Bab 03 - Buruan Dalam Gelap
Bara berlari turun dari gedung Café Dusk. Langkahnya menghentak-hentak menuruni tangga darurat, melewati lorong pengap yang berbau karat dan oli tua. Matanya menyala, penuh kecemasan—nama Dhani bergema di kepalanya.
Di luar, malam kota masih ramai, tapi bagi Bara, semua suara dan cahaya seolah memudar. Ia menyalakan ponselnya, membuka pesan itu lagi:
“DHANI.”
Tak ada nomor, tak ada keterangan. Tapi intuisi jalanan Bara sudah berbicara. Ini bukan ancaman biasa. Ini peringatan—bahwa orang-orang dalam map hitam itu sudah bergerak.
“Jangan biarkan gue telat,” gumamnya pelan.
Ia melompat ke atas motornya, menyalakan mesin, lalu memacu kendaraan secepat mungkin menuju kontrakan.
Di kontrakan – lima menit kemudian
Pintu kamar Dhani terbuka setengah. Lampu masih menyala. Nasi bungkus tergeletak di lantai, plastiknya robek. Tidak ada suara, tidak ada tanda perlawanan.
Bara menyapu ruangan dengan cepat, lalu berjalan keluar. Pandangannya menyapu halaman depan, lalu terhenti di kamera CCTV kecil milik tetangga sebelah.
Tanpa basa-basi, Bara mengetuk pintu rumah itu. Seorang bapak tua muncul, mengenakan sarung dan kaos dalam.
“Pak, CCTV Bapak nyala nggak tadi?” tanya Bara langsung.
“Nyala, Bar. Ada apa?”
“Boleh saya lihat rekamannya? Penting.”
Sepuluh menit kemudian – dalam rumah tetangga
Rekaman diputar. Pukul 22:48. Dhani terlihat berjalan dengan kantong plastik.
Lalu... sedan hitam berhenti. Tiga pria turun. Pukulan cepat. Dhani jatuh.
Pukul 22:49.
Mobil tancap gas ke arah barat—menuju kawasan pelabuhan tua.
Bara mengepalkan tangan. “Pelabuhan... tempat ideal buat sembunyi.”
Bara menoleh ke bapak tua itu. “Terima kasih, Pak.”
Lalu ia berbalik, melesat keluar rumah, menyalakan motor, dan menembus malam.
Pelabuhan tua – pukul 23:30
Tempat itu sudah lama tidak aktif, tapi masih sering dipakai untuk transaksi gelap. Kontainer-kontainer besar menjulang seperti labirin logam. Angin malam berembus lembab dan asin.
Bara mematikan motor beberapa meter dari gerbang. Ia masuk dengan langkah pelan, mata dan telinga siaga.
Suara sepatu menghantam genangan air terdengar dari arah kiri. Bara menyelinap ke balik kontainer.
Dua pria bertubuh besar sedang berbicara sambil merokok.
“Bos bilang anak itu jangan sampai mati. Cuma umpan.”
“Yakin si Bara bakal ke sini?”
“Dia kan pahlawan. Suka cari gara-gara.”
Umpan. Bara mengepalkan tinjunya. Tapi ia tahu, maju langsung bisa jadi jebakan.
Langkah kaki lain terdengar. Seseorang datang—pakai jas rapi, wajahnya tak asing.
Kapten Yoga. Polisi. Tapi wajahnya justru tersenyum puas, bukan marah.
“Pastikan tempat ini bersih,” kata Kapten Yoga ke dua orang itu. “Kalau Bara datang, pastikan dia nggak keluar lagi.”
Bara terdiam. Rahangnya mengeras.
Polisi... ikut terlibat.
Ia menunduk, menarik napas panjang. “Jadi, ini bukan cuma soal geng jalanan. Ini sistem.”
Lalu ia mengangkat ponselnya, membuka kontak terakhir Reya.
“Gue butuh backup. Sekarang.” ucap bara.
Dari balik bayang-bayang kontainer, Bara menyelipkan kembali ponselnya ke saku. Angin laut berembus lebih dingin malam ini, membawa aroma karat, garam, dan sesuatu yang lebih berbahaya—pengkhianatan.
Langkah sepatu berderap makin dekat. Bara menunduk. Di atas, lampu tiang berkedip. Suasana seperti menahan napas.
Lalu...
Seseorang menodongkan pistol dari arah belakang.
“Jangan bergerak.”
Bara mengenali suara itu.
Andra. Anak buah Kapten Yoga yang dulu ia bantu keluar dari jeratan kasus narkoba. Wajahnya terlihat ragu, tapi tangannya gemetar memegang pistol.
“Andra…” suara Bara datar. “Turunkan itu.”
“Maaf, Bara... mereka pegang semua data gue. Kalau gue nolak, keluarga gue yang kena.”
Bara diam. Pandangannya menusuk.
“Apa Dhani masih hidup?”
Andra menunduk. “Di gudang utama. Tapi dia diikat. Dijaga dua orang. Kapten Yoga nyuruh nunggu sampe tengah malam.”
Bara maju setapak.
Andra mundur setengah langkah, pistol tetap mengarah. “Jangan, Bar…”
“Gue nggak marah, Ndra. Tapi kalau lo tembak gue sekarang, lo akan lebih menyesal daripada apa pun yang mereka lakuin ke lo.”
Andra menahan napas. Tangan gemetar.
Lalu…
DOR.
Suara tembakan dari jauh. Bukan dari Andra.
Lampu pelabuhan padam. Seketika gelap gulita.
Suara motor listrik mendekat.
Siluet muncul dari sisi kontainer: Reya, dengan hoodie gelap, dan senjata bius di tangan.
“Turun, Ndra,” bisik Reya dari kegelapan.
Andra langsung menjatuhkan pistol. Napasnya tak beraturan.
Reya menghampiri Bara. “Gue matiin listriknya 30 detik. Jalannya lewat jalur air, sisi kanan. Kamera mati semua. Sekarang atau nggak sama sekali.”
Bara hanya mengangguk.
Gudang utama – pukul 23:48
Dhani terikat di kursi logam, wajahnya memar. Di depan, dua penjaga berjaga dengan santai sambil merokok dan ngobrol tentang taruhan laga ilegal.
Tiba-tiba, salah satu penjaga mendengar suara gemerisik. Ia menoleh. Gelap.
“Lo denger sesuatu?”
“Angin, kali…”
Tapi sebelum mereka bisa bereaksi lebih lanjut—BRUK! Sebuah kayu menghantam kepala mereka dari belakang.
Dua tubuh ambruk nyaris bersamaan.
Bara berdiri di antara mereka, napasnya berat.
Reya langsung memotong ikatan Dhani. “Bangun, cepat.”
Dhani membuka mata, terengah. “Bar… mereka bilang lo bakal nyerah. Mereka bohong.”
Bara menarik Dhani berdiri, menepuk bahunya.
“Kita keluar. Tapi ada satu masalah.”
“Masalah apa?” tanya Reya.
“Kapten Yoga belum muncul di sini. Artinya dia nyiapin sesuatu lebih besar.”
Dari atap gudang…
Teleskop senapan membidik Bara yang sedang menuntun Dhani keluar.
Seorang pria bertopeng berbicara di radio:
“Target terlihat. Tunggu perintah.”
Di sisi lain radio, suara Kapten Yoga terdengar datar:
“Jangan tembak. Ikuti mereka. Gue pengen tahu sampai sejauh mana Bara bisa bertahan... sebelum dia patah.”
Pukul 23:53 – Jalan samping pelabuhan
Tiga bayangan berlari di antara kontainer dan besi-besi tua. Nafas mereka berat, langkah mereka cepat. Bara memimpin, Dhani setengah pincang di tengah, Reya berjaga di belakang.
“Mobil lo di mana?” Bara bertanya sambil tetap berlari.
Reya menjawab cepat, “Dekat dermaga barat. Tapi jalurnya lewat lorong yang satu arah—kalau ketutup, kita kejebak.”
Bara menatap lorong sempit yang terbuka di kejauhan. “Kita nggak punya pilihan lain.”
Suara dengung drone tiba-tiba terdengar dari atas. Lampu merah kecil melintas.
Reya mengumpat pelan. “Mereka pakai pengintai udara.”
Bara mendadak berhenti, menatap tangga besi menuju atap bangunan pengawas pelabuhan.
“Lo berdua terus ke mobil. Gue ke atas.”
Reya menarik lengannya. “Jangan nekat, Bar!”
Tapi Bara sudah mulai memanjat. Setiap gerakannya seperti hewan pemburu: cepat, tenang, mematikan.
---
Di atap – Pukul 23:56
Drone itu mendekat, makin rendah.
Bara menunggu, tubuhnya merunduk di balik pipa knalpot besar.
Saat drone itu menukik—
SRANG!
Bara melompat, menangkapnya, dan menjatuhkannya ke lantai beton.
CRACK. Drone hancur. Tapi...
Terdengar suara berdesing.
Sebuah peluru nyaris mengenai kepala Bara. Ia berguling cepat, bersembunyi di balik dinding logam kecil.
Dari kejauhan, kilatan senapan terlihat.
Penembak jitu.
“Yoga main serius,” gumam Bara.
---
Sementara itu di mobil Reya – Pukul 23:59
Dhani duduk di kursi belakang, gemetar. “Dia bakal mati, Rey…”
Reya mencengkram setir. “Bara bukan orang yang gampang mati.”
“Lo... siapa lo sebenarnya?” tanya Dhani tiba-tiba.
Reya menoleh. Matanya dingin.
“Orang yang punya alasan sendiri buat ngelindungin Bara.”
---
Di atap – Pukul 00:00
Bara memecahkan botol kecil dari jaketnya. Isinya: cairan bening mudah terbakar. Ia menyiram drone yang hancur dan menyalakan api dengan pemantik.
Asap tebal mengepul.
“Kalau mereka mau main taktik, gue kasih kembang api,” bisiknya.
Asap itu mengganggu pandangan si penembak. Tembakannya meleset. Bara menggunakan momen itu: ia melompat ke bawah dari atap, berguling, lalu lari ke arah lorong.
Saat Reya menyalakan mesin—
BRAK! Pintu mobil terbuka, Bara masuk dengan cepat.
Reya menginjak gas sekuat tenaga.
---
Pukul 00:03 – Dalam mobil
“Lo nggak kenapa-napa?” tanya Reya cepat.
Bara mengangguk. “Penembak di gedung timur. Gue bikin dia buta sementara.”
Dhani mencengkeram sabuk pengamannya. “Lo ngerti nggak, mereka punya senapan, drone, pasukan. Ini bukan level jalanan lagi, Bar. Ini perang.”
Bara menatap Dhani lewat kaca spion. Tatapannya serius.
“Dan kalau ini perang, berarti kita butuh strategi.”
Reya menoleh sedikit. “Lo punya rencana?”
Bara diam sesaat, lalu menjawab:
“Kita harus tahu siapa yang bener-bener narik tali dari balik layar. Yoga bukan dalangnya. Dia cuma pion. Dan pion bisa digeser.”
---
Di markas rahasia – 00:05
Kapten Yoga mematikan monitor pengawasnya. Di belakangnya, sosok pria bertubuh tinggi dengan jas hitam berdiri tenang. Wajahnya belum terlihat.
“Gagal?” suara pria itu datar.
“Bara lebih pintar dari yang saya kira,” jawab Yoga.
Sosok itu tersenyum dingin. “Bagus. Biarkan dia berpikir dia memimpin permainan. Karena sebentar lagi, kita akan mengguncang seluruh kota.”
