Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 4

Setelah kejadian tempo hari, Risa lebih berhati-hati saat berhadapan dengan Reyhan sebisa mungkin menghindari atau hanya bicara seperlunya, takut emosi bila didekatnya. Tapi jika di depan Rafa, Risa akan bersikap senormal mungkin. Seolah semua baik-baik saja seperti pagi ini, baru akan memasuki kamar Rafa sudah ada Reyhan yang sedang berusaha membangunkan Rafa.

Sebenernya Reyhan Papa yang baik buat anaknya, tapi tidak dengan sikapnya yang sering ketus dan buruk sangka pada orang lain. Coba aja kelakuannya manis seperti ini, pasti akan memiliki nilai plus dimata Risa.

Reyhan duduk ditepi ranjang menatap wajah putra semata wayangnya, perlahan ia pun membangunkan dengan sedikit mengguncangkan tubuh mungil si kecil.

"Rafa, ayo bangun.''

Rafa menggeliat, mengerjap beberapa kali, dan mengucek-ngucek matanya yang sipit. Ia termasuk anak yang mudah dibangunkan bahkan hanya dengan beberapa kali kecupan saja mampu membuatnya terjaga dari tidur.

"Papah, Lapa masih ngantuk. Boleh nggak tidul lagi?'' rajuknya.

"Boleh, tapi besok ya kalo libur sekolah. Rafa boleh tidur sepuasnya, tapi kalo sekarang harus sekolah, 'kan? Sini papa gendong. Mau mandi sama Mbak Risa atau papa?'' Reyhan merentangkan kedua tangan bersiap menggendong Rafa menuju kamar mandi.

Risa memasuki kamar mandi dan kemudian menyiapkan kebutuhan Rafa seperti seragam, tas, sepatu, dan alat tulis untuk dibawa ke sekolah.

"Sama Mbak Lisa aja, deh, Pah. Kalo mandi sama Mbak Lisa bisa sambil main-main,'' ucap Rafa yang sudah berdiri di atas kasur sambil berlonjak-lonjak. Risa datang menghampiri Rafa berdiri di samping kasur.

"Siapa tadi yang mau mandi sama Mbak Lisa?'' ucapnya.

"Aku ....'' Rafa mengacungkan jari telunjuknya merengkuh leher Risa, tersenyum ceria memamerkan barisan gigi putihnya.

"Jadi ada yang nggak mau dimandiin lagi nih, sama, papahnya?'' Reyhan pura-pura ngambek dan memalingkan tubuh menggoda.

Rafa datang mendekat menengok ke kanan dan ke kiri. Seperti bimbang memilih dimandikan Risa atau Reyhan. Walaupun Rafa masih kecil perasaannya sangat peka dengan yang terjadi di sekitarnya.

"Ya udah Lapa mandi sama Papa aja.''

"Risa biar aku aja yang mandiin Rafa, kamu boleh mengerjakan pekerjaan yang lain.''

Wajah Rafa tertunduk menggelayut pada bahu Reyhan. Ayah satu anak itu pun merengkuh Rafa dan membawanya menuju kamar mandi. Sejak Risa mengasuh Rafa runtinitas memandikanya sudah jarang Reyhan lakukan dan kali ini sang ayah berinsiatif memandikannya sesekali.

Risa yang masih setia menunggu Reyhan yang memandikan Rafa, hanya duduk di tepian kasur.

"Biar saya aja, Pak, yang pakaikan seragamnya," pinta Risa saat melihat Reyhan dan Rafa keluar dari kamar mandi bersamaan. Reyhan pun menganggukan kepala, lalu meninggalkan kamar Rafa dan bersiap untuk ke kantornya.

"Saya tunggu di bawah,'' ucapnya sebelum keluar dari kamar Rafa.

.

Risa dan Rafa menuruni anak tangga. Melihatnya mengandeng tangan Rafa membuat Reyhan sedikit tertegun, seperti melihat Vania hadir di dalam raga Risa.

"Sini Rafa, sarapan dulu sama Nenek?'' Rafa berlari menghampiri sang nenek berdiri di sebelahnya. ''Risa, sini kamu makan bareng kita aja?''

"Saya makan di dapur aja, Nyonya,'' jawab Risa sopan.

"Mulai sekarang kamu jangan panggil nyonya lagi, lebih enak dipanggil Ibu sepertinya.''

"Tapi Nyony ....'' Ibu mendelik menatap Risa membuat ucapannya tergagap, sedangkan Reyhan dengan santainya melahap sarapan yang terhidang di meja.

"Sekarang kamu duduk, dan sarapan bareng kita. Nggak ada kata penolakan!"

Risa dan Rafa yang terlebih dulu menyelesaikan sarapan berjalan bersisian menuju garasi, mengambil motor yang biasa dipakai mengantar Rafa ke sekolah. Reyhan pun berjalan sedikit tergesa mengejarnya berniat untuk mengantarkan mereka ke sekolah.

"Hari ini kamu bareng sama saya aja ke sekolahnya,'' ucap duda beranak satu itu. Risa yang tengah memanaskan mesin motor pun terdiam sesaat, lalu mengangguk dan mematikan mesin motornya kembali.

"Hore asyik diantar Papa ke sekolah!'' Rafa berlonjak bahagia.

"Iya, dong, seneng nggak dianter Papa?''

"Seneng dong apalagi sama Mbak Lisa juga, jadi seperti dianter Mama dan Papa. Mbak Lisa, mau nggak jadi Mamanya Lafa?''

Risa dan Reyhan tertegun mendapat pertanyaan dari Rafa. Wajah Risa dan Reyhan mendadak kaku mendapat pertanyaan rendom dari Rafa.

"Omongan Rafa nggak usah dipikirkan, ia hanya asal bicara,'' ucap Reyhan mengurai kecanggungan."

Saat Risa dan Rafa akan membuka pintu belakang mobil, Rafa merengek minta duduk di depan di samping papahnya.

"Mbak Lisa, Lafa mau duduk di depan aja sama Papa.'' Reyhan menghela napas dan menyuruh Risa mengikuti kemauan Rafa.

***

Di Kantor

Reyhan tengah disibukan dengan proyek barunya terkait pengembangan teknologi baru yang akan didirikan di daerah Bandung. Pintu ruangannya diketuk oleh sekertarisnya yang bernama Dion.

"Masuk,'' ucap Reyhan yang masih fokus pada layar datar di depannya dengan mengenakan kacamata baca untuk mengurangi sinar radiasi dari paparan layar leptopnya.

"Ini Pak, saya mau ngasih tau. Bapak dapet undangan dari Pak Anwar,'' Dion menyodorkan selembar undangan di meja Reyhan.

"Apa saya harus datang?'' Reyhan menurunkan kacamata yang dipakainya, hingga hidung yang justru membuatnya kian menawan. Membuatnya terlihat berkharisma.

"Tentu Pak, ini sangat penting dan bisa makin mempererat kerjasama kita nantinya.'' Reyhan mendengkus.

Rasanya Reyhan terlalu malas pergi ke pesta Pak Anwar. Apalagi jika harus bertemu perempuan-perempuan yang agresif padanya bakin tak bersemangat jika hanya untuk sekedar basa-basi semata. Satu pemikiran melintas di kepalanya dan beranjak dari kursi, meraih kunci mobil yang ada di meja. Menuju sekolah Rafa untuk mengajak makan siang dah lama juga gak makan diluar, Rafa pasti senang pikirnya.

Mobil Reyhan berhenti tepat di halaman sekolah, ia melihat Risa yang sedang duduk di kantin sekolah, dan berniat menghampiri.

"Ngapain Pak Reyhan ke sini?'' tanya Risa penasaran.

"Nggak boleh? Saya mau jemput anak sendiri.''

"Saya cuma nanya, Pak, bukan melarang,'' sahut Risa sambil menyeruput minuman di depannya.

"Sudah makan?'' Lagi-lagi pertanyaan Reyhan membuat Risa nyaris tersedak, tak biasanya Reyhan perhatian seperti ini.

"Belum, Pak.''

"Bagus kalo gitu, nanti habis ini biar sekalian kita makan bareng Rafa di restoran.

Risa pun hanya diam mengaduk-aduk orange jus, tanpa berniat membalas ucapan bosnya. Tanpa diduga Reyhan menyambar gelas yang berisi orange jus miliknya meminumnya hingga tandas.

"Minuman saya, kenapa dihabiskan, Pak? Saya masih haus.'' Risa ngedumel dengan bibir mengerucut.

"Cuma minuman, kamu bisa pesan lagi? Saya haus. Bisa mati dehidrasi nanti.'' Risa mencebik mendengar jawaban Reyhan.

"Papa .... !'' teriak Rafa yang berlari berniat menghampir, tetapi justru terjatuh, lututnya mengeluarkan darah. Reyhan dan Risa berteriak panik dan langsung menghampiri.

Reyhan menggendong Rafa, membawanya menuju mobil. Rafa menangis karena lututnya terasa perih.

"Risa, tolong ambil kotak P3K di bagasi belakang.'' Risa bergegas mengambil kotak sesuai perintah Reyhan.

Risa dengan telaten membersihkan luka Rafa, pertama luka dibersihkan terlebih dulu menggunakan air mineral supaya tidak infeksi, kemudian memberikan cairan antisepetik, dan ditutup dengan menggunakan hansaplast.

Tangis Rafa belum juga mereda membuat Reyhan kelabakan. Risa berinisiatif menghibur dan memeluk Rafa.

"Sakit, ya?'' Rafa mengangguk dengan air mata yang masih berderai.

''Kemaren siapa yang mau jadi superhero?'' Rafa mengacungkan jarinya menatap manik mata Risa, masih sesenggukan.

"Jadi kalo mau jadi superhero itu harus kuat nggak boleh cengeng nggak boleh nangis. Rafa pernah nggak liat superhero mengeluarkan darah?'' Rafa menggeleng, Risa menghapus jejak air mati di wajah Rafa. ''Jadi super hero itu kalo berdarah nangis, nggak?" Rafa menggelengkan kepalanya lagi, tangisannya mulai terhenti. "Jadi superhero itu harus kuat biar musuhnya pada takut. Nanti kalau super heronya cengeng musuhnya gak takut dong.''

Reyhan tertegun dengan cara Risa menghadapi Rafa yang sangat lembut dan keibuan, jauh dari emage yang ia tampak saat ini. Reyhan pikir dulu Risa adalah cewek yang hanya hobby dandan dan lebih mementingkan penampilan, ada rasa bersalah menghinggapi karena telah berburuk sangka padanya. Tapi terlalu gengsi untuk mengakui, rencana makan siang di restoran pun akhirnya batalkan, dan memilih mengantarkan mereka pulang terlebih dahulu sebelum kembali ke kantor.

Susan yang melihat lutut Rafa terluka panik, membrondong Reyhan dengan berbagi pertanyaan.

"Rafa kenapa lututnya bisa luka gitu?'' Susan menatap penuh tanya, dan mengekori Reyhan yang tengah menggendong Rafa yang tertidur menuju kamar.

"Rafa jatuh tadi waktu menghampiri Reyhan tadi. Jangan berlebihan Bu, nanti takutnya Rafa jadi anak yang manja.''

"Kamu ini! Anak jatuh juga masih bisa bersikap santai kaya gitu, kalo Rafa kenapa-kenapa gimana? Dia cucu Ibu satu-satunya.'' Susan memukul bahu Reyhan gemas setelah membaringkan Rafa di ranjang.

"Udah diobati tadi, sama Risa. Itu cuma luka kecil, Bu, ''sahut Reyhan.

Susan duduk di tepi ranjang menemani Rafa yang masih terlelap.

''Makasih, ya, Ris, kamu udah tanggap menjaga Rafa. Kalo nggak ada kamu, Ibu nggak tau mesti gimana?'' ucap Susan tulus sambil menepuk bahu Risa pelan. Risa tersenyum simpul.

"Kalo gitu Saya permisi ke bawah dulu, Bu,'' ujar Risa berpamitan.

"Ris,'' ucap Reyhan saat Risa mau menutup pintu kamar Rafa yang tengah tertidur setelah banyak menangis, Risa menoleh saat Reyhan memanggil namanya.

''Enggak jadi.''

Risa pun pergi menuju dapur.

Reyhan menatap punggung Risa sebelum menghilang dan lupa akan tujuannya tadi untuk mengajaknya pergi ke pesta Pak Anwar. Susan geleng-geleng kepala melihat tingkah Reyhan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel