Episode 8
Setelah selesai memandikan dan mengurus kebutuhan Rafa, Risa kembali ke kamarnya mengganti baju khas orang kantor mematutkan tubuhnya di depan cermin memakai pensil skirt, blazer sebagai atasan dan rok selutut untuk bawahan. Tak lupa menyemprotkan parfum beraroma vanila di beberapa titik.
Menyambar tas di nakas, gegas menuju kamar Rafa mengecek kembali bekal yang akan di bawa, mengabsen satu persatu isi tasnya susu, roti, buku air putih dan lain-lain.
Rafa duduk di tepi ranjang mengayun-ayunkan kakinya. Memperhatikan setiap gerakan Risa.
''Ayo, Rafa, sudah siap?'' Risa membantu memakaikan tas dan menggandeng Rafa menuju meja makan. Menuruni anak tangga.
''Mbak Lisa cantik.'' Pujinya tulus.
''Ohw ... thanks.'' Risa membelai wajah Rafa, gemas.
Reyhan tertegun melihat penampilan Risa yang berkelas, hingga tak berkedip menatapnya saat menuruni anak tangga. Hingga Susan menepuk bahunya.
''Katanya mau nyamperin Rafa di kamar malah bengong di sini. Akhir-akhir ini sepertinya kamu sedang tidak fokus, Rey?'' ucap Susan membuyarkan lamunan Reyhan. Penasaran Susan mengikuti arah pandangnya.
''Hemm ... pantes, liat bidadari rupanya.'' Susan tersenyum samar.
Risa melewati Reyhan begitu saja kibasan. Rambutnya menampar wajah Reyhan yang masih berdiri mematung, seolah tak terlihat. Memejamkan mata hingga sensasi wanginya menguar.
''Sengaja, ya?'' seru Reyhan.
''Apa?''
Reyhan tak meneruskan ucapannya menyusul Rafa yang sedang memanaskan motor.
''Ngapain manasin motor, naik mobil saya,'' ujar Reyhan ketus.
''Tapi nanti, saya pulangnya?''
''Tar di antara lagi.''
''Bikin kerjaan dua kali dong, Pak?''
''Buruan naik, nanti Rafa telat dan itu semua gara-gara, kamu!''
Mau tidak mau Risa pun menurut setelah melirik jam dipergelangan tangan.
''Ayo Rafa,'' Risa membukakan pintu belakang untuknya.
''Heh, kamu pikir saya supir? Duduk di depan!''
Risa memutar bola mata, sebal. Ia baru tau ternyata duda satu ini bawel sekali, ngeselin. Ingin sekali mengacak-acak wajahnya yang terlihat datar, tanpa ekspresi, main perintah sembarangan, mentang-mentang bos. Kalo enggak ingat gaji yang diberikan ia lebih memilih nyari kerja lain deh, mana ada orang yang betah lama-lama bareng dia.
''Yeay ... Lafa seneng diantara Mbak Lisa dan Papa. Kaya teman-teman lain yang diantar Mama, Papanya,'' seru Rafa bersorak bahagia.
Risa dan Reyhan saling tatap mendengarnya, tersenyum canggung mengusap pucuk kepala Rafa dan kembali fokus menyetir. Melajukan mobilnya, melesat membelah jalanan yang mulai di padati kendaraan.
Mobil mendarat mulus di halaman sekolah, Risa mengantar Rafa hingga depan kelas, sedangkan Reyhan menunggu di dalam mobil sambil mengenakan kaca mata hitam. Satu tangannya ia sandarkan di jendela yang dibiarkan terbuka. Menatap punggung belakang Risa dan Rafa yang saling bergandengan, perlahan menghilang.
''Rafa nanti tunggu Mbak Risa di sini ya jangan kemana-mana, sebelum dijemput, oke?'' ucap Risa setelah mengantarkan hingga depan kelas.
''Mbak Lisa mau kemana?'' tanya Rafa tak mengerti karena biasanya Risa akan menunggu hingga bel pulang sekolah berbunyi.
''Mbak Lisa mau kerja dulu di kantor Papa. Nanti kalo Rafa pulang baru deh bisa kesini lagi,'' terangnya.
''Benelan?''
''Iya dong, 'kan nggak boleh bohong. Nanti kalo bohong dosa, hidungnya panjang kaya Pinokio, sekarang Rafa masuk ya? Belajar yang pinter biar gede jadi Dokter.''
''Lafa maunya jadi pilot bial bisa nelbangin pesawat,'' sahut Rafa bersemangat.
''Pilot juga keren apa pun cita-citanya yang penting sekarang sekolah dulu biar pinter satu lagi gak boleh berantem ya sama temennya.'' Rafa menganggukkan kepala setelah mencium punggung tangan Risa dan berlari masuk ke dalam kelas dengan wajah riang.
.
Hampir semua mata tertuju pada Reyhan dan Risa, saling berbisik saat kakinya mulai menjejakkan di lobby kantor, bertanya-tanya tentang siapa wanita yang bersama Reyhan karena tak pernah melihatnya selama ini. Banyak yang merasa patah hati dan berpikir jika duda yang selama ini mereka idolakan telah menemukan tambatan hati. Hingga banyak karyawan perempuan memandang sinis ke arah Risa seraya mencibir.
Risa mengedarkan pandangan menyapu tiap sudut kantor yang terlihat elegan dan nyaman terkesan santai bahkan bisa sambil makan dan minum. Seperti layaknya tempat nongkrong anak muda.
