Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Perasaan Tak Nyaman

Winda mencoba mengabaikan pikirannya tentang wangi yang tercium di tubuh Angkara. Meski perasaan tak nyaman mulai merasuk ke relung hatinya.

Menjelang sore, Winda tengah menyapu lantai di ruang tamu. Sementara, Rio main ke rumah tetangga. Sedangkan Angkara sedang bersantai di sofa.

Di sela-sela aktivitasnya, mata bulatnya sesekali curi-curi pandang ke arah Angkara tengah duduk sambil bermain ponsel. Winda keheranan melihat tingkah Angkara senyam-senyum sendiri seperti orang gila saat ini. Entah apa yang membuat suaminya itu tertawa. Namun, mampu membuat Winda penasaran. Dia pun mendekat sambil membawa gagang sapu.

"Mas, asik banget kayaknya, ngetawain apa? Lagi nonton video ya?" Winda bertanya sambil melempar senyum tipis.

Lantas pertanyaan yang diajukan Winda membuat tawa Angkara lenyap. Sebab sedari tadi dia dan Laras saling berbalas pesan dengan melontarkan kata-kata kucu. Dengan tergesa-gesa Angkara meletakkan ponselnya ke atas meja lalu menatap tajam Winda.

"Kepo banget kamu! Ngak usah banyak tanya! Mending kamu sapu ini semua lantai! Dari tadi nggak beres! Lambat banget!" Angkara bangkit berdiri tiba-tiba kemudian berkacak pinggang.

Winda tersentak. Tangan kananya bergerak pelan mengusap pelan dada.

"Astaga Mas, aku kan cuma bertanya. Aku sedang hamil, Mas. Jadi aku tak bisa cepat bergerak, apa kamu tidak mau membantuku, Mas," balas Winda, menatap dalam mata berharap Angkara mau menolongnya. Karena dia memang kesulitan beraktivitas.

Decihan terdengar dari bibir Angkara seketika. "Ck! Nggak usah banyak alasan kamu! Aku ini capek berkerja dan kamu menyuruh aku menyapu hah?! Jangan gila kamu! Itu sudah menjadi tugasmu sebagai seorang istri di rumah! Kamu ini cuma bisa membuat kepalaku pusing! Sudahlah jelek, gendut, pemalas lagi!"

Winda melebarkan mata mendengar perkataan Angkara barusan, yang menurutnya sangat keterlaluan.

"Aku cuma minta bantu kok, Mas. Aku ini istrimu, aku gendut juga karena aku mengandung anakmu, jadi itu wajar-wajar saja Mas, kalau badanku gendut!" serunya.

Kali ini Winda tak dapat mengontrol diri untuk tidak menyanggah pendapat Angkara. Mungkin juga faktor hormonal kehamilan membuat perasaan Winda berubah-ubah.

"Berani kamu sama aku sekarang!" Angkara mulai tersulut emosi. Matanya melotot tajam saat ini.

"Ahk!"

Belum sempat Winda membalas perkataan Angkara. Pipi sebelah kanannya terasa panas tiba-tiba. Angkara menampar kuat pipinya barusan.

Winda terkejut, secepat kilat melirik Angkara dengan mata berkaca-kaca.

"Mas ...."

"Apa! Sekali lagi kamu melawanku, aku akan menampar kamu lagi!" Setelah itu Angkara melengoskan muka dan melangkah pergi menuju kamar.

Winda mematung di tempat dengan matanya digenangi air mata. Pundaknya bergetar pelan, menahan sesak karena sikap Angkara yang semakin hari semakin berubah padanya.

"Aku mau pergi! Jangan cari!"

Angkara keluar dari kamar seketika, memakai kaos berkerah berwarna hitam. Tanpa mendengarkan jawaban Winda, ia berlalu pergi dengan sangat cepat. Meninggalkan Winda mengusap pelan perutnya.

"Kenapa kamu berubah Mas ...." lirihnya sambil menatap nanar punggung Angkara memasuki mobil merk avanza veloz berwarna putih. Lalu menghilang dari pandangannya.

Secara bersamaan dari depan, Rio dan tetangganya, Tuti masuk ke dalam rumah.

"Win, kenapa?" Saat melihat air mata Winda, Tuti bergegas menghampiri tetangganya itu.

Winda menghapus cepat air mata dan mengulum senyum. "Nggak kenapa-kenapa, Tuti."

Tuti tak langsung menjawab. Matanya memicing melihat tanda merah di pipi Winda. "Kamu habis di tampar sama suamimu kan? Nggak usah ngeles deh, Winda. Astagfirullah, benar-benar ya si Angkara, beraninya sama perempuan, dasar banci!" serunya seketika.

"Nggak kok, Tuti. Ini tadi kena gigit nyamuk."

Helaan terdengar dari hidung Tuti kemudian.

"Win, nggak usah bohong sama aku. Tadi pagi aku ada lihat Angkara mau nampar kamu."

Winda enggan membalas. Wanita itu malah menundukkan muka. Malu, karena tetangganya melihat kejadian tadi pagi.

"Aku nggak tahu, kamu ada masalah apa sama Angkara, tapi yang jelas, dia sudah kelewat batas! Kalau aku punya laki kayak gitu, sudah aku tenggelamkan dia ke lautan!" Tuti berkata dengan wajah menahan sebal.

Tanpa sadar Winda tersenyum tipis mendengar selorohan Tuti, janda tanpa anak itu.

"Ma, Kak Tuti, Rio mau ke wc dulu ya!" Rio menginterupsi perbincangan Winda dan Tuti tiba-tiba. Bocah itu sepertinya tengah menahan untuk buang air kecil.

Winda dan Tuti serempak menoleh.

"Iya Sayang." Winda mengelus pelan kepala Rio sejenak. Lalu Rio berlari kencang ke ruang belakang. Selepas kepergian Rio, Winda menatap Tuti.

"Tuti, terima kasih ya, kemarin sudah minjamin aku uang untuk beli obat Rio. Besok aku baru bisa ganti, Mas Angkara belum ada kasi aku duit dari tadi."

"Ya ampun, nggak usah dikembalikan, Win. Aku ikhas," balas Tuti sembari melengkungkan senyuman.

"Tapi—"

"Sudah! Tak usah dikembalikan." Tuti langsung menyela.

"Kamu yakin?" Winda tak enak hati jadinya. Sebab Tuti kerapkali membantunya.

"Yakinlah, sudahlah Win. Oh ya Win, sebentar lagi aku mau pergi, barusan aku dapat panggilan kerja," sahut Tuti dengan mata berbinar-binar.

"Alhamdulillah, Tuti. Akhirnya dapat perkerjaan ya. Kamu keterima di mana?" tanya Winda, penasaran.

"Ya, setelah menganggur tiga bulan, dapat juga aku panggilan jadi housekeeping," balas Tuti cepat. "Eh sudah dulu ya, Win. Takut telat, nggak tahu tuh mendadak banget aku ditelepon tadi."

Winda mengangguk cepat. Tuti pun pamit undur diri dan keluar dari rumah Winda seketika.

"Apa aku berkerja saja ya," gumam Winda sambil menatap punggung Tuti bergerak menjauhinya.

*

*

*

Di sisi lain, saat ini Angkara masuk perlahan-lahan ke lobi hotel bersama Laras yang mengekorinya dari belakang.

Setelah selesai memesan kamar, Angkara melirik-lirik Laras, memberinya kode untuk naik ke lantai atas terlebih dahulu. Laras mengerti lalu melangkah cepat menuju lift sambil melenggak-lenggokkan pingulnya.

'Body Laras benar-benar aduhai, beda banget sama body Winda kayak buldoser. Ah, malam ini aku akan menghabisinya.' Angkara berkata di dalam hati sambil melirik Laras di depan sana.

Setelah mendapatkan kunci kamar, ia mulai melangkah menuju lift.

Secara bersamaan dari pintu utama, Tuti melangkah cepat mendekati meja resepsionis hotel. Namun, langkah kakinya terhenti kala ekor matanya menangkap adanya sosok pria yang tak asing masuk ke dalam lift. Matanya memicing, melihat punggung pria tersebut.

"Siapa ya? Kayak pernah lihat," desis Tuti pelan sambil menatap lift yang sudah tertutup rapat. "Apa Angkara?"

Winda mencoba mengabaikan pikirannya tentang wangi yang tercium di tubuh Angkara. Meski perasaan tak nyaman mulai merasuk ke relung hatinya.

Menjelang sore, Winda tengah menyapu lantai di ruang tamu. Sementara, Rio main ke rumah tetangga. Sedangkan Angkara sedang bersantai di sofa.

Di sela-sela aktivitasnya, mata bulatnya sesekali curi-curi pandang ke arah Angkara tengah duduk sambil bermain ponsel. Winda keheranan melihat tingkah Angkara senyam-senyum sendiri seperti orang gila saat ini. Entah apa yang membuat suaminya itu tertawa. Namun, mampu membuat Winda penasaran. Dia pun mendekat sambil membawa gagang sapu.

"Mas, asik banget kayaknya, ngetawain apa? Lagi nonton video ya?" Winda bertanya sambil melempar senyum tipis.

Lantas pertanyaan yang diajukan Winda membuat tawa Angkara lenyap. Sebab sedari tadi dia dan Laras saling berbalas pesan dengan melontarkan kata-kata kucu. Dengan tergesa-gesa Angkara meletakkan ponselnya ke atas meja lalu menatap tajam Winda.

"Kepo banget kamu! Ngak usah banyak tanya! Mending kamu sapu ini semua lantai! Dari tadi nggak beres! Lambat banget!" Angkara bangkit berdiri tiba-tiba kemudian berkacak pinggang.

Winda tersentak. Tangan kananya bergerak pelan mengusap pelan dada.

"Astaga Mas, aku kan cuma bertanya. Aku sedang hamil, Mas. Jadi aku tak bisa cepat bergerak, apa kamu tidak mau membantuku, Mas," balas Winda, menatap dalam mata berharap Angkara mau menolongnya. Karena dia memang kesulitan beraktivitas.

Decihan terdengar dari bibir Angkara seketika. "Ck! Nggak usah banyak alasan kamu! Aku ini capek berkerja dan kamu menyuruh aku menyapu hah?! Jangan gila kamu! Itu sudah menjadi tugasmu sebagai seorang istri di rumah! Kamu ini cuma bisa membuat kepalaku pusing! Sudahlah jelek, gendut, pemalas lagi!"

Winda melebarkan mata mendengar perkataan Angkara barusan, yang menurutnya sangat keterlaluan.

"Aku cuma minta bantu kok, Mas. Aku ini istrimu, aku gendut juga karena aku mengandung anakmu, jadi itu wajar-wajar saja Mas, kalau badanku gendut!" serunya.

Kali ini Winda tak dapat mengontrol diri untuk tidak menyanggah pendapat Angkara. Mungkin juga faktor hormonal kehamilan membuat perasaan Winda berubah-ubah.

"Berani kamu sama aku sekarang!" Angkara mulai tersulut emosi. Matanya melotot tajam saat ini.

"Ahk!"

Belum sempat Winda membalas perkataan Angkara. Pipi sebelah kanannya terasa panas tiba-tiba. Angkara menampar kuat pipinya barusan.

Winda terkejut, secepat kilat melirik Angkara dengan mata berkaca-kaca.

"Mas ...."

"Apa! Sekali lagi kamu melawanku, aku akan menampar kamu lagi!" Setelah itu Angkara melengoskan muka dan melangkah pergi menuju kamar.

Winda mematung di tempat dengan matanya digenangi air mata. Pundaknya bergetar pelan, menahan sesak karena sikap Angkara yang semakin hari semakin berubah padanya.

"Aku mau pergi! Jangan cari!"

Angkara keluar dari kamar seketika, memakai kaos berkerah berwarna hitam. Tanpa mendengarkan jawaban Winda, ia berlalu pergi dengan sangat cepat. Meninggalkan Winda mengusap pelan perutnya.

"Kenapa kamu berubah Mas ...." lirihnya sambil menatap nanar punggung Angkara memasuki mobil merk avanza veloz berwarna putih. Lalu menghilang dari pandangannya.

Secara bersamaan dari depan, Rio dan tetangganya, Tuti masuk ke dalam rumah.

