Pustaka
Bahasa Indonesia

Pesona Istri Orang Lain

43.0K · Tamat
Ocean Na Vinli
30
Bab
989
View
9.0
Rating

Ringkasan

Pepatah rumput tetangga lebih hijau memang benar adanya, Angkara terpesona dengan istri orang lain, walau dirinya sudah mempunyai istri dan seorang anak. Akibat rasa nyaman dan terlalu sering berjumpa. Sebuah rasa yang tak seharusnya tercipta. Membuat Angkara menjadi gelap hati. Laras, wanita yang selalu ia temui di tempat berkerja, membuat dadanya berdebar-debar tak karuan setiap kali bertatap muka. Begitupula sebaliknya, ternyata Laras memendam rasa yang sama. Meski memiliki pasangan dan anak juga. Dengan mengatas namakan CINTA, keduanya menjalin hubungan terlarang tanpa sepengetahuan pasangan masing-masing. Akankah hubungan Angkara dan Laras tetap berjalan? Lalu bagaimanakah sikap Winda dan Satria, manakala mengetahui pasangan mereka berselingkuh?

IstriDewasaPerselingkuhanPerceraianPengkhianatan

1. Harum

"Kok ngelamun, Pak?" tanya Laras.

Angkara terkejut kala wanita yang baru saja ia lamunkan berdiri di hadapannya sambil melempar senyum hangat.

Mata Angkara melebar sedikit, melihat kancing Laras terbuka. Hingga dia tanpa sadar menelan air ludahnya berkali-kali.

'Astaga, cewek ini nyadar nggak sih kemejanya kebuka.'

"Pak! Kok diam! Ish Pak Angkara mah di tanyain malah diam?" Laras memanyunkan bibirnya lalu melangkah cepat, mendekati Angkara sedang berada di dalam box pembatas antara nasabah bank dan teller.

"Hehe, maaf Laras. Bapak lagi mandangin wajah kamu yang makin hari makin cantik!" Angkara berkata jujur sebab dia memang terpesona dengan kecantikan Laras tadi.

Laras, pegawai yang baru dirotasi itu selalu membuat jantungnya berdebar-debar tak karuan, entah karena apa.

Angkara bergeming di tempat, dengan menatap lurus ke depan.

Saat ini suasana di dalam bank sepi sekali. Hanya dia dan Laras yang baru sampai di bank.

"Bapak mah, bisa aja gombalnya."Setelah selesai mengikat rambutnya, Laras tersenyum kecil lalu menabok pelan lengan Angkara. "Tapi, Pak, kok mukanya hari ini lemas sih?"

Tanpa sengaja Laras menyentuh dadanya di sebelah kanan lengan Angkara. Alhasil Angkara mulai gugup dan tegang.

"Memangnya muka Bapak nampak lemas ya?" Angkara melirik-lirik ke bawah sekilas. Laras semakin mendekat. Secara bersamaan pula aroma tubuh Laras menyeruak ke indera penciumannya. Entah parfum apa yang dipakai Laras. Namun, mampu membuat pikiran Angkara melayang kemana-mana.

'Putihnya, Winda mah hitam, mana wangi lagi sih Laras. Seandainya saja Laras jadi bini aku. Udah aku sekap dia di dalam kamar setiap hari!'

Laras belum menyadarinya sama sekali. Wanita itu malah asik memandangi wajah Angkara.

"Iya Pak. Cerita atuh Pak? Pagi-pagi masak udah lemas aja, kayak nggak di kasi jatah saja sama bininya," Laras berkata diiringi kekehan pelan setelahnya.

Angkara mendengus kasar kala teringat kejadian tadi pagi. Saat dia sudah siap-siap ingin pergi berkerja dan melihat keadaan dapur tak ada makanan. Sudah sepekan ini Winda tak membuatkannya sarapan. Dengan beralasan tak mampu mencium bawang putih sebab Winda tengah berbadan dua. Jadi Winda tak memasak. Tentu saja Angkara meradang dan berakhir tak sarapan tadi pagi. Tak cukup disitu, saat dia ingin sarapan di kantor. Ternyata dompetnya tertinggal pula di rumah. Sungguh apes, nasib Angkara pagi ini.

Angkara Bramantyo, pria yang sudah memiliki istri dan seorang anak laki-laki. Tahun ini umurnya menginjak 35 tahun. Angkara berkerja di salah satu bank swasta. Jabatannya adalah supervisor layanan bank. Dialah yang menjalankan dan mengawasi operasional pelayanan.

Biasanya kita akan melihat jika ada salah satu nasabah prioritas ingin menyetor uang dengan nominal lumayan besar. Maka Angkara-lah yang akan turun tangan. Sementara itu, Laras bertugas di bagian teller, melayani para nasabah untuk proses transaksi.

"Ngelamun lagi!" Laras melompat kecil seketika dan tanpa sadar menyentuh lengan Angkara lagi.

Lamunan Angkara buyar, pikirannya mulai berkeliaran.

'Astaga, Laras sengaja atau bagaimana?'

Angkara hanya dapat melontarkan kata-kata tersebut di dalam hati dan berharap Laras tak menyadari kegugupannya.

"Iya Laras, maaf ya, Bapak kebanyakan ngelamun. Soalnya lagi ada masalah di rumah dan pikiran Bapak semrawut banget pagi ini," ucap Angkara, berusaha memalingkan mata ke segala arah. Namun, sesuatu yang seharusnya tak dilihatnya sekarang, seakan-akan memiliki daya magnet untuknya. Tak pelak matanya pun melirik lagi ke tempat semula.

"Ya ampun, jangan bilang Bapak nggak sarapan." Laras asal menebak. Anggukan pelan sebagai balasan Angkara.

Melihat wajah pucat Angkara sekarang. Laras nampak sedih.

"Tunggu sebentar, Pak."

Angkara membalas dengan mengangguk pelan. Laras pun mengalihkan pandangan lalu mengambil tas kerja dan mengeluarkan sekotak bekal berwarna putih.

"Ini sarapan untuk Bapak, kasihan Bapak belum makan." Laras menyodorkan kotak persegi tersebut kepada Angkara.

"Loh, ini kan punya kamu, Laras. Jadi nggak usah. Bapak bisa mencari sendiri makanan." Angkara menolak dengan halus.

"Nggak apa-apa Pak, Laras bawa dua bekal kok. Ambil saja!" Laras mengambil tangan Angkara dan menaruh kotak bekalnya di tangan Angkara. "Ayo nggak usah sungkan, mumpung gratis!"

"Yakin nih?" Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Laras. Angkara tersenyum sumringah.

"Yakin. Bapak sarapan ya. Laras mau ke toilet sebentar," balas Laras.

"Oke, oh ya Laras. Maaf banget, itu ...." Angkara mengerucutkan bibir ke depan hendak memberitahu kemeja Laras yang terbuka sedari tadi.

Kening Laras berkerut samar, tampak berpikir keras. "Kenapa Pak?"

Angkara tampak salah tingkah kemudian mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah itu secara pelahan berbisik di telinga Laras.

"Laras, kancing kemejamu itu terbuka. Maaf tadi Bapak nggak sengaja lihat." Setelah berkata demikian, Angkara menjauhkan kepala.

"Bapak nakal kok nggak bilang sih dari tadi." Bukannya marah, Laras malah melempar senyum genit. Dia langsung menutup kancing kemejanya di hadapan Angkara.

Melihat respon Laras, Angkara terpaku di tempat sejenak. Dia heran mengapa Laras tidak marah padanya.

"Sudah dulu ya Pak. Terima kasih loh, sudah bilang." Laras menurunkan tangannya seketika. "Laras, ke toilet dulu, Pak. Jangan lupa dimakan sarapannya, bye!"

