Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 - Pernikahan Gaga dan Laras

Laras terdiam dan memejamkan matanya. Air matanya kembali mengalir dengan kesedihan yang sangat menusuk hatinya. Kondisinya yang seperti ini bukanlah keinginannya. Dirinya adalah gadis yang sehat lahir dan batin. Tidak pernah memiliki riwayat sakit persendian ataupun tulang. Bahkan, pemeriksaan yang dilakukan oleh sejumlah tim dokter di rumah sakit kenamaan di Bandung, menunjukkan bahwa pada dasarnya Laras tidak mengalami sakit apa-apa. Hasil pemeriksaan itu semakin mempertebal keyakinan Gaga bahwa Laras tidak mengalami sakit normal, tetapi terkena oleh guna-guna yang dikirimkan kepadanya oleh seseorang.

Kamu tidak akan menyesal menikahiku nanti?” tanya Laras malah kini dia yang tiba-tiba dihantui perasaan ragu. Bagaimanapun juga ia merasa bahwa dirinya sekarang memiliki terlalu banyak kekurangan. Laras memang cantik. Sangat cantik malah. Namun, kecantikan tersebut hampir tidak ada artinya dengan kondisi tubuhnya yang seperti sekarang ini. Jangankan melayani kebutuhan suami, mengurus dirinya sendiri saat ini sama sekali tidak bisa. Ia justru hanya mengandalkan kebaikan dan ketulusan Gaga.

“Tidak. Justru aku akan semakin dekat denganmu setelah itu,” ujar Gaga. “Akan tetapi, sepertinya aku harus membicarakan hal ini terlebih dulu dengan pak RT dan pak RW. Sekaligus aku harus menguruskan segala sesuatunya agar pada waktunya bisa berjalan dengan lancar. Eh, yang menjadi wali nikah siapa, Kak?” tanya Gaga kemudian.

“Inilah yang sedang kurencanakan, Gaga. Mang Yayat tidak akan pernah menyerah jika menginginkan sesuatu. Dia pasti akan terus-menerus mengganggu kita. Aku akan membiarkan separuh harta peninggalan bapak dia ambil asal dia menjadi wali nikahku denganmu,” kata Laras yang selalu merasa khawatir setiap kali ingat tentang pamannya yang satu ini. Kini, Laras akan mengambil kesempatan tesebut untuk bisa mengubah masa depannya bersama Gaga.

Gaga menatap Laras tak percaya. Ia sama sekali tidak menyangka jika Laras akan memikirkan keadaan mereka berdua sampai sejauh itu.

“Jadi, Kak Laras sudah memikirkan itu sejak tadi?” tanya Gaga.

“Tidak ada jalan lain agar kita tidak diganggu, Gaga. Setelah ini kita akan pindah ke tempat lain yang tidak boleh diketahui oleh mang Yayat. Kau masih ingat pak Boyke yang pernah menanyakan rumah kita ini? Beliau tentu akan mau membeli rumah kita ini dengan harga yang baik. Kita lakukan saja transaksinya bersama mang Yayat dan pak Boyke di sini. Aku khawatir mang Yayat bertindak licik kalau dia sendiri yang menjualnya.” Laras sudah mengantisipasi apa yang akan dilakukan oleh Yayat jika ia menyerahkan segalanya kepada pamannya. Pamannya akan berbuat licik dengan menggunakan berbagai dalih untuk mengurangi jumlah pembagian hak Laras.

..... ..... ..... .....

Dua minggu kemudian.

Yayat yang datang kembali menemui Laras tampak terkejut ketika di rumah Laras telah berkumpul beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Laras dan Gaga telah berdandan dengan pakaian yang sangat bagus seperti sepasang pengantin baru. Mereka duduk agak berjauhan. Laras duduk pada kursi yang tunggal sementara Gaga duduk di dekatnya menjaganya.

Dengan lancar, Laras memperkenalkan semua yang hadir di sana sebagai petugas-petugas berkompeten dalam masalah waris serta masalah zakat. Selain itu, Yayat juga diperkenalkan kepada dua orang petugas dari Kantor Urusan Agama yang telah siap melakukan pencatatan pernikahan.

Tanpa basa-basi, Laras mempersilakan petugas dari BAZNAS yang memahami masalah waris untuk menguraikan hukum waris berkenaan dengan posisi Laras dan Yayat saat ini. Yayat tidak dapat berkutik setelah dihadapkan kepada petugas berwenang.

“Akan tetapi, saya tidak akan bersikap masa bodoh terhadap kerabat sendiri. Saya bermaksud akan menjual semua peninggalan bapak ini sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Semua proses jual beli ini langsung ditangani oleh notaris agar memiliki kekuatan hukum,” kata Laras dengan gamblang yang ditanggapi dengan anggukan semua orang.

“Adapun pembeli yang telah sepakat melaksanakan jual beli ini adalah pak Boyke ini, yang telah tiga kali menemui saya semenjak meninggalnya bapak dan emak. Beliau bersedia membayar sesuai harga pasar dengan memperhitungkan luas tanah sebenarnya dan bangunan di atasnya. Perhitungan zakat atas jual beli ini akan ditetapkan langsung oleh pak RT sebagai petugas dari BAZNAS, ditambah 5 persen dari sisanya sebagai infak kami. Barulah sisa dari semua itu akan dihitung sesuai dengan hukum waris yang berlaku. Jika ada sisa perhitungan dari hak saya, maka akan saya hibahkan kepada Mang Yayat dengan catatan beliau harus menjadi wali nikah saya dengan Gaga. Keputusan ini saya ambil karena selama ini yang telah mengurus saya adalah Gaga. Akan lebih baik dan menghilangkan dosa kami, jika kami terikat oleh pernikahan yang sah, sehingga apa yang kelak dilakukan oleh suami saya akan memiliki nilai pahala baginya dan bagi saya pula,” kata Laras panjang lebar.

Tampak wajah Yayat menjadi merah. Ia ingin marah tetapi tidak bisa. Padahal dia telah mengupah dua orang preman untuk menakut-nakuti Laras agar memberikan sertifikat rumah itu untuk dia tawarkan kepada orang lain agar dia memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.

Kini, apa yang dilakukan Yayat tidak ada yang lain selain mengikuti yang telah digariskan oleh tokoh-tokoh masyarakat di sana. Ia pun menerima persyaratan yang diajukan oleh keponakannya dan menjadi wali nikahnya. Sesuai dengan perjanjian, Yayat menerima sebesar 40% dari total penjualan tanah dan rumah tersebut sebagai hibah yang diberikan oleh Laras. Tampak sekali wajah Yayat menunjukkan kekecewaannya dengan pemberian tersebut, meskipun sebenarnya jumlah itu bernilai jauh lebih besar dari seratus juta rupiah. Semula, menurut perhitungan Yayat, dia akan memperoleh hasil lebih dari dua ratus juta rupiah, dan Laras cukup diberi seratus juta saja untuk membeli rumah kecil sebagai gantinya di daerah lain.

Acara akad nikah selesai sudah, juga masalah pembagian waris dan jual beli juga telah selesai. Yayat pulang dengan perasaan dongkol dan akan tetap menuntut Laras agar menambah bagiannya sesuai dengan perhitungannya semula.

Sejak para tamu bubar, Laras tak hentinya memeluk Gaga dan merasakan kebahagiaan yang tidak terlukiskan. Meskipun usia mereka terpaut tiga tahun dan Laras lebih tua daripada Gaga, perbedaan tersebut sebenarnya sangat tidak tampak. Selain bagian paha dan betis Laras yang mengalami penyusutan, hal-hal lainnya dari Laras sama sekali tidak terlalu berubah selain sedikit menjadi kurus.

“Kita akan pindah dari sini, Kakang Gaga ...,” bisik Laras.

“Jangan panggil kakang, Kak. Rasanya kok jadi geli ...,” kata Gaga yang merasa rikuh mendengar perbahan panggilan Laras kepadanya.

“Kan sekarang sudah menjadi suamiku. Seharusnya aku memanggilmu Kang Gaga, bukan hanya nama. Nanti aku berdosa memanggil suami tanpa sebutan apa-apa buat menghormatinya,” kata Laras.

“Tapi, kita kan sudah lama memanggil seperti dulu. Aku memanggil Kakak dan Kakak memanggilku nama saja. Sepertinya aneh juga kalau harus tiba-tiba berubah,” kata Gaga.

“Kang Gaga jangan lagi memanggilku lagi dengan sebutan Kakak. Panggil saja aku Laras ... atau panggil Sayang juga boleh ...,” ujar Laras sambil tersenyum.

“Aduh, kok jadi ribet, ya ....” Gaga mencubit ujung hidung Laras dengan gemas.

“Kang Gaga sekarang boleh menciumku,” bisik Laras sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Gaga.

“Kan biasanya kalau mau tidur juga suka kucium,” kata Gaga.

“Bukan di kening ... di bibir ...,” kata Laras malu-malu.

Gaga menatap wajah isterinya yang menunduk malu.

“Boleh?” tanya Gaga ingin memastikan.

Laras mengangguk tanpa suara.

Gaga mengangkat dagu Laras dengan telunjuknya. Laras menengadah, tetapi matanya terpejam. Dengan jantung berdebur hebat, Gaga mendekatkan wajahnya ke wajah Laras. Kemudian, dengan lembut Gaga menyentuh bibir Laras dengan bibirnya dengan sedikit kecupan kecil.

Laras agak tersentak ketika menerima sentuhan bibir itu. Ini adalah pertama kalinya bibirnya disentuh oleh bibir lelaki. Beruntungnya, sentuhan ini bukan sentuhan yang dapat menimbulkan dosa, melainkan sentuhan yang disertai rasa cinta yang tiba-tiba tumbuh menyeruak di dalam dadanya. Laras membuka sedikit bibirnya dan kini ia yang menyentuhkan bibirnya ke bibir Gaga.

Gaga, dengan gerakan kaku, memberikan balasan kecupannya untuk isterinya. Nafas Laras menjadi hangat dan semakin hangat dengan jantung berdebur keras. Nafas itu perlahan menjadi agak cepat, lalu tertahan ketika kedua bibir mereka saling bertautan satu sama lain dalam waktu yang cukup lama.

“Mmmmngffffhhhhhh ....,” lenguh Laras tanpa sadar.

Mereka saling melepaskan pertautan mereka dengan nafas tersengal-sengal seperti habis lari jarak jauh. Laras tak mampu membalas tatapan suaminya. Ia menjatuhkan wajahnya di dada Gaga.

“Kang Gaga mau sekarang?” tanya Laras setengah berbisik.

Gaga mengangkat wajah isterinya dan menatap manik matanya. Laras kembali menyusupkan wajahnya di dada Gaga dengan wajah memerah dan senyuman mengembang.

“Kalau tidak sekarang tidak apa-apa, kan?” tanya Gaga.

“Aku sih gimana Kang Gaga saja. Tapi, aku harus mandi dulu sebelum shalat Dhuhur ini,” bisik Laras dengan wajah memerah.

“Kenapa harus mandi lagi?” tanya Gaga seperti orang bloon.

Laras mencubit perut Gaga. “Ayo bawa aku ke kamar mandi,” pinta Laras dengan manja.

Dengan wajah masih kebingungan, Gaga mengangkat tubuh isterinya ke kamar mandi dan melucuti semua pakaiannya. Setelah Gaga melihat pakaian terakhir yang dilepasnya dari tubuh isterinya, barulah Gaga mengerti mengapa isterinya harus mandi dulu sebelum shalat Dhuhur. Tanpa sadar, Gaga kembali mencium bibir Laras yang tak siap, sehingga Laras gelagapan dan memeluk Gaga.

Mereka berdua tertawa bahagia setelah saling memahami satu sama lain. Selesai mandi, mereka kembali dan langsung masuk ke kamar untuk melaksanakan shalat Dhuhur yang cukup terlambat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel