4. Sudah Gelap Mata
Tubuh Angkara meremang sejenak. Dalam keadaan sadar tangannya reflek menarik pinggang Laras, hingga tak ada lagi ruang yang terbentang di antara mereka. Kulit keduanya saling bersentuhan, kehangatan menjalar cepat di tubuh mereka.
Jiwa lelakinya membara seketika, Angkara sudah gelap mata, tak peduli lagi dengan istri dan anaknya di rumah.
Sambil mendorong pintu kamar dengan satu kakinya, Laras memejamkan matanya. Tanpa memikirkan lagi status mereka, Angkara dan Laras mencumbu satu sama lain saat ini.
"Pak Angkara ...." Dengan napas terengah-engah Laras mulai mendorong pelan dada Angkara.
"Iya?" Mata Angkara sudah berkabut, berusaha menahan diri untuk tidak menyantap Laras. Hanya dengan melihat wajah Latas, gairahnya sudah memuncak.
"Maaf." Laras melontarkan satu kata seketika membuat dahi Angkara berkerut samar.
"Kenapa meminta maaf, Laras?" tanya Angkara masih menahan pinggang Laras.
Bibir Laras mengerucut sedikit. Angkara semakin tidak tahan.
"Lah Bapak gimana sih, barusan kita ciuman loh, padahal kan kita sudah punya pasangan masing-masing."
Lidah Angkara mendadak kaku. Baru saja menyadari akan statusnya sekarang sudah berkeluarga. Dia pun bingung sendiri dengan perasaannya saat ini.
"Bapak tadi penasaran kan kenapa Laras tak setuju dengan perkataan Bapak yang mengatakan Laras beruntung?" Laras mengalungkan kedua tangannya di leher Angkara tiba-tiba.
"Iya, kenapa Laras?" Angkara menaruh kedua tangannya di pinggang Laras sambil menatap dalam bola mata Laras.
"Selama ini Laras nggak bahagia, Pak. Karena Mas Satria nggak bisa memuaskan Laras. Dia juga suka keluar kota dan jarang banget di rumah," jawab Laras, cepat. "Sebenarnya sudah lama Laras suka sama Bapak." Laras menundukkan wajah tiba-tiba, menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Angkara tergelak sesaat. Tak menyangka jika Laras memiliki rasa yang sama dengannya.
Mengulas senyum tipis, Angkara mengangkat dagu Laras hingga empat pasang mata itu saling bertemu.
"Bapak juga suka sama kamu, Laras. Tenanglah, Bapak bisa muasin kamu."
Laras tersenyum lebar. Mendengar Angkara juga menyukainya.
Setelah menungkapkan perasaan masing-masing, tanpa mengeluarkan satu kata, Angkara menarik pinggang Laras lagi. Terjadilah sesuatu yang tak sepantasnya dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki pasangan masing-masing.
Di sisi lain, Winda menatap nanar Rio, kini terbaring lemah di atas kasur. Rio mengalami demam tinggi tiba-tiba. Winda begitu khawatir, melihat kondisi anaknya saat ini. Padahal saat belum tidur, Rio terlihat baik-baik saja. Namun, beberapa menit lalu, ia mendengar Rio meracau-racau tak jelas memanggil Papanya.
Sedari tadi Winda mencoba menghubungi Angkara. Namun, untuk sekian kalinya, nomor yang dituju tak aktif.
"Nak bangun, ini Mama ...." Winda menyeka peluh di kening Rio seketika sambil menitihkan air matanya. Dia bingung sendiri, mau membeli obat hari sudah malam dan ditambah lagi, uangnya pun tak cukup.
*
*
*
Pagi telah tiba, di hotel bintang lima, tepatnya di sebuah kamar yang cukup luas. Seorang pria dan wanita masih tertidur pulas sambil berpelukan satu sama lain.
Saat sinar matahari mulai menyelusup masuk melalui jendela kaca hotel dan menerpa wajah Angkara seketika. Dia membuka mata pelan-pelan kemudian mengalihkan pandangan pada Laras, tengah memunggunginya.
Angkara mengeser sedikit tubuhnya lalu mengecup pelan punggung Laras dan berkata, "Sayang, bangun. Walau ini hari minggu, kita harus pulang ke rumah."
"Hmm. Malas, Laras masih mau tidur," dengan mata terpejam ia membalas.
Angkara tersenyum jahil. "Ayo bangun Sayang. Apa mau Bapak makan lagi?" katanya sambil menggelitik tubuh Laras. Hingga Laras terkikik geli.
"Haha! Ya ampun, ampun. Laras bangun deh." Laras membalikkan badan dan menatap Angkara.
Angkara menempelkan keningnya pada kening Laras. "Sambil kita mandi, main satu kali lagi yuk."
Laras menggeleng sambil melempar senyum jahil. "Nggak mau!"
Angkara tak menyahut, malah beringsut dari kasur dan melilitkan selimut di pinggangnya.
"Pak! Laras mau di bawa kemana?!" Laras terkejut ketika Angkara menggendongnya tiba-tiba seperti karung beras.
"Ke surga!" Angkara melangkah cepat menuju kamar mandi.
Tak lama kemudian, Angkara dan Laras sudah selesai membersihkan diri. Secepat kilat pasangan itu bergegas keluar dari hotel dan berharap tak ada orang di sekitar yang mengenalinya.
"Kamu hati-hati ya pulangnya, kabarin Bapak kalau sudah sampai rumah." Angkara menatap Laras telah duduk di dalam taksi.
"Hehe ya Sayangku, kamu juga hati-hati."
Hati Angkara berbunga-bunga mendengar perkataan Laras barusan. Dia tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada wanita yang umurnya sangat jauh darinya. Sebelumnya Angkara tak pernah merasakan perasaan seperti ini. Bahkan dengan Winda, dia biasa saja. Namun, dengan Laras, dadanya berdebar-debar tak menentu setiap kali bertatap muka. Laras seakan memiliki daya magnet tersendiri, menurutnya.
Setelah pamit, mobil yang ditumpangi Laras mulai meninggalkan pelataran hotel. Angkara pun memutuskan pulang ke rumah.
"Mas, akhirnya kamu pulang juga." Baru saja pintu dibuka, Winda langsung membuka suara.
Angkara menatap jijik Winda. Sebab pagi-pagi sudah membuat matanya sakit. Bagaimana tidak, Winda memakai daster yang sama kemarin, wajahnya pun tampak kusam dan pucat.
"Hm, minggir aku masuk!" Tanpa mendengar perkataan Winda, Angkara menabrak pundak sang istri dan melangkah masuk ke dalam.
Winda hanya mampu menghela napas kasar setelahnya lalu mengikuti langkah kaki Angkara.
"Rio semalam demam, Mas, mau beli obat, uangku tak cukup, untung saja hari ini panasnya sudah turun, tadi pagi aku minjam uang tetangga. Mas, tadi malam ke mana? Kenapa nggak pulang? Apa ada kerjaan?" cecar Winda beruntun.
"Berisik!" Dengan memutar badan ke belakang Angkara membentak Winda.
Winda tersentak, kaget.
"Tak usah banyak bicara kamu! Aku sedang banyak kerjaan! Ya baguslah, kalau Rio sudah sembuh! Menyusahkan sekali kamu ini! Suami pulang kerja malah di tanya-tanya! Dasar istri tak tahu diri!" murka Angkara, dengan wajah merah padam. Winda telah membuat moodnya hancur pagi ini.
Winda menatap sendu suaminya itu sebab sikap Angkara semakin berubah. "Mas, aku cuma tanya kok. Maaf, aku—"
"Stop!" Angkara mengangkat tangannya ke udara hendak menampar Winda.
Winda reflek memejamkan matanya. Namun, Angkara menghentikan gerakan tangan saat melihat tetangga sebelahnya di luar melihat ke arah mereka.
"Sekali lagi, kamu bertanya, aku benar-benar tidak akan pulang ke rumah ini," sahut Angkara lalu melengoskan muka dan memutar tumitnya.
Meninggalkan Winda yang membuka mata dan menatap sendu punggung Angkara yang bergerak pelan menuju kamar mandi.
"Bau apa ini? Bukannya ini parfum wanita?" Aroma parfum wanita menyeruak ke indera penciuman Winda seketika.
Bab 4 : Sudah Gelap Mata
Tubuh Angkara meremang sejenak. Dalam keadaan sadar tangannya reflek menarik pinggang Laras, hingga tak ada lagi ruang yang terbentang di antara mereka. Kulit keduanya saling bersentuhan, kehangatan menjalar cepat di tubuh mereka.
Jiwa lelakinya membara seketika, Angkara sudah gelap mata, tak peduli lagi dengan istri dan anaknya di rumah.
Sambil mendorong pintu kamar dengan satu kakinya, Laras memejamkan matanya. Tanpa memikirkan lagi status mereka, Angkara dan Laras mencumbu satu sama lain saat ini.
"Pak Angkara ...." Dengan napas terengah-engah Laras mulai mendorong pelan dada Angkara.
"Iya?" Mata Angkara sudah berkabut, berusaha menahan diri untuk tidak menyantap Laras. Hanya dengan melihat wajah Latas, gairahnya sudah memuncak.
"Maaf." Laras melontarkan satu kata seketika membuat dahi Angkara berkerut samar.
"Kenapa meminta maaf, Laras?" tanya Angkara masih menahan pinggang Laras.
Bibir Laras mengerucut sedikit. Angkara semakin tidak tahan.
"Lah Bapak gimana sih, barusan kita ciuman loh, padahal kan kita sudah punya pasangan masing-masing."
Lidah Angkara mendadak kaku. Baru saja menyadari akan statusnya sekarang sudah berkeluarga. Dia pun bingung sendiri dengan perasaannya saat ini.
"Bapak tadi penasaran kan kenapa Laras tak setuju dengan perkataan Bapak yang mengatakan Laras beruntung?" Laras mengalungkan kedua tangannya di leher Angkara tiba-tiba.
"Iya, kenapa Laras?" Angkara menaruh kedua tangannya di pinggang Laras sambil menatap dalam bola mata Laras.
"Selama ini Laras nggak bahagia, Pak. Karena Mas Satria nggak bisa memuaskan Laras. Dia juga suka keluar kota dan jarang banget di rumah," jawab Laras, cepat. "Sebenarnya sudah lama Laras suka sama Bapak." Laras menundukkan wajah tiba-tiba, menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Angkara tergelak sesaat. Tak menyangka jika Laras memiliki rasa yang sama dengannya.
Mengulas senyum tipis, Angkara mengangkat dagu Laras hingga empat pasang mata itu saling bertemu.
"Bapak juga suka sama kamu, Laras. Tenanglah, Bapak bisa muasin kamu."
Laras tersenyum lebar. Mendengar Angkara juga menyukainya.
Setelah menungkapkan perasaan masing-masing, tanpa mengeluarkan satu kata, Angkara menarik pinggang Laras lagi. Terjadilah sesuatu yang tak sepantasnya dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki pasangan masing-masing.
Di sisi lain, Winda menatap nanar Rio, kini terbaring lemah di atas kasur. Rio mengalami demam tinggi tiba-tiba. Winda begitu khawatir, melihat kondisi anaknya saat ini. Padahal saat belum tidur, Rio terlihat baik-baik saja. Namun, beberapa menit lalu, ia mendengar Rio meracau-racau tak jelas memanggil Papanya.
Sedari tadi Winda mencoba menghubungi Angkara. Namun, untuk sekian kalinya, nomor yang dituju tak aktif.
"Nak bangun, ini Mama ...." Winda menyeka peluh di kening Rio seketika sambil menitihkan air matanya. Dia bingung sendiri, mau membeli obat hari sudah malam dan ditambah lagi, uangnya pun tak cukup.
*
*
*
Pagi telah tiba, di hotel bintang lima, tepatnya di sebuah kamar yang cukup luas. Seorang pria dan wanita masih tertidur pulas sambil berpelukan satu sama lain.
Saat sinar matahari mulai menyelusup masuk melalui jendela kaca hotel dan menerpa wajah Angkara seketika. Dia membuka mata pelan-pelan kemudian mengalihkan pandangan pada Laras, tengah memunggunginya.
Angkara mengeser sedikit tubuhnya lalu mengecup pelan punggung Laras dan berkata, "Sayang, bangun. Walau ini hari minggu, kita harus pulang ke rumah."
"Hmm. Malas, Laras masih mau tidur," dengan mata terpejam ia membalas.
Angkara tersenyum jahil. "Ayo bangun Sayang. Apa mau Bapak makan lagi?" katanya sambil menggelitik tubuh Laras. Hingga Laras terkikik geli.
"Haha! Ya ampun, ampun. Laras bangun deh." Laras membalikkan badan dan menatap Angkara.
Angkara menempelkan keningnya pada kening Laras. "Sambil kita mandi, main satu kali lagi yuk."
Laras menggeleng sambil melempar senyum jahil. "Nggak mau!"
Angkara tak menyahut, malah beringsut dari kasur dan melilitkan selimut di pinggangnya.
"Pak! Laras mau di bawa kemana?!" Laras terkejut ketika Angkara menggendongnya tiba-tiba seperti karung beras.
"Ke surga!" Angkara melangkah cepat menuju kamar mandi.
Tak lama kemudian, Angkara dan Laras sudah selesai membersihkan diri. Secepat kilat pasangan itu bergegas keluar dari hotel dan berharap tak ada orang di sekitar yang mengenalinya.
"Kamu hati-hati ya pulangnya, kabarin Bapak kalau sudah sampai rumah." Angkara menatap Laras telah duduk di dalam taksi.
"Hehe ya Sayangku, kamu juga hati-hati."
Hati Angkara berbunga-bunga mendengar perkataan Laras barusan. Dia tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada wanita yang umurnya sangat jauh darinya. Sebelumnya Angkara tak pernah merasakan perasaan seperti ini. Bahkan dengan Winda, dia biasa saja. Namun, dengan Laras, dadanya berdebar-debar tak menentu setiap kali bertatap muka. Laras seakan memiliki daya magnet tersendiri, menurutnya.
Setelah pamit, mobil yang ditumpangi Laras mulai meninggalkan pelataran hotel. Angkara pun memutuskan pulang ke rumah.
"Mas, akhirnya kamu pulang juga." Baru saja pintu dibuka, Winda langsung membuka suara.
Angkara menatap jijik Winda. Sebab pagi-pagi sudah membuat matanya sakit. Bagaimana tidak, Winda memakai daster yang sama kemarin, wajahnya pun tampak kusam dan pucat.
"Hm, minggir aku masuk!" Tanpa mendengar perkataan Winda, Angkara menabrak pundak sang istri dan melangkah masuk ke dalam.
Winda hanya mampu menghela napas kasar setelahnya lalu mengikuti langkah kaki Angkara.
"Rio semalam demam, Mas, mau beli obat, uangku tak cukup, untung saja hari ini panasnya sudah turun, tadi pagi aku minjam uang tetangga. Mas, tadi malam ke mana? Kenapa nggak pulang? Apa ada kerjaan?" cecar Winda beruntun.
"Berisik!" Dengan memutar badan ke belakang Angkara membentak Winda.
Winda tersentak, kaget.
"Tak usah banyak bicara kamu! Aku sedang banyak kerjaan! Ya baguslah, kalau Rio sudah sembuh! Menyusahkan sekali kamu ini! Suami pulang kerja malah di tanya-tanya! Dasar istri tak tahu diri!" murka Angkara, dengan wajah merah padam. Winda telah membuat moodnya hancur pagi ini.
Winda menatap sendu suaminya itu sebab sikap Angkara semakin berubah. "Mas, aku cuma tanya kok. Maaf, aku—"
"Stop!" Angkara mengangkat tangannya ke udara hendak menampar Winda.
Winda reflek memejamkan matanya. Namun, Angkara menghentikan gerakan tangan saat melihat tetangga sebelahnya di luar melihat ke arah mereka.
"Sekali lagi, kamu bertanya, aku benar-benar tidak akan pulang ke rumah ini," sahut Angkara lalu melengoskan muka dan memutar tumitnya.
Meninggalkan Winda yang membuka mata dan menatap sendu punggung Angkara yang bergerak pelan menuju kamar mandi.
"Bau apa ini? Bukannya ini parfum wanita?" Aroma parfum wanita menyeruak ke indera penciuman Winda seketika.
