Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Gelisah

Bab 3 : Gelisah

Matahari mulai bergerak perlahan ke arah Barat. Menandakan malam akan tiba sebentar lagi. Di sebuah rumah minimalis, seorang wanita bersurai hitam duduk dengan gelisah di atas sofa, menanti sang suami untuk pulang ke rumah. Sedari tadi Winda mencoba menghubungi Angkara. Namun, panggilan tak di angkat-angkat juga.

Perasaan tak nyaman mulai merasuk relung hatinya. Karena tak seperti biasanya, Angkara tidak mengangkat panggilannya. Apalagi saat ini malam telah tiba, bukankah seharusnya Angkara sudah selesai berkerja. Lalu, kemana Angkara pergi? Dan mengapa pula Angkara tak mengabarinya.

"Ma, Rio mau bakso."

Winda terenyuh melihat anak sulungnya terlihat kelaparan. Padahal dia sudah memberi Rio mie tadi. Akan tetapi, anaknya itu masih ingin menyantap makanan. Mungkin karena mie satu bungkus tadi di bagi juga dengannya. Alhasil Rio kecil masih lapar.

"Sebentar ya Sayang, kita suruh Papa beli bakso untuk Rio." Walau hatinya resah, tapi Winda berusaha menenangkan Rio dan berharap panggilannya akan di angkat Angkara nanti.

Rio melengkungkan sudut bibirnya ke atas seketika, tersenyum lebar saat keinginannya untuk makan bakso sebentar lagi akan terwujud. "Yei! Asik! Papa belum angkat telepon ya Ma?" tanyanya sambil duduk di samping Winda.

Sambil mengukir senyuman, Winda menggeleng pelan. "Belum Sayang, sabar ya, mungkin Papa lagi sibuk dengan kerjaannya."

"Oke Ma," kata Rio dengan senyum tak pudar dari wajah tirusnya itu.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, Angkara masih belum juga mengangkat panggilan. Malahan sekarang panggilan di luar jangkauan, Winda semakin gelisah jadinya.

Saat mendengar rengekan Rio, Winda terpaksa pergi ke rumah mertuanya hendak meminjam uang. Sebab uang yang dimilikinya sekarang hanya tertinggal lima ribu saja.

"Ngapain kamu ke sini hah?!"

Belum juga Winda dan Rio masuk ke teras rumah, Santi berdiri di depan pintu dengan melayangkan tatapan tajam,

Winda tak serta-merta langsung menjawab. Dia menarik napas panjang terlebih dahulu, berusaha membuang rasa gengsinya. Jika bukan karena Rio, dia tak mau meminjam uang pada mertuanya itu.

"Maaf Ma, Winda boleh minjam uang lima belas ribu nggak Ma untuk beli bakso, kasihan Rio. Dia mau makan bakso dari kemarin." Winda meremas ujung daster sejenak kala melihat sorot mata Santi memancarkan tatapan penuh hina sekarang.

"Astaga, mengapa kamu sangat boros Winda! Aku tidak punya uang segitu, uangku semuanya besar! Sudahlah! Pergi kamu dari rumahku!"

"Nenek jahat! Rio mau makan bakso!"

Bukan Winda yang membalas perkataan Santi. Namun, Rio lah yang menjawab. Bocah berumur 4 tahun itu tampak tak suka, saat melihat mamanya dibentak oleh neneknya.

Mendengar perkataan Rio, Winda terkejut.

"Heh! Berani kamu ngelawan Nenekmu ya!" Secepat kilat Santi menghampiri Winda dan Rio.

Rio mendongakkan wajah ke atas, menatap balik neneknya itu.

Santi berkacak pinggang dengan melototkan matanya, menahan geram.

"Maaf Ma, Rio nggak bermaksud kok, Ma." Winda menyembunyikan Rio di belakang tubuhnya seketika.

Santi mendengus kasar lalu berkata,"Banyak alasan kamu! Ajari anakmu itu sopan santun ya! Dasar menantu tak tahu di untung! Cuma bisa menyusahkan orang saja!" katanya sambil mendorong kuat dada Winda tiba-tiba.

Winda terhuyung ke belakang, hingga dia dan Rio terjatuh ke tanah.

"Mama!" pekik Rio, khawatir dengan kondisi mamanya sekarang.

"Cih! Menganggu waktu saja!" Tanpa rasa iba sedikitpun, Santi menyelenong masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat.

"Shftt ...." Sambil memegang perutnya, Winda menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya saat ini dan berharap anaknya di dalam sana baik-baik saja.

"Mama, nggak apa-apa?" Dengan sigap Rio bangkit berdiri dan memegang tangan Winda.

Sambil mengatur napasnya, Winda menatap sendu sang anak. "Mama baik-baik saja Sayang, kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?"

"Rio, baik-baik saja Ma. Sekarang kita pulang Ma, maafin Rio ya Ma." Walau tubuhnya kecil, Rio berusaha memapah tubuh Mamanya.

Winda tersenyum lebar, melihat perhatian anaknya itu.

*

*

*

Sementara itu, di sisi lain. Angkara mondar-mandir di dalam kamar hotel. Tadi dia sempat mendapat pesan dari Laras bertemu di hotel pukul 7 malam nanti. Tanpa banyak bertanya lagi, Angkara bergegas pergi ke hotel yang sudah ditentukan.

Saat ini perasaan Angkara tak menentu. Ingin bertemu Laras sekarang juga. Angkara sudah gelap hati. Pikirannya sudah melanglang buana entah kemana. Sepertinya Laras memiliki ketertarikan padanya tadi.

"Kemana Laras ? Kenapa dia belum datang?" Angkara melirik arloji di pergelangan tangan, menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar.

Saat bayangan tubuh Laras melintas di benaknya, gairah Angkara mulai memuncak.

"Wanita ini sangatlah berbahaya!" Angkara melepas satu kancing kemejanya, berusaha membuang pikiran nakalnya itu.

Dalam sepersekian detik, terdengar bunyi ketukan pintu dari luar. Angkara menoleh, tanpa banyak kata melangkah cepat menuju ambang pintu dan membukanya seketika.

"Laras .... hmf!"

Pintu baru saja di buka dan perkataan Angkara terjeda seketika. Matanya melebar saat Laras membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.

Bab 3 : Gelisah

Matahari mulai bergerak perlahan ke arah Barat. Menandakan malam akan tiba sebentar lagi. Di sebuah rumah minimalis, seorang wanita bersurai hitam duduk dengan gelisah di atas sofa, menanti sang suami untuk pulang ke rumah. Sedari tadi Winda mencoba menghubungi Angkara. Namun, panggilan tak di angkat-angkat juga.

Perasaan tak nyaman mulai merasuk relung hatinya. Karena tak seperti biasanya, Angkara tidak mengangkat panggilannya. Apalagi saat ini malam telah tiba, bukankah seharusnya Angkara sudah selesai berkerja. Lalu, kemana Angkara pergi? Dan mengapa pula Angkara tak mengabarinya.

"Ma, Rio mau bakso."

Winda terenyuh melihat anak sulungnya terlihat kelaparan. Padahal dia sudah memberi Rio mie tadi. Akan tetapi, anaknya itu masih ingin menyantap makanan. Mungkin karena mie satu bungkus tadi di bagi juga dengannya. Alhasil Rio kecil masih lapar.

"Sebentar ya Sayang, kita suruh Papa beli bakso untuk Rio." Walau hatinya resah, tapi Winda berusaha menenangkan Rio dan berharap panggilannya akan di angkat Angkara nanti.

Rio melengkungkan sudut bibirnya ke atas seketika, tersenyum lebar saat keinginannya untuk makan bakso sebentar lagi akan terwujud. "Yei! Asik! Papa belum angkat telepon ya Ma?" tanyanya sambil duduk di samping Winda.

Sambil mengukir senyuman, Winda menggeleng pelan. "Belum Sayang, sabar ya, mungkin Papa lagi sibuk dengan kerjaannya."

"Oke Ma," kata Rio dengan senyum tak pudar dari wajah tirusnya itu.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, Angkara masih belum juga mengangkat panggilan. Malahan sekarang panggilan di luar jangkauan, Winda semakin gelisah jadinya.

Saat mendengar rengekan Rio, Winda terpaksa pergi ke rumah mertuanya hendak meminjam uang. Sebab uang yang dimilikinya sekarang hanya tertinggal lima ribu saja.

"Ngapain kamu ke sini hah?!"

Belum juga Winda dan Rio masuk ke teras rumah, Santi berdiri di depan pintu dengan melayangkan tatapan tajam,

Winda tak serta-merta langsung menjawab. Dia menarik napas panjang terlebih dahulu, berusaha membuang rasa gengsinya. Jika bukan karena Rio, dia tak mau meminjam uang pada mertuanya itu.

"Maaf Ma, Winda boleh minjam uang lima belas ribu nggak Ma untuk beli bakso, kasihan Rio. Dia mau makan bakso dari kemarin." Winda meremas ujung daster sejenak kala melihat sorot mata Santi memancarkan tatapan penuh hina sekarang.

"Astaga, mengapa kamu sangat boros Winda! Aku tidak punya uang segitu, uangku semuanya besar! Sudahlah! Pergi kamu dari rumahku!"

"Nenek jahat! Rio mau makan bakso!"

Bukan Winda yang membalas perkataan Santi. Namun, Rio lah yang menjawab. Bocah berumur 4 tahun itu tampak tak suka, saat melihat mamanya dibentak oleh neneknya.

Mendengar perkataan Rio, Winda terkejut.

"Heh! Berani kamu ngelawan Nenekmu ya!" Secepat kilat Santi menghampiri Winda dan Rio.

Rio mendongakkan wajah ke atas, menatap balik neneknya itu.

Santi berkacak pinggang dengan melototkan matanya, menahan geram.

"Maaf Ma, Rio nggak bermaksud kok, Ma." Winda menyembunyikan Rio di belakang tubuhnya seketika.

Santi mendengus kasar lalu berkata,"Banyak alasan kamu! Ajari anakmu itu sopan santun ya! Dasar menantu tak tahu di untung! Cuma bisa menyusahkan orang saja!" katanya sambil mendorong kuat dada Winda tiba-tiba.

Winda terhuyung ke belakang, hingga dia dan Rio terjatuh ke tanah.

"Mama!" pekik Rio, khawatir dengan kondisi mamanya sekarang.

"Cih! Menganggu waktu saja!" Tanpa rasa iba sedikitpun, Santi menyelenong masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat.

"Shftt ...." Sambil memegang perutnya, Winda menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya saat ini dan berharap anaknya di dalam sana baik-baik saja.

"Mama, nggak apa-apa?" Dengan sigap Rio bangkit berdiri dan memegang tangan Winda.

Sambil mengatur napasnya, Winda menatap sendu sang anak. "Mama baik-baik saja Sayang, kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?"

"Rio, baik-baik saja Ma. Sekarang kita pulang Ma, maafin Rio ya Ma." Walau tubuhnya kecil, Rio berusaha memapah tubuh Mamanya.

Winda tersenyum lebar, melihat perhatian anaknya itu.

*

*

*

Sementara itu, di sisi lain. Angkara mondar-mandir di dalam kamar hotel. Tadi dia sempat mendapat pesan dari Laras bertemu di hotel pukul 7 malam nanti. Tanpa banyak bertanya lagi, Angkara bergegas pergi ke hotel yang sudah ditentukan.

Saat ini perasaan Angkara tak menentu. Ingin bertemu Laras sekarang juga. Angkara sudah gelap hati. Pikirannya sudah melanglang buana entah kemana. Sepertinya Laras memiliki ketertarikan padanya tadi.

"Kemana Laras ? Kenapa dia belum datang?" Angkara melirik arloji di pergelangan tangan, menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar.

Saat bayangan tubuh Laras melintas di benaknya, gairah Angkara mulai memuncak.

"Wanita ini sangatlah berbahaya!" Angkara melepas satu kancing kemejanya, berusaha membuang pikiran nakalnya itu.

Dalam sepersekian detik, terdengar bunyi ketukan pintu dari luar. Angkara menoleh, tanpa banyak kata melangkah cepat menuju ambang pintu dan membukanya seketika.

"Laras .... hmf!"

Pintu baru saja di buka dan perkataan Angkara terjeda seketika. Matanya melebar saat Laras membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel