Bab 7 - Kebahagiaan Laras di Mata Gaga
“Dengarkanlah, Galayuda. Aku akan mengajarimu berbagai ilmu tentang cara mengobati dan obat-obat yang seharusnya kau hapalkan dan kau yakini. Aku sangat menggantungkan harapanku kepadamu untuk dapat mewarisi ilmu-ilmu yang dititipkan kepadaku. Gunakanlah semua ilmuku itu pada jaman di mana kau hidup, dan jadilah orang yang tidak berpamrih ketika kau menolong seseorang,” ujar orang tua itu yang kemudian dengan telaten menjelaskan nama-nama tanaman yang sedang ditanamnya satu persatu dengan segala manfaat dan khasiatnya. Semua yang ada di sana, serta yang ada di dalam rumahnya, diperkenalkan kepada Galayuda serta disuruh mencium bau dan rasa setiap tanaman, akar tanaman, kulit, batang, daun, bunga, buah, serta semua yang ada dalam sebuah tanaman.
Menjelang Subuh, Galayuda terbangun dan merenung. Mimpi yang dialaminya benar-benar seperti nyata. Ia bahkan mengingat dengan jelas dan terang semua pelajaran yang diberikan orang tua itu kepadanya, sampai kepada hal-hal terkecil sekalipun.
“Siapakah dia? Mengapa aku tidak bertanya kepadanya tadi malam?” Galayuda seakan menyesali yang telah terjadi. Ia sama sekali tidak terpikirkan untuk menanyakan siapa lelaki tua itu. Padahal lelaki tua itu mengatakan bahwa abahnya telah berkali-kali memperkenalkan nama itu kepadanya. Ah, ia tiba-tiba ingat nama ayah kandungnya, Abah Mustajab, dan ibunya bernama Ambu Suminar.
“Astaghfirullah, aku ketiduran di sini.”
“Kaaang ...!” Suara panggilan dari Lara, isterinya menyadarkannya. Ia kemudian bergegas keluar dari kamar depan dan menemui isterinya yang sedang menggapa-gapai untuk bangun dan duduk. Dengan cepat Gaga membantu Laras bangun dari tidurnya dan mendudukkannya masih di tempat tidur.
“Dari mana?” tanya Laras.
“Ketiduran di kamar depan,” jawab Gaga sambil memberikan kecupan pagi kepada isterinya.
“Kenapa tidak tidur di sini?” tanya Laras lagi.
“Tadinya hanya mau menikmati minum air dingin, lalu sambil selonjoran di dalam kamar depan, eh tahunya malah ketiduran,” ujar Gaga tanpa menyebutkan bahwa dia tengah membaca sebuah kitab pengobatan yang sangat unik.
“Aku melihat kamu tidur sangat lelap. Rasanya kasihan kalau aku tidur di sini, takut mengganggu lelapnya tidurmu,” sambung Gaga.
Laras tak meneruskan pertanyaannya dan segera mengalungkan lengan kanannya ke leher suaminya yang kemudian membawanya ke kamar mandi. Adzan Subuh baru saja berkumandang sangat jauh dan lamat-lamat. Mungkin berasal dari mesjid yang berada di ujung kampung ini yang hanya memiliki sebuah speaker kecil yang dipasang di menara mesjid.
Selesai shalat Subuh, Galayuda mengajak isterinya berkeliling di halaman belakang rumahnya. Udara dingin yang masih bersih terasa menyegarkan mengisi paru-paru mereka. Samar-samar semburat fajar pagi telah muncul di Timur yang terhalang oleh sebuah bukit kecil yang masih dipenuhi oleh pepohonan lebat. Kampung Cikahuripan yang letaknya jauh terpencil dari perkotaan memang masih sangat asri, sesuai dengan nama desa yang mereka diami, yakni Desa Gunung Asri.
Setelah mengantar isterinya berkeliling halaman belakang menikmati hangatnya matahari pagi, Gaga membawa kembali masuk ke dalam rumah dan bercengkerama berdua di ruang tengah. Namun, sebentar kemudian, rasa kantuk kembali menyerang Laras dan meminta Gaga membawanya ke dalam kamar untuk membaringkannya.
Melihat isterinya tengah beristirahat, Gaga pun kembali ke dalam kamar depan untuk melanjutkan membaca kitab Serat Alam Tunggal yang ditemukannya semalam. Kitab itu masih tergeletak di atas tempat tidur dalam keadaan tertutup.
“Hmm, perasaan tadi kitab ini masih dalam keadaan terbuka, tapi mengapa sekarang menutup?” tanya Galayuda dalam hatinya.
“Ah, biarlah saja begitu. Aku hanya ingin membaca kitab ini sampai selesai,” kata Gaga pula sesaat kemudian.
Kitab itu kemudian diambilnya dan dibuka kembali pada halaman yang telah ia tinggalkan tadi malam. Namun, Gaga tampak terkejut ketika melihat tulisan-tulisan pada halaman-halaman kitab tersebut menjadi hilang pula. Lembaran demi lembaran dibuka oleh Galayuda, tak sedikit pun tulisan ditemukan berada dalam kitab itu.
“Masya Allah, mengapa tulisan-tulisannya semuanya hilang?” Gaga berdiri mematung memandangi kitab yang berada di dalam genggaman tangannya. Hatinya merasa kecewa karena ia sangat menyukai semua hal tertulis dalam kitab tersebut. Gaga kemudian terduduk di atas pembaringan dengan lunglai. Perlahan, ditutupnya kitab tersebut dan dipeluknya. Bagaimanapun juga ia pernah membaca sebagian dari isi kitab itu dan ia sangat ingat dengan yang dibacanya.
Gaga pun bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamarnya. Ia membawa kitab tersebut ke lemari tempat menyimpan pakaiannya di kamarnya. Perlahan sekali, Gaga membuka pintu lemari dan menyimpan kitab tersebut di tempat paling atas dengan hati-hati. Dia berjanji dalam hatinya akan membuat tempat khusus untuk menyimpan kitab itu agar tidak diganggu oleh orang lain, temasuk isterinya.
Setelah itu, ia kembali mendapatkan isterinya yang tengah tertidur pulas. Berjemur pagi hari dan dilanjutkan sarapan pagi, tampaknya membuat Laras menjadi mengantuk dan tertidur. Ia kemudian duduk di sisi pembaringan serta menatapi wajah isterinya. Laras memang sangat cantik. Mungkin paling cantik di antara semua gadis yang berada di seluruh kecamatan Leuwiliang waktu itu, sehingga banyak pemuda yang mengincarnya. Termasuk ketiga pemuda berandalan yang tak henti mengganggu Laras hingga ke kampusnya dan membuat Laras terganggu studinya.
Tiga nama pemuda yang akan sangat diingat oleh Gaga dan telah menghancurkan cita-cita Laras adalah Ezra Barata, Sandi Wijaya, dan Karman Mustafa. Tiga pemuda yang berasal dari keluarga kaya di kecamatan Leuwiliang dari tiga desa yang berbeda. Merekalah yang bertanggung jawab atas kelumpuhan Laras dengan mengunakan guna-guna santet untuk merusak kehidupan Laras. Mereka semuanya merasa sakit hati karena lamaran mereka ditolak oleh Laras dan kedua orang tuanya dengan alasan Laras masih sangat muda dan sedang melanjutkan kuliah. Usia Laras saat itu baru mencapai dua puluh tahun dan harus menderita demikian menyedihkan. Gaga sendiri saat itu baru kelas masuk kuliah di program D2 Ilmu Kesehatan swasta yang ada di pebatasan dengan kota Bogor.
Saat ini usia Laras memang masih muda untuk memasuki kehidupan yang sulit sekarang ini. Laras berusia dua puluh empat tahun, sedangkan Gaga baru akan mencapai dua puluh tahun satu pada dua bulan mendatang. Mereka benar-benar pasangan muda yang tengah diuji kesabaran dan ketabahannya dalam menjalani kehidupannya.
Laras tiba-tiba membuka matanya dan melihat suaminya sedang duduk menatapnya. Ia mengembangkan senyumannya sambil mengembangkan kedua belah tangannya.
“Kakang ... peluk aku,” bisik Laras dengan sikap manja.
“Tadinya aku mau ke ladang, mulai membuka lahan buat menanam benih kentang yang kubeli kemarin,” kata Gaga sambil berbaring memeluk Laras.
“Sudah terlalu siang. Besok saja mulainya. Hari ini aku sedang ingin sekali ....,” bisik Laras.
“Ini kan siang, Lara?” kata Gaga.
“Tidak apa-apa. Kita bebas melakukannya kapan saja ....,” ujar Laras sambil menciumi wajah suaminya.
“Memangnya sudah tidak sakit lagi?” tanya Gaga.
Laras menggeleng dengan wajah memerah. Ia meraih T-shirt yang dipakai suaminya dan melepaskannya. Juga celana training yang dipakainya. Tampaknya Laras memang sedang berada pada fase yang tinggi, karenanya Gaga pun segera membantu Laras melepaskan semua yang menempel pada tubuhnya dan membiarkan polos.
Gaga mengecup bibir manis isterinya dengan lembut yang dibalas dengan penuh perasaan oleh isterinya. Merasakan bahwa Laras sangat ingin melakukannya siang itu, Gaga pun memberikan perlakuan yang intens dengan memberikan sentuhan-sentuhan lembut ke seluruh bagian tubuh Laras.
Laras mendesah lirih memperoleh sentuhan-sentuhan seperti itu. Diam-diam ia bertanya dalam hatinya, dari mana Gaga memperoleh pengetahuan memanjakan wanita dengan cara seperti ini? Namun, Laras tak peduli, ia benar-benar sangat menikmati setiap sentuhan yang diberikan suaminya yang terus menuruni tubuhnya ke bagian bawah.
“Kakaaang ... ooohhhhhsssss ....,” desah Laras tak mampu menahan rintihannya karena rasa nikmat yang mengaliri syaraf-syaraf di tubuhnya. Detak jantung Laras sudah demikian keras dan kencang mengiringi gejolak perasaannya yang terus-menerus tumbuh dan berkembang memberikan sensasi-sensasi baru.
Gaga dengan intens mempermainkan kedua bukit kembar Laras yang pucuknya kian semakin mengeras. Laras sendiri hanya mampu meliuk-liukkan tubuh bagian atasnya saja, karena kedua kakinya sama sekali tidak dapat bergerak. Bahkan, tak dapat merasakan apa pun.
Tanpa diberi aba-aba apa pun, tangan Laras meraih sesuatu yang dua malam lalu telah membuatnya kesakitan. Ia menggenggamnya tanpa melihatnya.
“Kakang ... ini ... panjang sekali ...,” bisik Laras agak terkejut merasakan alat itu ternyata lebih dari perkiraannya.
“Kak Laras suka?” bisik Gaga.
“Suka banget .... tapi ... nggak akan sakit lagi, kan?” tanya Laras.
“Mau langsung sekarang?” tanya Gaga menanyakan kesiapan Laras.
Laras mengangguk. “Aku nggak tahan banget, Kang ....”
Gaga kemudian meraih sebuah bantal dan menyimpannya di bawah pinggul Laras. Isterinya tidak mampu mengangkat sendiri bagian bawahnya karena dari paha ke bawah tidak merasakan apa-apa. Dengan hati-hati, Gaga membuka kaki Laras lebar-lebar dan memposisikan dirinya tepat di tengahnya.
Meskipun masih terasa ketat, Gaga berhasil memasuki Laras dengan cukup mudah. Hanya dengan tiga kali hentakan, seluruhnya telah memasuki Laras yang membuat Laras memejamkan matanya sambil menengadah dan melenguh panjang.
“Mmmnghhhhhh .....”
Laras membuka matanya dan menatap Gaga.
“Kakang bisa sambil peluk aku?” pinta Laras seraya menarik kedua lengan suaminya agar mendekat dan menindihnya.
“Nggak berat?” Gaga khawatir Laras tak dapat menahan beban dirinya yang lebih besar dari tubuh isterinya itu.
“Nggak. Kakang tahan dengan sikut Kakang di kasur ....” Laras memberikan petunjuknya.
Gaga pun menindih isterinya dengan bertumpu pada kedua sikutnya sambil memeluk. Laras sendiri kemudian memeluk leher suaminya dan menggantungkan berat tubuhnya pada kekuatan suaminya.
Merasa nyaman dalam posisi demikian, Gaga pun mulai memberikan gerakan pertamanya perlahan, yang membuat Laras mulai merasakan desiran-desiran yang membuat seluruh syaraf di bagian itu terasa nyaman. Laras pun mulai memperdengatkan rintihannya dengan suara yang sangat merdu terdengar di telinga Gaga. Suara-suara yang membuat Gaga semakin bersemangat untuk melakukan gerakannya agak cepat dari tadi.
“Masih sakit ...?” bisik Gaga.
Laras menggelengkan kepalanya. “Ini ... enak sekali ... Kakaang ....”
Gaga menyadari bahwa ini adalah satu-satunya posisi paling nyaman yang dapat dinikmati oleh Laras. Maka, Gaga pun berusaha memaksimalkan posisi itu untuk membuat Laras nyaman dan menikmati hubungan itu dengan sepenuhnya.
