Pustaka
Bahasa Indonesia

Pesona Duda Tampan

100.0K · Tamat
Jeslyn
68
Bab
18.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Perjuangan seorang Ayah yang harus berperan ganda membesarakan, putra semata wayangnya setelah kematian sang istri.

AktorRomansaIstriSweetBillionaireKeluargaLove after MarriageMetropolitanPernikahan

Episode 1

Kini para pelayat satu persatu mulai meninggalkan area pemakaman. Reyhan terpekur menatap gundukan tanah yang masih basah, derasnya hujan tak membuatnya terpengaruh bahkan seruan orang-orang disekitar tak ia hiraukan.

Reyhan merasa hidup ini seperti tak adil. Mengapa orang yang dicintainya secepat itu pergi meninggalkannya.

"AARGGGHHHHH!'' teriak Reyhan dengan membentangkan kedua tangan ke atas, menengadah menatap langit dengan hujan yang mengguyur tubuhnya. Terduduk lemah tak berdaya memeluk pusara, entah berapa air mata yang telah menetes seperti tak ada habisnya.

Sejak saat itu sikap Reyhan mulai berubah menjadi seorang pria yang tertutup dingin seperti kulkas terhadap orang lain kecuali jika saat bersama dengan keluargnya kembali menghangat. Hidupnya yang dulu sempurna kini musnah sudah hanya asa dan hampa yang tersisa. Jika bukan karena Rafa anak semata wayangnya tak mungkin ia bangkit dari keterpurukkan dan lebih baik baginya menyusul vania saat ini juga.

***

Sudah menjadi rutinitas Reyhan sebelum tidur selalu membacakan dongeng untuk anaknya, terkadang disela-sela bercerita Rafa sering bertanya tentang hal rendom yang terkadang bikin pusing kepala dan tak pernah terpikirkan olehnya, seperti malam ini.

"Papa,'' ucap Rafa dengan tubuh bersandar dikepala ranjang.

"Hemppt.''

"Pa, kapan Lafa punya Mama? Lafa sedih, Pa. Suka diledekin sama teman-teman katanya enggak punya Mama sendili,'' ucapnya tiba-tiba, membuat hati reyhan terisi perih mendengarnya.

Reyhan mengembuskan napas mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskan agar Rafa bisa mengerti penjelasannya.

"Rafa anak Papa yang pinter, kalo sholat suka berdoa nggak?'' Rafa menganggukan kepala mengiyakan. ''Gimana doanya kalo sholat?'' imbuh Reyhan.

"Lafa berdoa, bial punya Mama kaya teman-teman. Mama kemana sih, kok engga baleng sama kita di sini?'' tanyanya polos, tapi mampu membuat bibir Reyhan kelu. Tak mampu berkata-kata, matanya seakan memanas menahan air mata.

"Kata siapa Rafa enggak punya, Mama?" Reyhan mengambil pigura di nakas menunjukkan foto Rafa kecil yang sedang berada di dalam gendongan Vania saat berusia satu tahun disebuah kebun binatang. "Ini Mamanya Rafa cantik kan? Mama sekarang sudah berada di surga bersama bidadari di atas sana, Mama akan selalu melihat dan memperhatikan, Rafa dari jauh jadi jangan sedih lagi ya sekarang.''

"Sulga itu apa sih, Pa?'' Reyhan tersenyum menatap wajah polos Rafa, apa lagi dengan bola matanya yang belo mengerjap beberapa kali membutnya nampak menggemaskan. Seperti tak sabar menanti jawaban Reyhan.

Gemas, Reyhan mencubit pelan pipi cubby Rafa dan mengusap pucuk kepalanya.

''Surga itu ada langit dan cuma orang-orang baik yang bisa kesana. Jadi Rafa harus jadi anak baik, nurut apa kata papa biar bisa ketemu dan berkumpul lagi sama Mama,'' terang Reyhan.

Akhirnya Rafa pun mengerti dengan penjelasan Reyhan mendekap pigura yang ada gambar Vania ke dalam pelukan dan menciumnya seolah bisa mengobati rindu pada Mamanya.

''Rafa sekarang tidur, ya? Udah malam besok harus sekolahkan?''

Reyhan membetulkan posisi tubuh Rafa membaringkannya, mengatur posisi tidur senyaman mungkin. Beberapa kali Rafa terlihat menguap, dengan sabar dan telaten Reyhan menemani. Mengusap puncuk kepalanya hingga terlelap, Barulah Reyhan pergi ke kamarnya

Tak lupa sebelum beranjak dari kamar Reyhan menyelimuti tubuh mungil Rafa dengan selimut dan mematikan sakelar lampu kamar.

Baru saja Reyhan menutup pintu kamar Rafa, tiba-tiba Susan--ibunya sudah berdiri di depan kamar yang sengaja menunggunya, dari tatapan matanya seperti ada sesuatu yang ingin di sampaikan.

"Rafa sudah tidur, Rey?''

''Sudah, Bu.''

''Ikut ibu, Rey. ibu mau bicara,'' ucap Susan, Reyhan pun mengekori di belakang menuju ruang tamu.

Reyhan duduk bersebelahan dengan Susan yang seperti sudah tak sabar ingin mengeluarkan segala ocehan dan petuahnya.

"Rey,'' Susan menatap Reyhan lekat.

"Hemppt.''

"Tadi pulang sekolah, Rafa nangis. Jujur ibu nggak tega melihat cucu kesayangan, ibu bersedih. Kamu mau lihat Rafa tiap hari di buly teman-temanya gara-gara nggak punya Mama. Tolong pikirkan Rafa, ia butuh orang tua yang utuh untuk menemani tumbuh kembangnya.

Reyhan terpaku mencerna setiap ucapan Susan, yang terasa meremas hatinya. Jika saja boleh memilih, ia tak ingin ada yang mengganti posisi Vania di hidupnya, tapi rasanya terlalu egois jika hanya memikirkan dirinya sendiri. Biar bagaimana pun Rafa butuh figur seorang ibu yang mampu memberinya kasih sayang dan menemani tumbuh kembangnya.

Reyhan memijit pangkal hidungnya yang terasa pening.

"Lho, kok malah bengong, Rey. Dengar kata-kata ibu enggak barusan,'' ucap Susan berdecak kesal melihat ekspresi datar Reyhan yang tak menanggapi perkataannya. ''Jadi, besok mau kan kenalan sama anak teman arisan ibu?''

Pasrah.

Reyhan pun hanya mengangguk mengiyakan akhirnya an itu sukses membuat Susan kesal. Ini bukan pertama kalinya ia dijodohkan dengan seseorang dan berakhir dengan kegagalan, karena mereka yang pernah bertemu tak ada yang benar-benar tulus mencintainya.

Setelah tau Reyhan memiliki seorang anak ada yang terang-terangan menghindar pergi dari hidupnya dan ada pula yang pura-pura menerimanya. Parahnya lagi ada yang pernah berusaha menjauhkan dari Rafa anaknya sendiri.

"Sebenarnya, kamu serius ngga sih? Dari tadi ngangguk-ngagguk terus!'' Susan berdecak kesal, memalingkan wajahnya melipat tangan di depan dada.

Reyhan duduk bersimpuh di depan Susan, meraih jemarinya dan menyetujui rencananya karena tak ingin melihat Ibunya bersedih, selalu kepikiran memikirkannya setidaknya dengan menerima perjodohan itu Susan jadi tenang.

"Iya. Bu, Reyhan mau ketemuan besok.''

"Nah gitu dong, baru namanya anak Ibu.'' Susan tersenyum senang.

"Satu hal lagi, Bu. Jangan berharap banyak ini semua, aku lakukan demi Rafa.''

Setelah pembicaraan selesai Reyhan memutuskan untuk menuju kamar merebahkan tubuhnya yang terasa lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, anganya melayang menatap langit-langit kamarnya, melipat kedua tangan di belakang kepala.

Berandai-andai, jika Vania masih ada di sisinya, ia tak akan merasakan masalah serumit ini dan gak perlu repot-repot dijodohkan dan pasti sekarang sedang bahagia karena hidupnya telah sempurna karena ada Rafa ditengah keluarga kecil mereka. Tapi sepertinya Tuhan lebih sayang padanya hingga Tuhan memanggilnya terlebih dulu agar tidak merasakan kesakitan lagi. Hingga tanpa sadar kelopak matanya terasa berat dan terbuai dalam mimpi.

.

Silau cahaya mentari pagi, membuat Reyhan terbangun. Gegas menyibak selimut, turun dari ranjang melakukan aktifitas paginya, mandi dan mengantar Rafa ke sekolah. Kebetulan arah kantornya searah jadi ia memilih mengantar jempur sendiri tanpa perlu bantuan dari supir.

Reyhan memasuki kamar Rafa yang tengah bersiap memakai sergam dibantu oleh Susan. "Sini, Bu. Biar aku saja yang memakaikan seragam,'' ucap Reyhan mengambil alih.

"Repotkan kalo pagi begini, nggak ada yang ngurusin kamu sama Rafa. Makanya cepet cari istri,'' ucap Susan sambil mengancingkan baju seragam Rafa yang hanya tinggal tiga lubang teratas.

Susan turun membantu Bik Siti menyiapkan sarapan.

"Pagi Papa,'' sapa Rafa yang tengah berkutat dengan mainan ditangan, sedangkan Reyhan sibuk menyisir rambut Rafa yang masih acak-acakan.

"Pagi, juga anak Papa. Ayo jagoan kita turun.''

Reyhan menggendong Rafa menuruni anak tangga menuju meja makan. Menarik salah satu kursi menghempaskan pinggulnya. Memangku Rafa sambil menyuapinya sarapan.

Reyhan memang sengaja tak memakai jasa babysiter selama ini karan berpikir tak membutuhkannya, ditambah ada Ibu dan Ayahnya yang membantu menjaga Rafa.

Walau terkadang Reyhan pun merasa kewalahan. Tak mudah menjadi seorang single father, mengurus satu orang anak tanpa seorang istri yang terkadang harus berperan ganda menjadi Ibu sekaligus. Rasa cape dan lelah seketika menguap begitu saja, saat melihat tingkah Rafa yang terkadang dewasa sebelum waktunya.

Setelah selesai sarapan Reyhan mengantar ke sekolah, mobil melesat memecah jalanan ibu kota yang mulai ramai dipadati kendaraan roda dua dan roda empat. Mobil berhenti tepat di dapan halaman sekolah terparkir mulus, terlihat anak-anak lain pun mulai berdatangan di antara oleh para orang tua.

"Selamat belajar, Rafa. Ingat nggak boleh nakal sama temen-temennya, ya? Jadi anak pinter dan baik, ok?'' ucap Reyhan sebelum membukakan pintu mobil.

"Oke, Papa, Lafa janji nggak nakal dan jadi anak baik.''

Reyhan bergegas membukakan pintu mobil. Menuntun Rafa menuju kelasnya, melewati sekumpulan ibu-ibu yang sedang berkelompok bergosip, mungkin. Bahkan sering tatapan ibu-ibu itu mengarah padanya. Tatapannya aneh.

Terkadang Reyhan merasa risi dengan lirikan mereka entah merasa kagum atau merasa lucu melihat seorang berbadan kekar, memakai tas kecil dipunggungya bergambar robot.

***