Episode 5
Risa menghampiri Reyhan yang tengah membaca koran di teras rumah, meski ragu. Risa tetap memberanikan diri untuk meminta ijin menengok Ayahnya yang sedang sakit, hampir satu bulan ia belum mengambil jatah liburnya.
"Maaf Pak, hari sabtu besok boleh saya ijin?'' tanya Risa berdiri di depan Reyhan, membuatnya menautkan alis dan melipat koran. meletakkannya disamping meja.
"Ijin?''
"Iya Pak, ada urusan mendadak?''
"Terus nanti kalo Rafa nyari kamu, Saya harus jawab apa?''
"Saya ijin sebentar, Pak. Mungkin sore sudah balik kesini.''
"Hemm,'' sahut Reyhan kembali fokus pada bacaannya.
''Jadi, diijini kan Pak?''
''Hemm.''
''Ck! Irit banget sih Pak ngomongnya? Sariawan, ya?'' Reyhan menatap Risa tajam dan buru buru menutup mulutnya pergi begitu saja, sebelum Reyhan berubah pikiran nanti gak jadi dijinin lagi kan berabe.
.
Setalah selesai memandikan Rafa dan menyuapi, Risa mengajaknya bermain dan mencoba memberi pengertian supaya tidak menangis nanti. Saat ditinggal pergi.
Rafa menaiki mobil mainannya yang bisa dikendalikan menggunakan remot kontrol, mengitari halaman rumah dengan sabar Risa mengikutinya dibelakang dan memegang kendali kontrolnya.
"Kok belhenti, Mbak Lisa?'' tanya Rafa menoleh, Risa menghampiri membungkukkan badannya agar sejajar.
"Mbak Lisa mau ijin bentar sama Rafa, boleh?'' Rafa menatap Risa, mencoba mencerna apa yang dikatakan Risa.
"Mbak Lisa mau kemana? Lafa ikut.'' Risa membelai lembut wajahnya yang seperti akan menangis.
"Mbak mau pulang, Ayah Mbak Risa lagi sakit. Jadi boleh ya Mbak ijin sebentar?''
"Tapi Lafa sedih nanti nggak bisa main lagi sama Mbak Lisa.'' Risa tersenyum, mengendong Rafa dan membawanya duduk dipangkuanya di bawah pohon rindang yang berada ditengah halaman.
"Rafa jangan sedih, 'kan perginya cuma bentar, nanti sore Mbak udah bisa main lagi sama Rafa.''
"Benelan? Janji?''
"Janji.'' Risa mencium dan menggelitik tubuh mungil Rafa, membuatnya menggelinjang geli. ''Anak pinter, peluk dulu dong. Nanti Mbak bawain mainan, mau?'' Rafapun mengangguk-anggukan kepalanya tersenyum senang.
Rafa dan Risa masuk ke dalam rumah dengan berkejaran.
"Jangan lari-lari Rafa nanti jatuh.'' Teriak Risa, yang justru membuat Rafa makin bersemangat berlari.
Brugh
Tak sengaja Risa justru menabrak Reyhan yang tengah melintas dengan membawa kopi ditangan dan menumpahkan ke bajunya yang berwarna putih, meninggalkan noda kecoklatan.
"Duh maaf, Pak saya tidak sengaja.'' Risa mendekat berusaha membersihkan noda yang menempel dibaju Reyhan dengan tangan yang justru membuat nodanya kian melebar.
Jarak yang begitu dekat membuat Reyhan bisa merasakan wangi rambut Risa yang menyeruak, melewati indra penciumannya. Aromanya mampu membuat Reyhan merasa nyaman seakan ada aroma terapi didalamnya, menenangkan.
Reyhan bergeming menikmati sentuhan lembut dari tangan di dadanya, Risa mendongak menatapnya yang tak bersuara atau pun protes.
Tiba-tiba Rafa datang dan menabrak Risa dari belakang. Membuat tubuh Risa oleng dan nyaris jatuh tersungkur. Beruntung Reyhan sigap menangkapnya, jadilah posisi mereka saling berpelukan. Detak jantung Reyhan dan Risa makin tak beraturan membuat suasana semakin canggung. Wajah Risa bersemu merah.
Risa berusaha menjauh dan mendorong tubuh Reyhan. "Maaf-maaf saya nggak sengaja, Pak Rey.'' Risa kembali menegakan tubuhnya, meninggalkan Reyhan yang masih terpaku dan sibuk dengan pikiranya sendiri. Tawa Rafa berderai saat melihat melihat mereka jatuh berpelukan.
.
Risa melangkahkan kakinya keluar, bersiap menanti tukang ojol pesanannya. Di depan pintu kamar bertemu dengan Susan dan berpamitan.
"Naik apa kamu Ris, perginya?'' tanya susan.
"Saya naik ojol, Bu.''
"Kenapa nggak minta antar, Reyhan aja lumayan'kan irit ongkos.''
"Tidak usah Ibu, ini kebetulan ojolnya sudah datang Kalo gitu Saya pamit.''
''Sopan sekali itu anak coba aja Reyhan mau sama Risa. Aku pasti sangat senang sepertinya, ia tulus menyayangi Rafa,'' gumam Susan yang menatap punggung Risa yang telah menghilang dari pandangan.
***
Ojol berhenti tepat didepan halaman rumah sederhana tanpa pagar, yang hampir satu tahun ini Risa tempati bersama keluarganya.
Adik-adiknya terlihat bahagia menyambut kedatangannya hampir satu bulan lebih tak berkunjung. Mereka berpelukan dengan penuh haru dan kerinduan.
"Gimana kerjaan kamu Ris, disana?'' tanya Ayah, setelah mengurai pelukan dan kembali berbaring.
Semenjak perusahaanya keluarga Risa bangkrut, Suseno Ayah Risa mengalami struk dan sebagian organ tubuhnya mengalami kelumpuhan mengakibatkan gerak tubuhnya menjadi terbatas.
"Lancar, Yah atasan Risa juga sangat baik.''
"Maafin Ayah, Risa. Gara-gara kebodohan Ayah, kamu dan adik-adikmu harus mengalami masa sulit seperti ini.'' Suseno menatap nanar langit-langit kamarnya, menahan air mata yang berdesakan ingin keluar.
"Risa nggaka papa, Yah. Semua sudah terjadi yang penting Ayah selalu sehat dan menemani Risa itu lebih dari cukup.''
"Ternyata anak Ayah yang manja dan bandel sekarang udah dewasa, Ayah bangga sama kamu Ris.'' Suseno tersenyum binar matanya melebar, memancarkan kebahagiaan dan semangat baru.
"Nadia, Riki, kalian sudah makan?'' tanya Risa yang melihat ke dua adiknya yang terus diam, tak seperti biasanya.'' Kalian kenapa? Kenapa diem aja dari tadi?''
Mereka berdua kompak menggeleng, takut membuat Risa semakin terbebani. Bukan Risa namanya jika mudah percaya dengan kedua adiknya yang terlihat mencurigakan.
" Ayo jujur sama, Mbak? Kenapa kalian dari tadi diem aja, apa yang kalian sembunyikan?'' tanya Risa tak sabar.
Riki memberikan kode agar Risa agar mengikutinya ke ruang tamu, agar Suseno tak mendengarkan obrolan mereka.
"Yah, Risa mau ke depan bentar, sama Riki. Nadia tolong jaga Ayah.''
"Ada apa, Rik,kenapa kalian dari tadi diem aja. Apa terjadi sesuatu?'' tanya Risa penasaran setelah menghempaskan bokongnya di kursi ruang tamu.
"Mbak, aku keluar sekolah aja deh?'' Risa mengernyit mendengar penuturan, Riki tampak kerutan diwajah cantiknya diwajahnya. ''Aku mau nyari kerja biar bisa bantu keluarga.''
"Kamu ngomong apa sih, Ki? pokoknya Mbak nggak setuju kalo kamu sampe keluar sekolah, awas aja! Aku pecat jadi adek. Dengar, ya Mbak masih mampu buat bayar sekolah kalian. Mau jadi apa kamu nanti?''
"Tapi aku nggak tega liat Mbak banting tulang sendiri, belum lagi buat pengobatan Ayah yang butuh banyak biaya.''
"Sekali lagi kamu bilang keluar sekolah, Mbak nggak akan segan-segan pecat kamu jadi Adik dan jangan harap Mbak mau menemui kamu lagi!''
"Tapi Mbak.''
"Nggak ada tapi-tapian Riki!''
Riki pun tertunduk pasrah mendapat ancaman dari Risa.
"Kalian udah pada makan belum? ini Mbak bawain makanan. Ayo kita makan sama-sama.''
Saat Risa dan kedua adiknya tengah menyantap makan siang, seorang pria datang menghampiri. Orang itu bernama Alfin tetangga baru mereka yang sudah lumayan dekat dengan keluarga Risa dan Alfin pun sering membantu keluarga Risa saat butuh bantuan.
"Uhuk.'' Alfin yang menyembul didepan pintu, tubuhnya yang tinggi menjulang nyaris membuatnya terantuk pintu.
''Kemana aja Ris, baru nongol?'' sapa Alfin.
"Sini, Al kita makan bareng.''
"Suapin ya?''
"Ck, males.''
"Ada yang mau aku omongin, Ris. Aku tunggu didepan, ya? ucap Alfin berjalan menuju teras.
Setelah selesai makan Risa pun menyusul Alfin dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Al? Kenapa nggak ngomong di dalam aja,'' ujar Risa menarik salah satu kursi di sebelah Alfin.
"Gini ... di tempatku lagi ada lowongan buat bagian sekertaris, siapa tau kamu berminat?''
"Duh gimana ya? Aku pengen banget sih sebenernya, tapi aku dah dapet kerja kemaren.'' Risa menautkan kedua tangan, menatap Alfin yang sedang duduk disampingnya.
"Kerja apa emang?''
"Adalah pokoknya.'' Risa mengigit bawah bibirnya merasa gugup, karena tak ada yang tau jika Risa berkerja menjadi seorang pengasuh anak.
Risa melirik arloji dipergelangan tangannya. Matanya menyipit melihat Jam sudah menunjukan pukul 13.30 wib. Pertanda harus segera kembali ke rumah Reyhan.
"Maaf Al kayanya aku harus balik lagi deh ke tempat kerja.''
"Aku anter ya?'' gegas Alfin segera beranjak dari duduknya.
"Nggak usah Al, aku bisa kok naik ojol aja. Aku kedalam dulu ya, mau pamitan.''
Alfin masih setia menunggu di depan teras rumah Risa.
"Kok kamu masih disini?'' tanya Risa yang berdiri diambang pintu mengaitkan tas dipunggungnya.
"Kan tadi aku bilang mau nganterin,''ucap Alfin tak menyerah. Risa mendengus. Sekali lagi melirik jam dipergelangan tangannya.
"Yaudah deh, ayo dasar batu!'' Alfin terkekeh.
***
