Bab 02 - Tawaran Dari Sang Bayangan
“Menarik,” gumamnya. “Anjing jalanan ini lebih ganas dari yang dikira.”
Bara mengelak dari lemparan pisau, lalu menyergap penyerangnya—seorang pemuda kurus dengan rambut mohawk. Dalam tiga gerakan cepat, pemuda itu sudah tergeletak di lantai, menggeliat kesakitan.
Darah mulai menetes di pelipis Bara, tapi ia tak peduli.
Jumlah musuh belum habis.
Dari balik kontainer, empat pria muncul bersamaan. Yang satu membawa rantai, dua lainnya membawa tongkat besi, dan satu lagi membawa tongkat listrik yang menyala-nyala mengancam.
Bara tahu, ini bukan lagi perkelahian. Ini eksekusi.
Di kejauhan, dari balik celah gudang, Dhani memperhatikan dengan cemas. Ia telah mengikuti Bara secara diam-diam sejak sore. Tangannya gemetar menggenggam HP.
"Sialan, Bar. Kenapa lu selalu begini…"
Ia hampir menekan tombol untuk menghubungi polisi, tapi tahu jawabannya. Mereka takkan datang. Bahkan kalau datang pun, mereka bisa jadi bagian dari jebakan ini.
“Kalau dia nggak keluar dalam 10 menit… gue masuk,” bisik Dhani pelan pada dirinya sendiri.
Kembali di tengah gudang, pertarungan mencapai puncaknya.
Salah satu lawan menghantam tongkat listrik ke arah Bara—tapi Bara menangkap tangan itu, memelintirnya hingga terdengar "krek!", lalu menendang dada pria itu hingga terpental.
Namun perlawanan berikutnya datang cepat. Tongkat besi menghantam punggungnya. Bara meringis, tapi tetap bertahan. Ia memutar, menangkap rantai lawan berikutnya dan menariknya hingga pria itu tersungkur, lalu menghajarnya habis-habisan.
Napasnya mulai berat. Pandangannya sedikit buram.
Tapi Bara tidak menyerah.
Ia belum pernah menyerah.
Dari atas, pria berjas putih mengangkat tangan.
“Cukup.”
Tiba-tiba semua penyerang berhenti. Mereka menarik diri mundur, sebagian menyeret tubuh rekan mereka yang tumbang.
Bara, setengah jongkok, penuh luka, masih siap bertarung.
Pria itu turun perlahan, langkahnya tenang.
“Kau lulus ujian pertama, Bara.”
Bara hanya menatap tajam. “Kalau ini ujian, gue nggak mau bayangin ujiannya kalau gue salah masuk kelas.”
Pria itu tertawa pelan. “Namaku Dargo. Dan aku punya tawaran.”
Bara diam.
Dargo melanjutkan, “Ada yang lebih busuk dari geng jalanan. Di balik gedung-gedung tinggi kota ini, ada orang-orang yang menyulut semua kejahatan. Aku ingin menjatuhkan mereka. Tapi aku butuh seseorang… yang bisa masuk ke dunia kotor mereka.”
“Dan kenapa gue?” Bara menyipitkan mata.
Dargo menatapnya lama, lalu menjawab, “Karena hanya orang gila yang berani datang sendirian ke sarang maut… dan menang.”
Gudang 17 perlahan hening. Hanya suara tetesan darah dan napas Bara yang masih terengah terdengar di udara malam.
Dargo berdiri hanya tiga langkah di depan Bara. Wajahnya tenang, tapi tatapannya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—rencana yang tidak sederhana.
“Lu belum jawab,” ucap Dargo. “Mau ikut bantu gue… atau terus jadi jagoan jalanan yang cuma matiin api, sementara sumber apinya tetap nyala?”
Bara menatapnya tajam, lalu menyeka darah di pelipisnya dengan punggung tangan. “Gue bukan pion siapa pun.”
Dargo tersenyum tipis. “Bukan pion. Gue juga bukan raja. Kita sama-sama pemain. Tapi kita butuh strategi, Bar. Dunia ini nggak bisa lu lawan cuma pake tangan kosong.”
Langkah kaki cepat.
Dhani berlari masuk dari pintu belakang gudang sambil terengah. “Bara!! Lu—ASTAGA!”
Ia terhenti melihat Bara berdiri di tengah tumpukan tubuh dan darah. Napasnya tercekat. Dargo menoleh santai, lalu memberi isyarat ringan.
Bara menoleh ke Dhani, lalu mengangguk. “Gue nggak apa-apa.”
“Lu nyebut ini nggak apa-apa?! Gila!” Dhani mendekat cepat dan memeriksa luka di lengan Bara. “Kita harus ke rumah sakit.”
“Gue masih bisa jalan,” Bara bergumam, lalu menatap Dargo. “Gue butuh waktu mikir.”
Dargo membuka jasnya dan mengeluarkan kartu kecil, meletakkannya di lantai beton yang dingin.
“Ini alamat tempat kita bisa bicara lagi. Tiga hari. Setelah itu, tawaran ini hangus.”
Lalu ia pergi, meninggalkan gudang dengan keheningan yang mencekam, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Keesokan malamnya
Di kamar kontrakan sempit milik Bara, mereka duduk berdua. Dhani sedang merokok, sementara Bara hanya diam menatap kartu alamat itu.
“Gue rasa orang itu... bukan cuma pengusaha,” gumam Dhani.
“Dia kayak tahu semuanya. Tentang gue, tentang jalanan ini… bahkan tentang kejahatan yang belum kejadian.”
Dhani mengangguk. “Gue cek alamat di kartu ini tadi siang. Itu kafe tersembunyi di lantai 7 gedung kosong. Tempatnya cuma dibuka buat orang tertentu.”
Bara menatap Dhani. “Lu curiga?”
“Gue curiga semua orang kecuali ibu gue.”
Bara tertawa kecil.
Tapi tawa itu tak berlangsung lama. Matanya kembali tajam, wajahnya kembali serius.
“Dhani… kalau ternyata ada yang lebih besar dari semua yang kita lawan selama ini... lu siap?”
Dhani menatap Bara dalam diam, lalu menjawab pelan, “Kalau lu maju, gue ikut. Gue nggak biarin lu dihancurin sistem sendiri.”
***
Tiga hari kemudian.
Bara berdiri di depan gedung kosong berlantai tujuh, menatap langit yang mulai gelap. Kartu alamat itu kini sudah lusuh, tapi angka dan nama kafe masih terbaca jelas: CAFÉ DUSK, lantai 7.
“Ini tempatnya?”
Suara seorang wanita terdengar dari belakang.
Bara menoleh. Seorang perempuan dengan jaket kulit dan mata tajam berdiri di sana. Ia memegang kartu yang sama.
“Apa lu juga diundang?” tanya Bara.
Perempuan itu menjawab tanpa senyum. “Kalau kita dapat undangan yang sama, artinya kita punya musuh yang sama.”
“Nama lu?”
“Reya.”
Bara hanya mengangguk.
Kemudian, bersama-sama, mereka melangkah naik ke lantai tujuh.
Tanpa sadar, langkah kaki mereka baru saja menapaki wilayah baru. Bukan lagi jalanan biasa. Tapi dunia bayangan yang jauh lebih kejam—tempat hukum tidak tertulis mengatur permainan hidup dan mati.
Lift tua berderit pelan saat mencapai lantai tujuh. Bara melirik Reya. Wajahnya tetap dingin, tapi matanya siaga—seperti menyimpan lebih banyak luka daripada kata-kata.
TING!
Pintu lift terbuka ke lorong sempit yang remang. Hanya satu lampu neon berkedip menggantung di ujung, menyinari papan kayu tua bertuliskan:
CAFÉ DUSK
Bara dan Reya melangkah maju. Pintu terbuka otomatis begitu mereka mendekat, seolah menyambut tamu yang sudah ditunggu.
Interior kafe sangat kontras dengan eksteriornya modern, bergaya industrial, lampu temaram menggantung di atas meja kayu panjang. Di sudut ruangan, asap rokok mengepul, menyelimuti sosok pria tua berjas hitam yang sedang menyesap espresso dengan tenang.
Dargo.
Ia menatap mereka dengan senyum kecil. “Selamat datang, petarung-petarung pilihan.”
Di sisi lain meja, duduk tiga orang lain yang juga baru datang. Seorang pria gondrong bertato penuh di kedua tangan, seorang pemuda berkacamata dengan jari-jari kurus seperti pianis, dan wanita berambut cepak dengan bekas luka membelah bibir.
“Duduklah,” kata Dargo, melambaikan tangan.
Reya menarik kursi tanpa bicara, sementara Bara tetap berdiri.
“Apa ini?” tanya Bara pelan. “Grup rahasia ala film konspirasi?”
Dargo tertawa pendek. “Ini bukan film. Ini kenyataan yang tidak pernah tertulis di berita atau laporan polisi.”
Ia menggeser sebuah map hitam ke arah Bara.
“Di dalam ini, ada daftar orang-orang yang dilindungi oleh hukum... tapi sebenarnya mereka pemilik jaringan kriminal terbesar di kota.”
Bara membuka map itu perlahan. Matanya membelalak. Foto-foto wajah politisi, pebisnis terkenal, bahkan seorang petinggi kepolisian.
“Dan lo minta gue bantu ngelawan mereka?” tanya Bara.
Dargo menatap Bara lama. “Gue nggak minta. Gue kasih pilihan. Tetap jadi legenda jalanan yang tangguh… atau naik satu level. Masuk ke permainan sesungguhnya.”
Bara menutup map itu. “Gue cuma pengen nolong orang. Bukan jadi pion revolusi.”
Reya mendadak bicara, suaranya pelan tapi tajam. “Lu pikir nolong orang cuma bisa di jalanan? Dunia ini diatur dari balik meja, Bar. Kalau lu nggak naik ke sana, lu cuma bakal jadi korban selanjutnya.”
Suasana menegang. Diam. Hening. Hanya bunyi detik dari jam dinding tua yang terdengar.
Lalu Dargo berdiri. “Gue tahu lu butuh waktu. Tapi dunia nggak akan nunggu. Dalam waktu dua minggu, salah satu orang di dalam map itu akan menghabisi seseorang penting di kehidupan lu—dan itu sudah dimulai.”
Bara mengernyit. “Apa maksud lu?”
Dargo tersenyum miring. “Lu akan tahu malam ini juga.”
Malam yang sama – di luar kontrakan Bara
Dhani sedang berjalan dari warung, membawa kantong plastik isi makanan. Ia bersiul kecil, santai, tak sadar bahwa dari kejauhan, sebuah mobil sedan gelap mengikutinya.
Lampu sorot menyala tiba-tiba. Tiga pria berbadan kekar keluar cepat. Dhani sempat berbalik lalu
BRAK!
Pukulan pertama menghantamnya dari belakang.
"Jangan lawan!"
“Amankan dia. Buru-buru. Sebelum yang satu itu pulang.”
Di dalam Café Dusk
Ponsel Bara bergetar. Pesan masuk.
Pengirim: Tak Dikenal
Isinya hanya satu kata:
“DHANI.”
Bara langsung berdiri, wajahnya berubah tegang.
Dargo tak berkata apa-apa, hanya memandangi Bara dengan pandangan dingin.
“Permainan dimulai, Bar.”
