Bab 6 - Kitab Serat Alam Tunggal
Laras menatap wajah Gaga dengan penuh rasa cinta.
“Kamu juga tampan, suamiku.” Laras balas memuji suaminya dengan setulusnya.
“Bisakah kita mulai sekarang?” tanya Gaga.
Laras mengangguk karena dengan senyatanya ia merasakan bagian bawah dirinya telah basah. Sangat basah. Kelumpuhan kakinya telah membuat dirinya semakin sensitif terhadap sentuhan.
“Gaga ... diganjal dengan bantal ...,” bisik Laras.
Gaga tahu apa yang dimaksud Laras. Ia mengambil bantal dan ditempatkan di bawah Lara, tepat di bawah pinggulnya. Kemudian, Gaga membuka kaki Laras dengan lebar karena Laras tidak dapat melakukannya sendiri. Gaga tak tahan untuk tidak meneteskan air matanya melihat keadaan Laras.
“Mengapa menangis, Sayang?” tanya Laras tak mengerti.
“Aku ... aku tidak tega ....,” bisik Gaga masih berlutut di hadapan Laras.
“Lakukan saja, Suamiku. Aku ikhlas. Itu tidak ada pengaruhnya terhadap kedua kakiku,” kata Laras meyakinkan hati suaminya.
Melihat isterinya demikian tegar dan sangat menunggu dirinya. Mau tak mau Gaga pun melakukannya dengan sangat hati-hati. Bahkan, ketika semuanya telah menyatu sebagaimana mestinya, tak urung juga Laras menangis. Karena rasa sakit dan bahagia dalam dirinya.
..... ..... ..... ..... .....
Laras telah merasa dirinya telah lengkap menjadi isteri Galayuda. Ia telah menyerahkan satu-satunya miliknya yang paling berharga kepada suaminya, satu-satunya lelaki yang akan mengisi hatinya sepanjang hidupnya.
Bagi Galayuda, penyerahan Laras adalah pengorbanan terbesar gadis itu kepadanya sebagai tanda bukti cintanya. Gaga berjanji akan menjaga cinta itu dalam hatinya. Cinta itu akan dibuatnya menjadi sangat kuat agar dia dapat menyembuhkan kedua kaki Laras seperti sedia kala.
Hari itu, Gaga meminta izin kepada isterinya untuk pergi ke kota membeli kursi roda agar isterinya bisa dengan bebas bergerak di dalam rumah. Ternyata, Laras pun ingin pergi bersama sambil menikmati kebersamaan mereka. Meskipun daerah tempat tinggal mereka masih termasuk wilayah kabupaten Sukabumi yang beribukota di Pelabuhan Ratu, namun kota terdekat dengan tempat tinggal mereka adalah kota Sukabumi, maka tujuan mereka pun diarahkan ke kota Sukabumi yang menurut perhitungan mereka lebih lengkap daripada di kota Pelabuhan Ratu.
Laras tampak gembira dengan kursi roda yang dipilihnya sendiri. Sebuah kursi roda yang dapat digerakkan dengan listrik, juga dapat secara manual pula. Kini, dengan kursi roda itu pula Laras akan lebih banyak berbuat untuk melayani suaminya. Perjalanan ke kota Sukabumi itu juga dimanfaatkan Gaga untuk membeli perlengkapan bertani yang dibutuhkan, karena ia bermaksud akan memulai bertani untuk menjadi penunjang utama kehidupannya. Ia tidak ingin hasil penjualan rumah yang ada dalam rekening milik Laras habis dipakai oleh biaya hidup mereka seperti sebelumnya.
Di rumah, Laras tak henti-hentinya berjalan-jalan dengan kursi rodanya ke setiap ruangan di rumahnya yang baru.
“Ya Allah ... aku merasa seperti hidup lagi,” bisik Laras penuh kebahagiaan ketika ia mulai beristirahat pada malam hari. Meskipun memiliki kursi roda seperti itu, kegiatan ke kamar mandi belum dapat dilakukan dengan menggunakan kursi roda karena bentuk kamar mandinya yang tidak dapat dimasuki kursi roda.
“Besok-besok aku akan memperbaiki kamar mandi itu supaya kursi roda bisa dibawa masuk,” kata Gaga.
“Tapi, tetap saja aku tidak bisa pindah dari kursi itu,” bisik Lara,
Gaga baru tersadar. Diperlukan kursi roda khusus untuk dapat digunakan isterinya agar dapat melakukan aktivitas ke kamar mandi.
“Kalau begitu, aku masih punya kesempatan menggendongmu setiap pagi dan petang,” kata Gaga sambil mencium bibir isterinya sekilas.
“Nggak berat menggendongku terus?” tanya Laras.
“Kamu masih belum berat. Kecuali nanti kalau di dalam sini sudah ada baby milik kita,” jawab Gaga.
Laras tersenyum, tetapi kelihatan matanya mulai sayu tanda mengantuk.
“Kamu lelah jalan-jalan terus seharian. Sekarang kamu tidur dulu,” kata Gaga sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh isterinya.
“Iya, aku ngantuk banget. Maafin ya aku nggak bisa melayani kamu malam ini,” bisi Laras hampir tak terdengar.
“Sudahlah. Bobo saja yang nyenyak,” ujar Gaga sambil mencium bibir dan kening isterinya. Laras pun langsung lelap tertidur dengan damainya.
Setelah Laras tertidur, Gaga keluar dari kamarnya dan berjalan ke ruang belakang, mengambil air dingin yang telah dimasaknya sendiri. Gaga menuangkan air dingin yang ada dalam botol bekas sirup ke dalam gelas, kemudian membawa gelas air dingin itu ke ruang depan.
Sambil duduk di ruang depan, Gaga merenungi perjalanan hidupnya sejak dirawat oleh bapak dan emak di hari ia tengan menangisi makam ibunya. Ia hanya samar-samar saja dapat mengenang tempat di mana ia ditemukan oleh emak dan bapak dan kemudian diangkat menjadi anak di samping anak perempuan satu-satunya. Sejak itulah Gaga seperti melupakan masa lalunya yang terasa pahit.
“Ya Allah, ampunilah aku yang seperti melupakan ayah dan ibu kandungku. Engkau telah memberikan pengganti mereka pada keluarga yang sangat baik ini. Sungguh, aku sangat ingin menemukan kembali di mana sesungguhnya makam ayah dan ibuku.” Galayuda merasakan sedikit kepedihan yang menyayat dalam hatinya.
Tengah ia berpikir dalam kesendiriannya di ruang depan, sekilas Galayuda melihat selarik cahaya sangat cepat masuk ke dalam kamar depan. Galayuda mengerutkan keningnya melihat keanehan tersebut. Akan tetapi, tak urung juga ia merasa penasaran untuk masuk ke dalam kamar depan itu.
Perlahan Gaga membuka pintu kamar tersebut dan menggapai sakelar listrik untuk menyalakan lampu ruangan kamar. Setelah menyala, perlahan Gaga berjalan ke dalam dan mengamati semua yang ada di dalam kamar tersebut. Dimulai dari meja rias kecil, lemari kecil dan pendek untuk tempat pakaian, yang kini diisi dengan perlengkapan kamar seperti selimut, kain sprei, serta sarung bantal dan guling. Tidak ada yang aneh ia temukan di kamar ini. Akan tetapi, ketika Gaga akan kembali ke ruang depan, sudut matanya sekilas melihat benda asing tergeletak di atas tempat tidur.
“Eh, apa itu?” tayanya dengan suara perlahan.
Gaga menghampiri tempat tidur. Sebuah buku berukuran kecil seperti buku pelajaran sekolah, besampul biru tua lusuh dan agak tebal, tergeletak di atas pembaringan. Gaga mengambil buku itu dan membolak-baliknya.
“Buku siapa ini?” tanya Gaga. Seingatnya tidak ada orang lain yang memasuki kamar ini semenjak mereka pindah ke rumah ini. Bahkan, tadi siang Laras hanya sempat melihat-lihat saja isi kamar tersebut sebentar, lalu keluar lagi ditemani oleh dirinya.
Penasaran, Gaga membuka halaman pertama buku itu. Ia mengerutkan keningnya karena tulisan pada buku itu bukan hasil cetakan, melainkan hasil tulisan tangan. Yang sangat membuat Gaga berkerut adalah huruf yang digunakan dalam buku itu adalah huruf Arab, mungkin huruf Arab Melayu, dengan menggunakan bahasa Sunda, bahasa Kawi, dan bahasa Arab. Halaman pertama buku itu semacam perkenalan dari seseorang kepada pembaca buku tersebut.
Galayuda segera duduk di atas pembaringan dan mulai membaca halaman pertama buku tersebut.
“Kitab ini bernama Serat Alam Tunggal, karena berisi semua hal yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang dialami manusia pada masa kehidupannya di alam dunia. Alam yang paling pendek waktunya tetapi mengandung sangat banyak masalah yang menentukan kehidupan pada alam yang jauh lebih panjang. Kitab ini kutulis dan kuijazahkan kepada siapa pun yang dapat membaca isi kitab ini hingga selesai, tak peduli akan berapa lama isi kitab ini selesai dibacanya. Kemudian, sebagai timbal balik dari mempelajari isi kitab ini, kau harus mengamalkannya tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari perbuatan-perbuatan yang engkau lakukan. Akan tetapi, tidak haram bagimu untuk menerima upah dari apa yang telah kau perbuat dari orang yang telah engkau tolong ....”
Galayuda agak tertegun ketika menyadari bahwa dirinya ternyata sangat lancar membaca tulisan tersebut. Padahal, ia hanya belajar membaca dan memahami kitab-kitab bertuliskan huruf Arab Melayu itu selama ikut mengaji saja di surau, di kampungnya bersama anak-anak sebayanya. Itu pun tak bisa dilanjutkannya karena ia mulai sibuk dengan urusan sekolahnya ketika memasuki Akademi Ilmu Kesehatan yang mengharuskannya tinggal di dekat sekolah.
Galayuda menaikkan kedua kakinya ke atas pembaringan dan mulai membaca lagi halaman-halaman berikutnya tanpa mempedulikan apa pun yang ada di sekitarnya. Galayuda seperti tenggelam dalam bacaannya yang banyak di antaranya berisi pengetahuan tentang tanaman herbal yang aneh-aneh serta cara-cara pengobatan yang sangat unik.
Kantuk yang amat sangat serta lelah yang dirasakannya, mengantarkan Gaga ke alam mimpi yang agak aneh. Dia tiba-tiba merasa berada di sebuah kebun yang dipenuhi berbagai tanaman aneh tetapi sangat menyegarkan. Seorang lelaki tua tampak sedang menyiangi tanah di sekitar tanaman aneh tadi, dan membuang gulma-gulma yang tumbuh di sekitarnya.
"Gaga? Baru datang ya?" Orang tua itu menoleh ke arah Gaga dan menyapanya.
Gaga tersenyum masam. Ia sama sekali tidak mengenal orang tua itu. Orang tua yang seluruh rambut, alis, serta kumis dan jenggotnya berwarna putih, tetapi kulitnya tampak sangat segar seperti anak muda umur belasan tahun. Orang tua itu memegang congkrang, sebuah pacul kecil di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang sejumput gulma yang akan dibuangnya ke tempat khusus.
"Kau masih belum mengenalku, Gaga? O iya, ini mungkin pertemuan pertama kita, meskipun aku selalu mengikutimu sepanjang hidupmu. Sekarang aku harus tinggal di kebun ini melayani orang-orang yang membutuh obat-obat herbal. Biarpun hanya sedikit pahala yang kuperoleh, kujalani saja kehidupan di alam ini dengan ikhlas,” kata orang tua itu.
Galayuda berjalan mendekati orang tua itu dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Bukan ingin tahu tentang diri orang tua itu, melainkan ingin tahu tentang jenis tanaman apa saja yang sedang dibudidayakan oleh orang tua itu dan apa pula manfaatnya.
