lo... lo pernah ketemu dia?”
Bara menghela napas. “Bukan cuma ketemu. Dia... guru hukum gue, dulu. Yang ngajarin gue soal idealisme. Yang nyuruh gue percaya sistem. Tapi ternyata... dia yang pertama kali nunjukin ke gue, bahwa hukum bisa dibeli.”
Reya menggertakkan gigi. “Dan sekarang dia kerja bareng Ragil Arman?”
“Kayaknya bukan bareng,” kata Bara pelan. “Kayaknya... dia yang bikin semua ini dari awal.”
Pukul 04:00 – Sebuah Gedung Tua di Pusat Kota
Jauh dari Bara dan Reya, seorang wanita dengan jas hitam berdiri di balkon lantai 10, menatap kota yang mulai disinari cahaya fajar.
“Ia mulai bergerak,” katanya.
Seorang pria berdasi di belakangnya menjawab, “Bara sudah tahu nama Anda.”
Wanita itu tersenyum tipis.
“Bagus. Ini berarti waktunya menghapus masa lalu.”
