Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 - Kepindahan Gaga dan Laras

“Sebenarnya, harga yang dibayarkan pak Boyke tidak sebesar itu, Kang. Pak Boyke menyembunyikan jumlah sebenarnya dari jual beli rumah ini.” Laras akhirnya membuka perjanjiannya dengan pak Boyke demi menghindari keserakahan Yayat yang tampaknya sangat ingin menguasai harta peninggalan bapaknya.

“Pak Boyke menambah harga penjualan rumah ini dengan sebidang tanah di Desa Gunung Asri dengan sebuah rumah kecil yang menurutnya sangat cocok buat tempat tinggal kita berdua. Sawah emak yang ada di sini diganti dengan sebidang tanah lain yang lebih luas di sana, karena harga tanah di sana sangat murah. Kita dapat menanam sayuran atau palawija lain yang bisa kita jual ke kota. Pak Boyke juga memberikan mobil bak bekasnya untuk kita yang termasuk ke dalam harga penjualan tanah dan rumah ini. Bukan mobil baru, tetapi katanya masih sangat laik jalan. Beliau juga sudah mentransfer seluruh uang hasil penjualan, dan menyarankan kita agar segera meninggalkan desa ini karena beliau mencium gelagat mang Yayat yang akan meneror kita dan meminta tambahan jatah dari kita.”

“Jadi, bagaimana baiknya?” tanya Gaga.

“Kita bisa pindah besok. Kita bawa saja barang-barang yang bisa kita bawa. Kata pak Boyke, di sana juga sudah ada furnitur yang bisa dipakai. Ada dua tempat tidur di dua kamar. Kamar utama dan kamar lainnya. Kamar mandi di belakang seperti rumah kita ini. Perabotan dapur juga sudah lengkap, hanya tidak ada piring dan gelas serta sendok garpu. Itu semua bisa kita bawa dari sini. Yang besar-besar kita tinggalkan saja di sini. Ada meja kursi biasa dari kayu dan kebutuhan lainnya. Mungkin yang kita bawa tidak akan terlalu banyak,” kata Laras menjelaskan kondisi yang ada di tempat baru.

“Euh, itu mesin cuci sama kulkas peninggalan bapak dan emak?” tanya Gaga.

“Kalau perlu, dibawa saja. Di rumah sana juga kan ada listrik,” kata Laras.

“Sejak kapan kau menghubungi pak Boyke?” tanya Gaga.

“Sebenarnya sudah lama. Namun, sewaktu mang Yayat ke sini dan sudah memastikan kita akan menikah, aku secepatnya menelepon pak Boyke dan menceritakan semuanya. Beliau itu dulu murid bapak ketika di SD,” kata Laras.

“Sepertinya ... dia lebih banyak membantu daripada membeli,” kata Gaga.

“Aku juga berprasangka begitu. Namun, dia menunjukkan NJOP tanah di sini dan dibandingkan dengan di sana, baru aku mengerti.”

“Hhh, jadinya aku harus bekerja dulu ya?” kata Gaga.

Laras tersenyum dan memeluk suaminya.

“Sabar ya, Sayang. Nanti juga semuanya aku berikan buat kamu. Aku hanya akan menikah sekali seumur hidupku. Jadi, aku hanya akan memiliki satu suami yang mudah-mudahan sampai ke surga Allah nanti,” kata Laras.

“Aamiin ... terima kasih, Laras Sayang,” kata Gaga.

Malam itu juga Gaga membereskan semua pakaian yang mereka miliki. Pakaiannya sendiri dan pakaian Laras yang ia masukkan ke dalam satu kopor yang besar. Pakaian Gaga tidak banyak, begitu juga pakaian milik Laras.

Laras pun segera menghubungi pak Boyke karena mereka sudah memutuskan akan pindah besok pagi. Malam itu juga pak Boyke mengirimkan dua kendaraannya untuk mengangkut barang-barang milik pasangan baru itu. Salah satu di antaranya adalah mobil bak yang diberikan oleh pak Boyke untuk Laras. Ada beberapa barang besar yang terpaksa mereka bawa, yakni lemari es dan sepeda motor serta peralatan dapur, termasuk lemari makan.

Sehabis Subuh, dua mobil yang telah sarat dengan muatan perabot rumah tangga itu berjalan keluar dari desa Tanjungsari, kecamatan Leuwiliang, kabupaten Bogor. Mereka bergerak ke selatan dalam jarak yang lumayan sangat jauh memasuki daerah yang masih dipenuhi dengan hutan lebat dan ladang-ladang garapan.

Tepat pukul 14:20 siang, mereka tiba di sebuah perkampungan yang tak begitu banyak penduduknya. Kampung itu dinamai sebagai Kampung Gunung Asri dan juga Desa Gunung Asri yang berada di Kecamatan Cikahuripan, Kabupaten Sukabumi ke arah selatan. Begitu datang ke tempat itu, Laras langsung jatuh cinta akan situasi alam serta kesejukannya. Selain itu, seperti perkataan pak Boyke, rumah itu memang sudah lengkap dengan segala isinya, termasuk lemari pakaian yang terbuat dari bahan kayu yang kokoh meskipun bukan kayu jati. Rumah itu hanya berukuran 54 meter persegi saja, dengan luas tanah sebesar 200 meter kurang sedikit. Tepat di belakang rumah itu, pak Boyke telah menyiapkan tanah seluas 1200 meter persegi berupa tanah ladang yang dapat ditanami sayuran atau palawija lainnya. Agak jauh di belakang tanah milik Laras itu, adalah sebuah hutan milik pemerintah yang dikuasai oleh salah satu PTP. Sama seperti di Tanjungsari, hutan ini pun dijaga oleh seorang polisi kehutanan.

Saat itulah pak Boyke langsung menyerahkan sertifikat rumah dan tanah serta tanda kepemilikan kendaraan bermotor untuk mobil bak yang tadi dibawa oleh Galayuda. Listrik yang menerangi rumah itu juga cukup besar dayanya, sehingga lemari es yang dibawa dari Sukasari bisa dipergunakan.

Pukul lima sore, keadaan kembali sepi. Gaga menyimpan mobilnya di sebelah rumahnya karena belum ada garasi. Gaga, yang lulusan Program D2 Ilmu Kesehatan, berniat akan mengembangkan pengetahuannya dalam ilmu-ilmu pengobatan herbal dan akan berusaha mencari cara untuk menyembuhkan penyakit isterinya.

Ada tetangga dekat mereka yang menyambut kedatangan pasangan Galayuda dan Laras. Tetangga ini bernama pak Wira dan bu Asih. Keduanya sudah agak lanjut usia dan sudah tidak memiliki anak lagi yang diurus mereka. Tiga anaknya telah meninggalkan rumah orang tuanya dan hidup mandiri bersama isteri dan suami mereka.

“Anak saya ada tiga, Nak Gaga. Dua yang pertama perempuan sudah lebih dulu dibawa oleh suami mereka masing-masing, dan yang bungsu laki-laki bekerja di Jakarta, dan sudah berumah tangga dengan orang sana juga. Jadi, habislah sudah hasil rumah tangga kami selama puluhan tahun itu, tinggal kami sisanya berdua,” kata pak Wira sambil tertawa.

“Tinggal kembali ke masa lalu, Pak?” tanya Gaga.

“Kembali modal, Nak. Keuntungannya sudah pada dibawa orang,” kata Wira.

Mereka tertawa mengakrabkan diri. Kedua orang tua ini tampak merasa prihatin dengan kondisi Laras yang tidak bisa apa-apa. Kesehariannya sangat bergantung kepada Gaga.

“Kampung ini sebenarnya sangat luas, Nak Gaga. Hanya saja penduduknya sangat sedikit. Jadi, jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya berjauhan. Akibatnya, harga tanah di sini tidak pernah naik. Tanah ini juga dibeli pak Boyke karena pak Wahidin sudah tinggal sendiri setelah isterinya wafat, dia dibawa oleh anak mantunya ke Kalimantan karena khawatir tidak ada yang mengurus. Harganya juga menyesuaikan diri dengan keadaan di sini. Tidak bisa mahal,” ujar pak Wira.

Karena ini wilayah pegunungan yang sebagian besar tanahnya adalah milik negara, sehingga tidak banyak orang yang membuka lahan pertanian di sini. Selain bertani, masyarakat di kampung ini juga memelihara ternak kambing, domba, dan sapi. Setahun sekali warga kampung ini merasakan keuntungan besar dari ternak-ternak tersebut yang dijual sebagai hewan kurban.

Obrolan ringan dengan pak Wira telah menambah wawasan Gaga yang kini telah memiliki tanggung jawab sebagai seorang suami. Sehabis shalat Isya, Gaga memangku isterinya ke tempat tidur untuk beristirahat. Kebiasaan dirinya setelah memangku Laras ke tempat tidur, ia akan pergi ke kamarnya dan hanya memberikan kecupan ringan di kening Laras. Namun, kali ini Laras memegangi tangannya.

“Mau ke mana?” tanya Laras.

“Tidur ...,” kata Gaga.

“Di sini. Sekarang tidurnya harus di sini,” kata Laras merajuk.

Seketika Gaga tersadar bahwa kini Laras adalah isterinya. Jadi, ia tidak boleh meninggalkannya sendirian di kamarnya.

“Oh, maaf aku lupa. Kebiasaan kan seperti itu,” ujar Gaga sambil naik ke atas tempat tidur dan berbaring di sisi isterinya.

Laras meraih lengan Gaga dan memeluknya. Gaga mengerti apa yang diingini Laras. Ia menarik tubuh Laras untuk telungkup di sisinya dengan wajah terbaring di dadanya.

“Akhirnya ... aku bisa merebahkan wajahku di dada seorang lelaki,” bisik Laras.

Gaga menerawang jauh melalui tatapannya ke atas langit-langit kamarnya.

“Jika bapak dan emak tahu kita akhirnya harus menikah, apa yang akan dikatakan mereka?” kata Gaga setengah bertanya entah kepada siapa.

“Bapak dan emak pasti merestui kita. Kita tidak berbuat dosa apa pun. Aku juga murni sangat mencintaimu,” kata Laras tanpa ragu-ragu.

“Maafkan aku, dulu aku selalu menatap tubuhmu dan membayangkanmu dalam pikiranku,” bisik Gaga perlahan.

“Kamu suka melihat tubuhku?” tanya Laras.

Gaga mengangguk agak malu.

“Kamu boleh sepuasmu menatap dan menikmati tubuhku selama kau mau. Jika kamu suka, semoga menjadi nilai ibadah buatku,” kata Laras yang dilanjutkan dengan mengecup bibir Galayuda.

Gaga membalikkan tubuhnya dan sekarang menindih Laras.

“Aku ... takut membuatmu sakit,” kata Gaga.

“Aku tahu. Namun, itu kodrat yang harus dilalui perempuan. Lakukanlah, aku ikhlas,” kata Laras dengan tangannya membelai wajah suaminya.

“Tidak apa-apa?” Gaga ragu.

“Lakukanlah. Siapa tahu dengan cara seperti ini penyakitku bisa sembuh, dan aku akan mendampingimu sampai kita beranak cucu,” ujar Laras.

Gaga pun mendekatkan wajahnya ke wajah Laras dan memberikan ciuman yang panjang. Ciuman yang sangat dinikmati oleh Laras sebagai sebuah pernyataan cinta yang tulus dari suaminya, yang sebelumnya adalah adik angkatnya. Perlahan Laras mendahului Gaga melepas T-shirt yang dikenakan suaminya serta menampakkan dada bidang suaminya yang putih bersih. Laras juga meraih sarung yang dikenakan Gaga dan menanggalkannya.

Tak ingin kalah dengan isterinya, Gaga pun menanggalkan pakaian isterinya satu demi satu sampai pakaian terakhir yang dikenakannya. Gaga hanya bergerak berdasarkan nalurinya saja mengecup bagian-bagian sensitif dari tubuh Laras yang membuat Laras mendesis dan mendesah merasakan sentuhan yang baru pertama kali dirasakannya.

Tangan Gaga memang telah berkali-kali menyentuh permukaan kulitnya ketika lelaki itu memandikannya dengan telaten dan penuh kesabaran. Namun, saat itu belum ada rasa cinta yang tumbuh dalam hati Laras terhadap pemuda tersebut, selain rasa sayang terhadap adik. Namun, lambat laun perasaan itu kemudian tumbuh sejalan dengan pemikirannya tentang berbagai hal yang menghubungkan dirinya dengan Gaga.

“Kak Laras cantik sekali,” bisik Gaga tak sadar memanggil Laras dengan panggilannya semula.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel