6. Lupa Dunia
Kedua insan itu baru saja selesai melakukan hubungan. Angkara mengulas senyum tipis, melihat keringat membasahi kening Laras. Dia merendahkan tubuhnya lalu mencumbu pelan dahi Laras.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya lalu mengubah posisi badan dengan berbaring di samping Laras.
Senyum tipis terukir di wajah Laras. Dia menaruh kepalanya di dada bidang Angkara. "Sama-sama, aku juga berterima kasih denganmu, Angkara. Selama ini Mas Satria tak pernah memberikan aku kepuasan."
"Apa kamu hanya menginginkan kepuasan dariku, Laras?" Dengan menaikan sebelah alis mata Angkara bertanya.
Angkara kurang suka dengan jawaban Laras, yang menurutnya hanya mau kepuasan darinya. Sebab dia menjalin hubungan terlarang dengan Laras bukan hanya nafs* belaka saja. Hatinya kini sudah diambil alih oleh Laras dan nama Winda pun sudah mulai terkikis di hatinya.
Laras mendongakkan wajah lalu menatap Angkara. "Tentu saja tidak, Angkara. Aku juga mencintaimu," ucapnya mengulas senyum tipis.
Mendengar hal itu, Angkara mencumbu sekilas bibir ranum Laras dan berkata," Aku senang mendengarnya, Laras. Aku tidak pernah menyangka akan jatuh cinta lagi. Kamu wanita yang sangat sempurna, cantik, putih, pintar dan pandai memasak, Satria sangat beruntung memilikimu."
Angkara menjeda kalimatnya sesaat. Wajahnya terlihat murung, tengah membayangkan wanita yang di sampingnya ini tengah berbagi peluh bersama Satria.
"Seandainya saja kita bertemu terlebih dahulu, pasti aku sudah bahagia sekarang bersamamu." Angkara kembali menambahkan, dengan mimik muka menahan sebal.
Laras membalas dengan mengerat pelukan. Sedari tadi senyum hangat tak pernah pudar dari wajah cantiknya itu.
"Hei, kenapa sedih, apa kamu cemburu?" tanya Laras dengan suara menggoda.
"Tentu saja aku cemburu, Laras. Satria pasti setiap hari melihat tubuhmu," ucap Angkara agak ketus.
"Haha!" Laras malah tertawa kuat saat melihat raut wajah Angkara yang lucu seperti anak kecil.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya Angkara, dengan kening berkerut samar.
"Haha! Habisnya, kamu lucu deh. Kan aku istrinya, kamu pun juga begitu melihat tubuh istrimu, 'kan?" Laras melempar senyum jahil seketika.
"Tubuh Winda itu membuat aku mual, Laras. Badan gentong, hitam gitu, banyak dakinya lagi, hiii," jawabnya, bergidik ngeri sejenak saat membayangkan Winda. "Beda sama kamu, walau sudah punya anak, kamu masih tetap cantik dan putih. Nggak kayak si Winda."
"Heh, jangan gitu dong, itu kan istrimu, haha!" Laras kembali mengeluarkan tawa setelahnya, melihat wajah Angkara tampak lucu, menjelaskan penampilan Winda.
Angkara malah tersenyum tipis, mendengar tawa Laras yang membuat hatinya berbunga-bunga.
"Maka dari itu malam ini, aku akan memakanmu!" seru Angkara sambil mengukung Laras di bawahnya. Lalu mengendus-endus ceruk leher Laras.
"Haha! Coba saja kalau bisa, aku tak bisa berlama-lama, Sayang. Aku harus menjemput Jema di rumah mertuaku," selorohnya, menahan geli.
Angkara enggan membalas perkataan Laras.
Drrt!
Bunyi getaran ponsel Angkara di atas nakas tiba-tiba bergema di dalam ruangan.
"Ah..., Angkara stop, ada yang meneleponmu." Sambil memejamkan mata, Laras berkata.
"Sudahlah, palingan Winda, biarkan saja, aku tak peduli. Mari kita pergi ke surga bersama-sama." Angkara mengabaikan panggilan.
Drrttt!
Suara getaran masih saja terdengar hingga membuat Laras terpaksa membuka mata.
"Stop!" Laras mendorong kuat dada Angkara. Lantas Angkara tersentak.
"Angkat dulu teleponnya, siapa tahu saja penting, aku tak bisa menikmati suasana kalau ada yang menganggu," ucap Laras, cepat.
Angkara mendengkus sejenak. Tanpa mengeluarkan satu patah kata. Dia beringsut dari atas ranjang dan mengangkat ponsel.
"Hallo! Ada apa, Winda? Bukankah sudah aku katakan jangan mengangguku?!" tanya Angkara, dengan wajah merah padam.
"Maafkan aku, Mas. Tapi ini darurat Mas, Rio muntah darah, sekarang aku berada di rumah sakit."
"Apa?" Angkara melebar mata mendengar jawaban Winda dari sebrang sana. Dia melirik Laras sekilas. Laras memicingkan mata, melihat ekspresi Angkara yang panik.
"Di rumah sakit mana?" tanya Angkara.
"Rumah sakit XXX, aku di ruang IGD sekarang, Mas. Cepatlah kemari," balas Winda.
"Iya."
Setelah itu Angkara mematikan sambungan kemudian melangkah cepat, mendekati Laras.
"Laras, sepertinya aku tak bisa melanjutkan aktivitas kita, aku harus ke rumah sakit sekarang, Rio muntah darah."
Laras pun sama terkejutnya. Dengan cepat duduk di atas ranjang. "Astaga, iya tak apa-apa, Angkara. Aku pun harus pergi ke rumah mertuaku. Semoga Rio cepat sembuh ya."
"Hm. Maaf ya," Angkara berkata sambil duduk di tepi ranjang dan menggenggam erat tangan Laras.
"Tak apa Sayang." Laras tersenyum tipis lalu mengalungkan tangannya di leher Angkara dan membenamkan kecupan dalam di bibir tebal pria itu.
*
*
*
"Apa yang terjadi?"
Sesampainya di rumah sakit, Angkara langsung bertanya pada Winda. Dia melirik Rio berbaring di atas brangkar tengah diberi petugas medis cairan melalui infus.
"Tadi Rio makan kue pemberian Mamamu, Mas dan tiba-tiba saja dia muntah darah," balas Winda, was-was.
Angkara tak langsung membalas. Dia malah melangkah cepat, menghampiri Rio.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Angkara sambil mengelus pelan kepala Rio.
Rio hanya diam saja, terbaring lemah dengan wajah pucatnya.
Dokter menoleh seketika. "Sudah mulai membaik, untuk saat ini biarkan Rio istirahat dulu ya, selanjutnya Rio akan melakukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui ada apa dengan lambungnya."
"Baik Dok," ucap Angkara.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Pria berjas putih itu pamit undur diri kemudian.
Angkara dan Winda mengangguk pelan.
"Winda, lain kali kamu itu kalau ngasi makan anak itu dilihat-lihat, jangan asal kasi." Selepas kepergian dokter, Angkara langsung membuka suara. Pria itu menatap tajam Winda.
Winda malas berdebat. Dia memilih mengelus pelan kepala Rio, berharap anaknya itu baik-baik saja.
Drt!
Suara panggilan dari ponsel Angkara, mengalihkan perhatiannya seketika. Secepat kilat ia mengambil benda tersebut dari celana dan melihat nama L menghiasi layar ponselnya.
Tanpa mengubah ekspresi sama sekali, Angkara berkata,"Win, aku mau keluar sebentar, atasanku telepon."
Winda melirik Angkara sekilas. "Iya Mas, jangan lama-lama ya."
Anggukan pelan sebagai balasan Angkara. Lalu dia bergegas keluar dari ruangan IGD.
"Ada apa, Sayang?" tanya Angkara langsung sambil tersenyum lebar.
"Sayang, sekarang aku lagi di jalan ini, mau ke rumah Mama. Aku kangen sama kamu lagi nih," kata Laras dengan suara manjanya.
Senyuman Angkara semakin melebar kala mendengar perkataan Laras. Dia pun memiliki perasaan yang sama saat ini. Tak bersama Laras membuatnya merasa hampa. "Aku juga kangen sama kamu, Sayang."
"Mas."
Tubuh Angkara tiba-tiba menegang, saat mendengar suara Winda di belakangnya sekarang.
Kedua insan itu baru saja selesai melakukan hubungan. Angkara mengulas senyum tipis, melihat keringat membasahi kening Laras. Dia merendahkan tubuhnya lalu mencumbu pelan dahi Laras.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya lalu mengubah posisi badan dengan berbaring di samping Laras.
Senyum tipis terukir di wajah Laras. Dia menaruh kepalanya di dada bidang Angkara. "Sama-sama, aku juga berterima kasih denganmu, Angkara. Selama ini Mas Satria tak pernah memberikan aku kepuasan."
"Apa kamu hanya menginginkan kepuasan dariku, Laras?" Dengan menaikan sebelah alis mata Angkara bertanya.
Angkara kurang suka dengan jawaban Laras, yang menurutnya hanya mau kepuasan darinya. Sebab dia menjalin hubungan terlarang dengan Laras bukan hanya nafs* belaka saja. Hatinya kini sudah diambil alih oleh Laras dan nama Winda pun sudah mulai terkikis di hatinya.
Laras mendongakkan wajah lalu menatap Angkara. "Tentu saja tidak, Angkara. Aku juga mencintaimu," ucapnya mengulas senyum tipis.
Mendengar hal itu, Angkara mencumbu sekilas bibir ranum Laras dan berkata," Aku senang mendengarnya, Laras. Aku tidak pernah menyangka akan jatuh cinta lagi. Kamu wanita yang sangat sempurna, cantik, putih, pintar dan pandai memasak, Satria sangat beruntung memilikimu."
Angkara menjeda kalimatnya sesaat. Wajahnya terlihat murung, tengah membayangkan wanita yang di sampingnya ini tengah berbagi peluh bersama Satria.
"Seandainya saja kita bertemu terlebih dahulu, pasti aku sudah bahagia sekarang bersamamu." Angkara kembali menambahkan, dengan mimik muka menahan sebal.
Laras membalas dengan mengerat pelukan. Sedari tadi senyum hangat tak pernah pudar dari wajah cantiknya itu.
"Hei, kenapa sedih, apa kamu cemburu?" tanya Laras dengan suara menggoda.
"Tentu saja aku cemburu, Laras. Satria pasti setiap hari melihat tubuhmu," ucap Angkara agak ketus.
"Haha!" Laras malah tertawa kuat saat melihat raut wajah Angkara yang lucu seperti anak kecil.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya Angkara, dengan kening berkerut samar.
"Haha! Habisnya, kamu lucu deh. Kan aku istrinya, kamu pun juga begitu melihat tubuh istrimu, 'kan?" Laras melempar senyum jahil seketika.
"Tubuh Winda itu membuat aku mual, Laras. Badan gentong, hitam gitu, banyak dakinya lagi, hiii," jawabnya, bergidik ngeri sejenak saat membayangkan Winda. "Beda sama kamu, walau sudah punya anak, kamu masih tetap cantik dan putih. Nggak kayak si Winda."
"Heh, jangan gitu dong, itu kan istrimu, haha!" Laras kembali mengeluarkan tawa setelahnya, melihat wajah Angkara tampak lucu, menjelaskan penampilan Winda.
Angkara malah tersenyum tipis, mendengar tawa Laras yang membuat hatinya berbunga-bunga.
"Maka dari itu malam ini, aku akan memakanmu!" seru Angkara sambil mengukung Laras di bawahnya. Lalu mengendus-endus ceruk leher Laras.
"Haha! Coba saja kalau bisa, aku tak bisa berlama-lama, Sayang. Aku harus menjemput Jema di rumah mertuaku," selorohnya, menahan geli.
Angkara enggan membalas perkataan Laras.
Drrt!
Bunyi getaran ponsel Angkara di atas nakas tiba-tiba bergema di dalam ruangan.
"Ah..., Angkara stop, ada yang meneleponmu." Sambil memejamkan mata, Laras berkata.
"Sudahlah, palingan Winda, biarkan saja, aku tak peduli. Mari kita pergi ke surga bersama-sama." Angkara mengabaikan panggilan.
Drrttt!
Suara getaran masih saja terdengar hingga membuat Laras terpaksa membuka mata.
"Stop!" Laras mendorong kuat dada Angkara. Lantas Angkara tersentak.
"Angkat dulu teleponnya, siapa tahu saja penting, aku tak bisa menikmati suasana kalau ada yang menganggu," ucap Laras, cepat.
Angkara mendengkus sejenak. Tanpa mengeluarkan satu patah kata. Dia beringsut dari atas ranjang dan mengangkat ponsel.
"Hallo! Ada apa, Winda? Bukankah sudah aku katakan jangan mengangguku?!" tanya Angkara, dengan wajah merah padam.
"Maafkan aku, Mas. Tapi ini darurat Mas, Rio muntah darah, sekarang aku berada di rumah sakit."
"Apa?" Angkara melebar mata mendengar jawaban Winda dari sebrang sana. Dia melirik Laras sekilas. Laras memicingkan mata, melihat ekspresi Angkara yang panik.
"Di rumah sakit mana?" tanya Angkara.
"Rumah sakit XXX, aku di ruang IGD sekarang, Mas. Cepatlah kemari," balas Winda.
"Iya."
Setelah itu Angkara mematikan sambungan kemudian melangkah cepat, mendekati Laras.
"Laras, sepertinya aku tak bisa melanjutkan aktivitas kita, aku harus ke rumah sakit sekarang, Rio muntah darah."
Laras pun sama terkejutnya. Dengan cepat duduk di atas ranjang. "Astaga, iya tak apa-apa, Angkara. Aku pun harus pergi ke rumah mertuaku. Semoga Rio cepat sembuh ya."
"Hm. Maaf ya," Angkara berkata sambil duduk di tepi ranjang dan menggenggam erat tangan Laras.
"Tak apa Sayang." Laras tersenyum tipis lalu mengalungkan tangannya di leher Angkara dan membenamkan kecupan dalam di bibir tebal pria itu.
*
*
*
"Apa yang terjadi?"
Sesampainya di rumah sakit, Angkara langsung bertanya pada Winda. Dia melirik Rio berbaring di atas brangkar tengah diberi petugas medis cairan melalui infus.
"Tadi Rio makan kue pemberian Mamamu, Mas dan tiba-tiba saja dia muntah darah," balas Winda, was-was.
Angkara tak langsung membalas. Dia malah melangkah cepat, menghampiri Rio.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Angkara sambil mengelus pelan kepala Rio.
Rio hanya diam saja, terbaring lemah dengan wajah pucatnya.
Dokter menoleh seketika. "Sudah mulai membaik, untuk saat ini biarkan Rio istirahat dulu ya, selanjutnya Rio akan melakukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui ada apa dengan lambungnya."
"Baik Dok," ucap Angkara.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Pria berjas putih itu pamit undur diri kemudian.
Angkara dan Winda mengangguk pelan.
"Winda, lain kali kamu itu kalau ngasi makan anak itu dilihat-lihat, jangan asal kasi." Selepas kepergian dokter, Angkara langsung membuka suara. Pria itu menatap tajam Winda.
Winda malas berdebat. Dia memilih mengelus pelan kepala Rio, berharap anaknya itu baik-baik saja.
Drt!
Suara panggilan dari ponsel Angkara, mengalihkan perhatiannya seketika. Secepat kilat ia mengambil benda tersebut dari celana dan melihat nama L menghiasi layar ponselnya.
Tanpa mengubah ekspresi sama sekali, Angkara berkata,"Win, aku mau keluar sebentar, atasanku telepon."
Winda melirik Angkara sekilas. "Iya Mas, jangan lama-lama ya."
Anggukan pelan sebagai balasan Angkara. Lalu dia bergegas keluar dari ruangan IGD.
"Ada apa, Sayang?" tanya Angkara langsung sambil tersenyum lebar.
"Sayang, sekarang aku lagi di jalan ini, mau ke rumah Mama. Aku kangen sama kamu lagi nih," kata Laras dengan suara manjanya.
Senyuman Angkara semakin melebar kala mendengar perkataan Laras. Dia pun memiliki perasaan yang sama saat ini. Tak bersama Laras membuatnya merasa hampa. "Aku juga kangen sama kamu, Sayang."
"Mas."
Tubuh Angkara tiba-tiba menegang, saat mendengar suara Winda di belakangnya sekarang.