"Win, kenapa?" Saat melihat air mata Winda, Tuti bergegas menghampiri tetangganya itu.

Winda menghapus cepat air mata dan mengulum senyum. "Nggak kenapa-kenapa, Tuti."

Tuti tak langsung menjawab. Matanya memicing melihat tanda merah di pipi Winda. "Kamu habis di tampar sama suamimu kan? Nggak usah ngeles deh, Winda. Astagfirullah, benar-benar ya si Angkara, beraninya sama perempuan, dasar banci!" serunya seketika.

"Nggak kok, Tuti. Ini tadi kena gigit nyamuk."

Helaan terdengar dari hidung Tuti kemudian.

"Win, nggak usah bohong sama aku. Tadi pagi aku ada lihat Angkara mau nampar kamu."

Winda enggan membalas. Wanita itu malah menundukkan muka. Malu, karena tetangganya melihat kejadian tadi pagi.

"Aku nggak tahu, kamu ada masalah apa sama Angkara, tapi yang jelas, dia sudah kelewat batas! Kalau aku punya laki kayak gitu, sudah aku tenggelamkan dia ke lautan!" Tuti berkata dengan wajah menahan sebal.

Tanpa sadar Winda tersenyum tipis mendengar selorohan Tuti, janda tanpa anak itu.

"Ma, Kak Tuti, Rio mau ke wc dulu ya!" Rio menginterupsi perbincangan Winda dan Tuti tiba-tiba. Bocah itu sepertinya tengah menahan untuk buang air kecil.

Winda dan Tuti serempak menoleh.

"Iya Sayang." Winda mengelus pelan kepala Rio sejenak. Lalu Rio berlari kencang ke ruang belakang. Selepas kepergian Rio, Winda menatap Tuti.

"Tuti, terima kasih ya, kemarin sudah minjamin aku uang untuk beli obat Rio. Besok aku baru bisa ganti, Mas Angkara belum ada kasi aku duit dari tadi."

"Ya ampun, nggak usah dikembalikan, Win. Aku ikhas," balas Tuti sembari melengkungkan senyuman.

"Tapi—"

"Sudah! Tak usah dikembalikan." Tuti langsung menyela.

"Kamu yakin?" Winda tak enak hati jadinya. Sebab Tuti kerapkali membantunya.

"Yakinlah, sudahlah Win. Oh ya Win, sebentar lagi aku mau pergi, barusan aku dapat panggilan kerja," sahut Tuti dengan mata berbinar-binar.

"Alhamdulillah, Tuti. Akhirnya dapat perkerjaan ya. Kamu keterima di mana?" tanya Winda, penasaran.

"Ya, setelah menganggur tiga bulan, dapat juga aku panggilan jadi housekeeping," balas Tuti cepat. "Eh sudah dulu ya, Win. Takut telat, nggak tahu tuh mendadak banget aku ditelepon tadi."

Winda mengangguk cepat. Tuti pun pamit undur diri dan keluar dari rumah Winda seketika.

"Apa aku berkerja saja ya," gumam Winda sambil menatap punggung Tuti bergerak menjauhinya.

*

*

*

Di sisi lain, saat ini Angkara masuk perlahan-lahan ke lobi hotel bersama Laras yang mengekorinya dari belakang.

Setelah selesai memesan kamar, Angkara melirik-lirik Laras, memberinya kode untuk naik ke lantai atas terlebih dahulu. Laras mengerti lalu melangkah cepat menuju lift sambil melenggak-lenggokkan pingulnya.

'Body Laras benar-benar aduhai, beda banget sama body Winda kayak buldoser. Ah, malam ini aku akan menghabisinya.' Angkara berkata di dalam hati sambil melirik Laras di depan sana.

Setelah mendapatkan kunci kamar, ia mulai melangkah menuju lift.

Secara bersamaan dari pintu utama, Tuti melangkah cepat mendekati meja resepsionis hotel. Namun, langkah kakinya terhenti kala ekor matanya menangkap adanya sosok pria yang tak asing masuk ke dalam lift. Matanya memicing, melihat punggung pria tersebut.

"Siapa ya? Kayak pernah lihat," desis Tuti pelan sambil menatap lift yang sudah tertutup rapat. "Apa Angkara?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel