Bab 3 - Mang Yayat Mengingatkan Hak Waris
Mereka mengobrol ke sana ke mari sekedar menghangatkan hubungan persaudaraan mereka. Sampai akhirnya Yayat mengemukakan maksud kedatangannya.
“Sebenarnya, kedatangan Mamang ke sini itu ada kaitannya dengan permasalahan waris sejak meninggalnya bapak dan emakmu. Yang Mamang bicarakan adalah hanya peninggalan bapakmu, sedangkan peninggalan emakmu telah menjadi hakmu. Kita harus berpijak pada aturan yang benar mengenai hukum waris ini. Bapakmu tidak memiliki anak laki-laki dan hanya mempunyai satu-satunya adik lelaki, yaitu Mamang sendiri. Berdasarkan hukum waris, harta peninggalan bapakmu itu sebagian menjadi hak Mamang, sedangkan bagianmu separuh dari seluruh kekayaan bapakmu.” Yayat mencoba menjelaskan hukum waris menurut pemikirannya sendiri.
Laras sudah menduga hal ini sejak lelaki patuh baya ini datang tadi. Yayat pasti akan menuntut hak waris baginya dari peninggalan bapaknya.
“Mang Yayat, pada dasarnya aku tidak berkeberatan apa pun kalau memang hal itu bersumber dari tuntunan agama yang benar. Namun, alangkah baiknya jika pembagian waris ini juga disaksikan oleh ahli hukum agama yang fatwanya dapat kita terima,” kata Laras.
“Ah, tidak usah, Laras. Akan ribet jika harus melibatkan orang lain, karena pasti kita akan dipotong biaya administrasi dan sebagainya. Kita bagi saja di antara kita sesuai kesepakatan kita berdua, karena hukumnya sudah jelas. Aku dan kamu masing-masing memperoleh separuh kekayaan peninggalan bapakmu,” kata Yayat ngotot.
“Begini saja, Mang. Pak RT di sini kebetulan beliau bekerja di BAZNAS kabupaten, sebaiknya kita meminta saran beliau. Selain itu, setelah pembagian waris itu, aku dan Gaga dan harus keluar dari rumah ini dan pergi dari kampung ini karena kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi di sini,” kata Laras dengan suara getir.
“Tidak perlu, Laras. Kita hitung saja berapa luas tanah milik bapakmu serta bangunan rumah ini. Kemudian kita taksir harganya. Kemudian kita jual dan hasilnya dibagi dua. Itu lebih cepat dan praktis,” ujar Yayat tetap pada pendiriannya.
“Tidak, Mang. Aku akan berkonsultasi dulu dengan pak RT karena beliau sangat memahami hukum waris menurut ajaran agama. Jika pendapat beliau sama dengan pendapat Mamang, maka dengan sukarela aku akan membagi dua peninggalan bapak dengan Mamang.”
Yayat terdiam. Ia merasa tidak akan berhasil membujuk keponakannya dengan cara apa pun.
“Baiklah, silakan kamu berkonsultasi dengan ahli hukum agama. Besok atau lusa, Mamang akan datang lagi ke sini memastikan hasilnya,” kata Yayat yang langsung pamit meninggalkan keponakannya.
Laras terdiam dengan wajah mengeras. Gaga mengerti jika wajah Laras seperti itu pasti sedang menahan kemarahannya. Ia segera menghampiri Laras dan memegang pundaknya.
Laras dengan serta-merta menubruk Gaga dan menangis dalam dada adiknya dengan sesenggukan.
“Aku sudah mengira hal ini bakal terjadi, Gaga. Dia jahat sekali sama uang. Berapa pun uang yang diberikan bapak selalu habis dipakai berjudi,” kata Laras di antara tangisnya.
“Tenanglah, Kak. Kita harus mencari jalan agar tidak selalu diganggu olehnya. Aku juga tahu perihal Mang Yayat itu dari emak. Sekarang dia berpura-pura menuntut hak waris, besok entah apa lagi. Padahal aku tahu kalau posisi seperti Kakak ini, hak waris menjadi milik Kakak sepenuhnya. Memang benar Kakak dapat setengah dari harta bapak, tetapi sisa dari pembagian itu tidak diberikan ke mang Yayat, tetapi dikembalikan kepada Kakak. Namun, tetap harus ada acara pembagian waris yang disaksikan oleh ahli yang ditunjuk pemerintah. Itu yang aku tahu,” kata Gaga.
“Kalau saja mang Yayat memaksaku untuk memberikan setengah harta peninggalan bapak, apakah kamu rela?” tanya Laras.
“Selama bukan menyakitimu, aku tidak peduli, Kak. Aku hanya peduli pada keselamatan Kak Laras ...,” ujar Gaga sejujurnya tanpa ada tujuan apa pun.
Laras terpana mendengar pengakuan Gaga seperti itu. Ia kemudian memeluk Gaga lebih erat.
“Gaga, sewaktu kamu mengurusku sampai harus melakukan semuanya, apakah kamu jijik?” tanya Laras.
“Tidak, Kak. Mana boleh aku merasa jijik sama kakak sendiri,” kata Gaga.
“Kita bukan saudara kandung, Gaga. Kamu harus memandikanku, menceboki aku, memakaikan baju, dan semuanya. Apakah kamu ...?” Laras tidak lanjut bertanyanya.
Gaga paham apa yang dimaksud oleh kakaknya itu.
“Kak Laras, aku ini laki-laki normal. Setiap hari aku harus melihat dan memandikan tubuh Kakak yang telanjang bulat di depanku, aku pasti memiliki perasaan tertentu. Namun, aku harus menekan itu karena Kak Laras adalah kakakku. Aku harus berbuat seperti itu karena aku mencintai Kak Laras,” kata Gaga.
“Kamu mencintaiku, Gaga?”
“Tentu saja. Aku mencintai Kak Laras sebagaimana harusnya aku mencintai kakakku sendiri,” ujar Gaga.
Laras mencubit kulit perut Gaga tidak terlalu keras tetapi cukup membuat Gaga berteriak.
“Bukan itu maksudku, Gaga. Kamu nggak peka sih ...?” kata Laras.
“A ..aapa .. maksud ... Kakak ...?” tanya Galayuda tergagap.
“Gaga. Selama berbulan-bulan kamu mengurusku setiap hari, pagi siang dan malam. Apakah kamu tidak tahu bagaimana perasaanku ketika setiap kali harus bertelanjang bulat di hadapanmu ketika dimandikan dan memakai baju. Bagaimana perasaanku ketika bagian-bagian penting punyaku kamu pegangi dan kamu raba setiap pagi ketika menceboki aku. Aku sangat malu, Gaga. Sangat malu. Selama ini hanya emak yang mengetahui bagaimana keadaan aku meskipun tidak utuh. Tapi, kamu telah melakukan segalanya buatku. Padahal ,,, aku telah bersumpah hanya akan memperlihatkan semua tubuhku hanya kepada suamiku kelak ...,” kata Laras dengan suara agak parau.
"Terus ... harusnya bagaimana?" tanya Gaga bingung.
"Nikahi aku, Gaga. Mau nggak?" tanya Laras mau tak mau harus mengatakan hal ini kepada Gaga.
Gaga tentu saja terkejut. Ia menatap Laras tak percaya.
Melihat Gaga menatapnya dengan pandangan yang aneh, Laras menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
"Pasti kamu nggak mau karena aku lumpuh, tidak bisa melayani suami, badanku juga makin jelek .....," ujar Laras dengan sedih dan menundukkan wajahnya. Air matanya kembali meloncat dari pelupuk matanya.
"Aku hanya tak ingin kita berdosa karena memperlihatkan aurat. Selama ini aku merasa takut kalau kamu jijik dan hanya terpaksa mengurusku karena ingin membalas budi kepada bapak dan emak," kata Laras tak mampu lagi menahan tangisnya.
Kondisi sakit seperti ini memang membuat Laras menjadi sangat sensitif. Ia selalu ingin menyakiti dirinya ketika Laras tiba pada kondisi insecure akibat penyakit yang dideritanya. Ia merasa menjadi beban bagi Gaga yang sebenarnya bukan merupakan siapa-siapa baginya. Ia bahkan telah menghambat kemajuan pemuda yang baru masuk masa dewasa itu dengan harus mengurusnya yang sakit dan tidak berdaya. Ia merasa berdosa kepada Galayuda.
Galayuda kemudian turun dari tempat duduknya dan berlutut di hadapan kakaknya dengan sungguh-sungguh. Ia menatap langsung ke dalam bola mata gadis cantik yang lumpuh itu.
“Kak Laras. Aku sudah menjadi bagian dari keluarga ini sejak Bapak dan Emak dulu membawaku ke rumah ini dan merawat serta mendidikku dengan sangat baik. Maka, jika saat ini aku melayani dan mengurus Kakak, jangan pernah itu dianggap sebagai balas budiku kepada bapak dan emak. Itu adalah murni tanggung jawabku sebagai lelaki satu-satunya di dalam keluarga ini. Aku ikhlas melakukannya, Kak. Sangat ikhlas,” kata Gaga sambil menggenggam kedua telapak tangan Laras yang terasa dingin.
“Berarti ... kamu tidak mau menikahiku ...,” kata Laras dengan suara perlahan dan berat. Dadanya sesak. Sebagai orang yang memperoleh pendidikan yang baik dalam keluarganya, Laras tahu batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
“Apakah ... itu satu-satunya cara supaya aku bisa merawat dan mengurus Teteh?” tanya Gaga.
“Iya, Gaga. Kita telah telalu lama menumpuk dosa karena setiap hari aku membiarkan tubuhku harus dilihat olehmu yang sama sekali bukan muhrimku. Supaya dapat menghindari dosa itu, aku hanya berpikir kalau kau menikahiku supaya tidak ada lagi batal haram antara kita berdua. Aku berpikir begini karena tidak mungkin ada lelaki lain yang akan mau menikahiku dan mengurusku yang seperti ini. Jika kita terikat pernikahan, apa yang kau lakukan terhadapku akan menjadi pahala kebaikan bagimu,” kata Laras yang kini berbalik meremas telapak tangan Gaga yang hangat.
“Kalau begitu, aku akan menikahi Kakak. Mengurus dan merawatmu sepanjang Kakak mengijinkan aku.” Gaga akhirnya memahami apa yang dikehendaki oleh kakaknya itu. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri akan melindungi keluarga ini yang telah merawat dan membesarkannya justru di masa-masa kritis dalam kehidupannya dulu.
Gaga masuk ke dalam lingkungan keluarga Farid ketika anak itu masih berusia sangat belia dan baru akan masuk SD. Saat itu Laras sudah duduk di kelas tiga SD. Gaga ditemukan Farid tengah menangisi sebuah makam yang masih basah menjelang malam dan dalam keadaan hujan gerimis. Kedua orang tua Laras kemudian membawa anak itu dan mengangkatnya anak setelah yakin bahwa Gaga sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Bahkan, rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka pun sangat tidak layak disebut sebagai rumah. Gaga dan ibunya menempati sebuah bangunan kecil bekas kandang domba milik salah seorang warga di kampungnya. Yang sedang ditangisi Gaga di pekuburan malam itu adalah makam ibunya yang baru meninggal pagi harinya. Warga kemudian mengurus jenazahnya dan memakamkannya di pemakaman umum di lingkungan RW-nya.
Laras kemudian menarik tangan Gaga agar duduk di sampingnya kembali. Ia kemudian memeluk Gaga seakan meminta perlndungan.
“Seandainya kau berniat menikahi seorang wanita lain yang bisa kau bawa pergi ke luar, menemanimu dalam pergaulan, aku tidak berkeberatan selama ia tidak tinggal di rumah kita,” ujar Laras.
Gaga terdiam. Ia tidak tahu harus berbicara apa tentang masalah ini. Ia sama sekali tidak pernah memikirkan apa pun sebelumnya selain mengurus kakak angkatnya yang sangat bergantung kepadanya. Tidak ada yang lain. Apa lagi berpikir tentang pernikahan.