''Udah bengongnya?'' Hampir saja Risa menabrak punggung Reyhan yang berhenti mendadak.
''Saya nyuruh kamu kerja, bukan bengong! Buatkan, saya kopi?''
''Sebenernya saya jadi asisten pribadi atau official gril sih?'' protes Risa.
''Sekali merengkuh gayung, dua tiga pulau terlampaui.''
''Nyebelin!'' desisnya.
''Ngomong apa barusan? Saya masih bisa dengar, ya?''
''Salah dengar kali.''
''Besok saya mau di bawakan bekal makan siang.''
''Saya pengasuhnya Rafa atau Bapak sih?''
''Dua-duanya.''
''Siksa aja terus, dasar ....?'' Risa tak melanjutkan ucapannya, karena Reyhan berjalan mendekat ke arahnya menatap tajam. Hingga jarak yang menghimpit, susah payah menelan salivanya dan sapuan hangat terasa menerpa.
''Dasar apa? Kenapa enggak di lanjutin ngomongnya.'' Reyhan menaik turunkan alis.
''Enggak-enggak jadi,'' sahut Risa tergagap. Risa mendorong dada Reyhan yang bidang, meski semua hanya sia-sia.
Reyhan tersenyum menyeringai, mengungkung di antar ke dua tangannya. Menikmati ekspresi wajah Risa yang menegang dan ketakutan.
''Bapak mau nga--pain?'' Risa berusaha mundur hingga tubuhnya membentur meja.
''Kamu pikir saya mau, ngapain?'' tangan Reyhan yang bebas mengambil map di belakang punggung Risa, menjitak keningnya pelan. Risa menghembuskan napas lega.
''Bikin kan, saya kopi.'' Reyhan kembali duduk di kursinya.
''Pantry di mana, Pak?''
''Punya mulut, 'kan? Tanya sama orang.''
Risa mencebik mendengar jawaban Reyhan.
''Bapak orang, 'kan? Atau setan? Makanya, saya tanya sama Bapak.'' Bukan Risa namanya kalo tidak bisa membalik pertanyaan.
''Kamu ....'' Reyhan menatap tajam. "Cari sendiri.''
Risa pergi sambil menghentakkan kakinya ke lantai. Hampir sepanjang jalan ia ngedumel tak karuan dan hampir saja menabarak orang.
Brug!
''Maaf ... maaf enggak sengaja,'' ucap Risa pada pria yang nyaris ditabraknya dan mengambil kertas-kertas yang tercecer di lantai.
''Baru, ya di sini? Enggak pernah liat. Kenalin Dion, kamu?'' tanyanya.
''Risa.'' Menjabat tangan Dion. ''Oh, iya hampir lupa. Pantry di sebelah mana, ya?''
Dengan gerakan tangan Dion menjelaskan
''Oke, thanks.''
Risa pun berlalu menuju pantry membuatkan secangkir kopi, terbesit ingin mengerjai Reyhan tapi niatnya ia urungkan.
''Risa ... siapkan tempat rapat.''
''Siapkan makan siang.''
''Risa siapkan berkas.''
Berbagai perintah lainnya. Syukurlah jam kerjanya sebentar lagi habis bisa mati muda menghadapi sikap bosnya yang menyebalkan tukang perintah. Akhirnya Risa ke menjemput sendiri karena Reyhan banyak pekerjaan hari ini.
Risa memesan ojol menuju sekolah Rafa, berjalan sepanjang lorong menuju kelas menunggu Rafa bergabung dengan ibu-ibu lainnya yang sama sedang menunggu kepulangan anak-anak mereka.
Rafa berlari keluar kelas menghambur ke dalam pelukan Risa dengan riang membawa amplop di tangan yang entah apa isinya.
''Mbak Lisa sendili? Papah mana?'' Rafa mengedarkan pandangan mencari ke beradaan Reyhan.
''Papah lagi nggak bisa jemput, Rafa pulang sama mbak aja. Enggak apa-apa, 'kan? Ayo kita pulang,'' seru Risa.
Baru saja Risa akan beranjak, tiba-tiba Bela datang dengan gaya angkuhnya dan berusaha mengambil hati Rafa agar bisa mendapatkan, Reyhan kembali.
''Hallo .... Rafa, pulang bareng tante, yuk? Nanti kita beli es krim dan jajan yang banyak. Rafa mau, 'kan?''
Rafa menggeleng bersembunyi di belakang tubuh Risa, mengisyaratkan ketakutan.
''Maaf, mbak. Sepertinya Rafa tidak mau tolong jangan paksa dia,'' ucap Risa menggenggam tangan Rafa yang gemetar.
''Heh ... nggak usah ngatur-ngatur, asal kamu tau, ya? Aku calon istrinya Reyhan!'' hardik Bela.
''Mbak enggak liat, Rafa ketakutan yang bener saja!'' Risa mencabik melipat tangan di depan dada.
''Tau apa kamu soal, Rafa dasar pembantu engga tau diri. Ayo Rafa pulang sama, Tante.'' Bela berusaha menarik paksa tangan Rafa.
Risa yang melihatnya menghempas kasar tangan Bela mendorong hingga nyaris terjatuh. Membuat Bela makin geram dan berniat memberi pelajaran, rahangnya terkatup rapat menatap nyalang ke arah Risa, ia tak rela diperlakukan seperti ini dan berniat memberi tamparan tangannya melayang ke udara, tapi gerakannya terhenti tiba-tiba ada seseorang yang menahannya.
***