Tanpa mendengar tanggapan, Laras mengayunkan kakinya menuju toilet. Meninggalkan Angkara masih mematung di tempat sambil memegang kotak bekal kecil milik Laras.

Setelah melihat punggung Laras menghilang. Angkara menggelengkan kepala.

"Astaga, itu cewek ajaib banget dah. Udah ah tapi dia baik banget kasi aku bekal. Ngomong-ngomong Laras masak apa ya," Angkara bergumam pelan sambil membuka tempat bekal tersebut.

"Wah, nasi goreng!" Mata Angkara berbinar-binar melihat nasi goreng dan telur mata sapi di hadapannya. Secepat kilat ia duduk dan mulai menyantap sarapan yang diberikan Laras barusan.

'Enak banget! Sudah cantik, badan langsing, pintar masak lagi. Nggak kayak Winda, gendut hitam, jelek.'

*

*

*

Menjelang petang, pekerjaan Angkara telah selesai. Dia pun bergegas kembali ke rumah. Baru saja masuk rumah, kepala Angkara langsung pecah melihat pemandangan rumah seperti kapal pecah.

Rio, putra sulungnya tengah bermain di ruang tamu. Dengan bermain mobil-mobilan.

"Sudah pulang Mas." Winda menyembul seketika dari balik pintu penghubung ruang tengah. Kakinya bergerak cepat, mendekati Angkara sambil melempar senyum tipis.

"Buta mata kamu?! Ya kalau aku udah di sini! Ya berarti sudah pulang!" pekik Angkara seketika.

Winda terperanjat kaget, melihat respon suaminya itu. Begitu pula dengan Rio, langsung mengalihkan pandangan ke arah orangtuanya.

Secara perlahan Winda mengusap dada lalu berkata,"Maaf, aku nggak bermaksud, itu hanya sekadar basa-basi saja kok, Mas."

"Nggak usah banyak alasan kamu! Dari pagi kamu ngapain aja hah! Lihat ini rumah berantakan! Kerja juga nggak ada kamu di rumah! Minggir! Badanmu bau bawang!" Dengan raut wajah penuh kemarahan, Angkara berseru.

"Aku baru selesai masakin kamu, Mas. Jadi badanku bau, maaf ya Mas. Nanti aku mandi." Winda tampak sedih. Karena Angkara memarahinya lagi seperti tadi pagi.

Mata Angkara mendelik sesaat. "Terserah! Minggir kamu!" serunya sembari menabrak pundak Winda dengan kasar.

Winda menahan tubuhnya dengan menggapai tembok dinding. Menatap nelangsa punggung Angkara yang menghilang masuk ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar, Angkara melempar asal tas kerjanya lalu menutup pintu kamar tersebut.

"Hah... Pulang ke rumah malah mumet nih kepala," desisnya pelan. Lalu melangkah cepat menuju tempat tidur dan menjatuhkan diri ke atas kasur. Matanya langsung menatap langit-langit kamar.

Angkara termenung. Memikirkan rumah tangganya, yang semakin hari semakin jenuh. Seketika bunyi notifikasi dari saku celananya, membuyarkan lamunan Angkara.

Secepat kilat ia mengambil ponselnya lalu memeriksa pesan dari rekan kerjanya. Setelah membalas pesan, lagi dan lagi mata Angkara teralihkan dengan sebuah nama Laras Paramita mengikutinya di instagram menghiasi notifikasi.

"Laras ...."

Angkara tentu saja penasaran, apakah itu Laras bawahannya atau bukan. Dia masuk ke aplikasi tersebut. Senyum lebar langsung terpatri di wajahnya kala melihat foto profil Laras, wanita yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Dia pun membuka feed instagram Laras dan melihat-lihat foto Laras.

'Astaga, Laras pakai bikini?'

Pupil mata berbinar-binar. Matanya menyiratkan ketertarikan mendalam. Sepasang mata hitam itu tak berkedip mengagumi foto Laras, yang menurutnya cantik dan membangkitkan rasa penasarannya.

Dalam keadaan sadar Angkara memejamkan mata kemudian membayangkan wajah Laras. Dia berkhayal melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan oleh pria yang sudah berkeluarga. Sambil mengerakkan tangannya di bawah sana.

"Laras ...." Angkara bergumam pelan.

"Mas!"

Angkara membuka cepat mata kala mendengar Winda memanggil namanya di luar. Matanya langsung tertuju pada gagang pintu yang mulai bergerak.

'Aduh! Aku lupa kunci pintu!'

Bab 1 : Harum

"Kok ngelamun, Pak?" tanya Laras.

Angkara terkejut kala wanita yang baru saja ia lamunkan berdiri di hadapannya sambil melempar senyum hangat.

Mata Angkara melebar sedikit, melihat kancing Laras terbuka. Hingga dia tanpa sadar menelan air ludahnya berkali-kali.

'Astaga, cewek ini nyadar nggak sih kemejanya kebuka.'

"Pak! Kok diam! Ish Pak Angkara mah di tanyain malah diam?" Laras memanyunkan bibirnya lalu melangkah cepat, mendekati Angkara sedang berada di dalam box pembatas antara nasabah bank dan teller.

"Hehe, maaf Laras. Bapak lagi mandangin wajah kamu yang makin hari makin cantik!" Angkara berkata jujur sebab dia memang terpesona dengan kecantikan Laras tadi.

Laras, pegawai yang baru dirotasi itu selalu membuat jantungnya berdebar-debar tak karuan, entah karena apa.

Angkara bergeming di tempat, dengan menatap lurus ke depan.

Saat ini suasana di dalam bank sepi sekali. Hanya dia dan Laras yang baru sampai di bank.

"Bapak mah, bisa aja gombalnya."Setelah selesai mengikat rambutnya, Laras tersenyum kecil lalu menabok pelan lengan Angkara. "Tapi, Pak, kok mukanya hari ini lemas sih?"

Tanpa sengaja Laras menyentuh dadanya di sebelah kanan lengan Angkara. Alhasil Angkara mulai gugup dan tegang.

"Memangnya muka Bapak nampak lemas ya?" Angkara melirik-lirik ke bawah sekilas. Laras semakin mendekat. Secara bersamaan pula aroma tubuh Laras menyeruak ke indera penciumannya. Entah parfum apa yang dipakai Laras. Namun, mampu membuat pikiran Angkara melayang kemana-mana.

'Putihnya, Winda mah hitam, mana wangi lagi sih Laras. Seandainya saja Laras jadi bini aku. Udah aku sekap dia di dalam kamar setiap hari!'

Laras belum menyadarinya sama sekali. Wanita itu malah asik memandangi wajah Angkara.

"Iya Pak. Cerita atuh Pak? Pagi-pagi masak udah lemas aja, kayak nggak di kasi jatah saja sama bininya," Laras berkata diiringi kekehan pelan setelahnya.

Angkara mendengus kasar kala teringat kejadian tadi pagi. Saat dia sudah siap-siap ingin pergi berkerja dan melihat keadaan dapur tak ada makanan. Sudah sepekan ini Winda tak membuatkannya sarapan. Dengan beralasan tak mampu mencium bawang putih sebab Winda tengah berbadan dua. Jadi Winda tak memasak. Tentu saja Angkara meradang dan berakhir tak sarapan tadi pagi. Tak cukup disitu, saat dia ingin sarapan di kantor. Ternyata dompetnya tertinggal pula di rumah. Sungguh apes, nasib Angkara pagi ini.

Angkara Bramantyo, pria yang sudah memiliki istri dan seorang anak laki-laki. Tahun ini umurnya menginjak 35 tahun. Angkara berkerja di salah satu bank swasta. Jabatannya adalah supervisor layanan bank. Dialah yang menjalankan dan mengawasi operasional pelayanan.

Biasanya kita akan melihat jika ada salah satu nasabah prioritas ingin menyetor uang dengan nominal lumayan besar. Maka Angkara-lah yang akan turun tangan. Sementara itu, Laras bertugas di bagian teller, melayani para nasabah untuk proses transaksi.

"Ngelamun lagi!" Laras melompat kecil seketika dan tanpa sadar menyentuh lengan Angkara lagi.

Lamunan Angkara buyar, pikirannya mulai berkeliaran.

'Astaga, Laras sengaja atau bagaimana?'

Angkara hanya dapat melontarkan kata-kata tersebut di dalam hati dan berharap Laras tak menyadari kegugupannya.

"Iya Laras, maaf ya, Bapak kebanyakan ngelamun. Soalnya lagi ada masalah di rumah dan pikiran Bapak semrawut banget pagi ini," ucap Angkara, berusaha memalingkan mata ke segala arah. Namun, sesuatu yang seharusnya tak dilihatnya sekarang, seakan-akan memiliki daya magnet untuknya. Tak pelak matanya pun melirik lagi ke tempat semula.

"Ya ampun, jangan bilang Bapak nggak sarapan." Laras asal menebak. Anggukan pelan sebagai balasan Angkara.

Melihat wajah pucat Angkara sekarang. Laras nampak sedih.

"Tunggu sebentar, Pak."

Angkara membalas dengan mengangguk pelan. Laras pun mengalihkan pandangan lalu mengambil tas kerja dan mengeluarkan sekotak bekal berwarna putih.

"Ini sarapan untuk Bapak, kasihan Bapak belum makan." Laras menyodorkan kotak persegi tersebut kepada Angkara.

"Loh, ini kan punya kamu, Laras. Jadi nggak usah. Bapak bisa mencari sendiri makanan." Angkara menolak dengan halus.

"Nggak apa-apa Pak, Laras bawa dua bekal kok. Ambil saja!" Laras mengambil tangan Angkara dan menaruh kotak bekalnya di tangan Angkara. "Ayo nggak usah sungkan, mumpung gratis!"

"Yakin nih?" Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Laras. Angkara tersenyum sumringah.

"Yakin. Bapak sarapan ya. Laras mau ke toilet sebentar," balas Laras.

"Oke, oh ya Laras. Maaf banget, itu ...." Angkara mengerucutkan bibir ke depan hendak memberitahu kemeja Laras yang terbuka sedari tadi.

Kening Laras berkerut samar, tampak berpikir keras. "Kenapa Pak?"

Angkara tampak salah tingkah kemudian mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah itu secara pelahan berbisik di telinga Laras.

"Laras, kancing kemejamu itu terbuka. Maaf tadi Bapak nggak sengaja lihat." Setelah berkata demikian, Angkara menjauhkan kepala.

"Bapak nakal kok nggak bilang sih dari tadi." Bukannya marah, Laras malah melempar senyum genit. Dia langsung menutup kancing kemejanya di hadapan Angkara.

Melihat respon Laras, Angkara terpaku di tempat sejenak. Dia heran mengapa Laras tidak marah padanya.

"Sudah dulu ya Pak. Terima kasih loh, sudah bilang." Laras menurunkan tangannya seketika. "Laras, ke toilet dulu, Pak. Jangan lupa dimakan sarapannya, bye!"

Tanpa mendengar tanggapan, Laras mengayunkan kakinya menuju toilet. Meninggalkan Angkara masih mematung di tempat sambil memegang kotak bekal kecil milik Laras.

Setelah melihat punggung Laras menghilang. Angkara menggelengkan kepala.

"Astaga, itu cewek ajaib banget dah. Udah ah tapi dia baik banget kasi aku bekal. Ngomong-ngomong Laras masak apa ya," Angkara bergumam pelan sambil membuka tempat bekal tersebut.

"Wah, nasi goreng!" Mata Angkara berbinar-binar melihat nasi goreng dan telur mata sapi di hadapannya. Secepat kilat ia duduk dan mulai menyantap sarapan yang diberikan Laras barusan.

'Enak banget! Sudah cantik, badan langsing, pintar masak lagi. Nggak kayak Winda, gendut hitam, jelek.'

*

*

*

Menjelang petang, pekerjaan Angkara telah selesai. Dia pun bergegas kembali ke rumah. Baru saja masuk rumah, kepala Angkara langsung pecah melihat pemandangan rumah seperti kapal pecah.

Rio, putra sulungnya tengah bermain di ruang tamu. Dengan bermain mobil-mobilan.

"Sudah pulang Mas." Winda menyembul seketika dari balik pintu penghubung ruang tengah. Kakinya bergerak cepat, mendekati Angkara sambil melempar senyum tipis.

"Buta mata kamu?! Ya kalau aku udah di sini! Ya berarti sudah pulang!" pekik Angkara seketika.

Winda terperanjat kaget, melihat respon suaminya itu. Begitu pula dengan Rio, langsung mengalihkan pandangan ke arah orangtuanya.

Secara perlahan Winda mengusap dada lalu berkata,"Maaf, aku nggak bermaksud, itu hanya sekadar basa-basi saja kok, Mas."

"Nggak usah banyak alasan kamu! Dari pagi kamu ngapain aja hah! Lihat ini rumah berantakan! Kerja juga nggak ada kamu di rumah! Minggir! Badanmu bau bawang!" Dengan raut wajah penuh kemarahan, Angkara berseru.

"Aku baru selesai masakin kamu, Mas. Jadi badanku bau, maaf ya Mas. Nanti aku mandi." Winda tampak sedih. Karena Angkara memarahinya lagi seperti tadi pagi.

Mata Angkara mendelik sesaat. "Terserah! Minggir kamu!" serunya sembari menabrak pundak Winda dengan kasar.

Winda menahan tubuhnya dengan menggapai tembok dinding. Menatap nelangsa punggung Angkara yang menghilang masuk ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar, Angkara melempar asal tas kerjanya lalu menutup pintu kamar tersebut.

"Hah... Pulang ke rumah malah mumet nih kepala," desisnya pelan. Lalu melangkah cepat menuju tempat tidur dan menjatuhkan diri ke atas kasur. Matanya langsung menatap langit-langit kamar.

Angkara termenung. Memikirkan rumah tangganya, yang semakin hari semakin jenuh. Seketika bunyi notifikasi dari saku celananya, membuyarkan lamunan Angkara.

Secepat kilat ia mengambil ponselnya lalu memeriksa pesan dari rekan kerjanya. Setelah membalas pesan, lagi dan lagi mata Angkara teralihkan dengan sebuah nama Laras Paramita mengikutinya di instagram menghiasi notifikasi.

"Laras ...."

Angkara tentu saja penasaran, apakah itu Laras bawahannya atau bukan. Dia masuk ke aplikasi tersebut. Senyum lebar langsung terpatri di wajahnya kala melihat foto profil Laras, wanita yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Dia pun membuka feed instagram Laras dan melihat-lihat foto Laras.

'Astaga, Laras pakai bikini?'

Pupil mata berbinar-binar. Matanya menyiratkan ketertarikan mendalam. Sepasang mata hitam itu tak berkedip mengagumi foto Laras, yang menurutnya cantik dan membangkitkan rasa penasarannya.

Dalam keadaan sadar Angkara memejamkan mata kemudian membayangkan wajah Laras. Dia berkhayal melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan oleh pria yang sudah berkeluarga. Sambil mengerakkan tangannya di bawah sana.

"Laras ...." Angkara bergumam pelan.

"Mas!"

Angkara membuka cepat mata kala mendengar Winda memanggil namanya di luar. Matanya langsung tertuju pada gagang pintu yang mulai bergerak.

'Aduh! Aku lupa kunci pintu!'