Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 - Kedatangan Mang Yayat

Kedua kakak beradik angkat itu kemudian menikmati pisang rebus hangat dengan segelas teh hangat pula. Gaga selalu berusaha menghibur kakaknya agar tidak terlalu bersedih meratapi nasibnya.

"Besok pagi ke pasar, Gaga?" Laras kembali membuka obrolannya.

"Iya, Kak. Sehabis Subuh langsung saja ke pasar. Kebetulan kemarin dapat jamur kuping banyak sekali, mungkin ada lima kilo. Mang Dudung suka membelinya dengan harga bagus. Kita bisa membeli beras dan lauk-pauk yang lebih baik. Kata orang, Kakak harus banyak mengonsumsi makanan mengandung kalsium dan vitamin D. Itu sangat bagus buat menjaga kesehatan tulang."

"Jangan terlalu memikirkanku, Gaga. Pikirkan juga diri kamu sendiri. Kamu sudah terlalu banyak mengorbankan diri buat mengurusiku. Mulailah melamar pekerjaan dan hidup seperti pemuda-pemuda lainnya."

"Ah, biar saja itu nanti sambil berjalan. Aku hanya ingin Kak Laras sembuh lagi seperti semula, terus kuliah lagi melanjutkan yang dulu," ujar Gaga.

"Dari mana biayanya, Ga. Uang kuliahku itu mahal. Keadaan kita sekarang tidak seperti dulu sewaktu ada Bapak dan Emak."

"Makanya, aku sudah banyak berhutang budi kepada Bapak dan Emak. Tanpa mereka berdua, aku sekarang hanya akan menjadi gelandangan. Maka, biarkanlah aku mengurus Kakak sampai bisa sembuh, melanjutkan kuliah, lalu menikah. Setelah itu, aku bisa mengurus diriku sendiri," kata Galayuda dengan penuh tekad.

"Kamu ini bicara apa, Gaga? Kamu itu tetap adikku. Jangan pernah kamu menganggapku orang lain," kata Laras mengingatkan adiknya dengan tegas. Namun, tak urung juga gadis itu berkaca-kaca matanya.

"Aku harus tahu diri, Kak. Kebaikan Bapak sama Emak begitu banyak. Mereka keburu pergi meninggalkan kita, padahal aku sama sekali belum berbuat apa-apa buat membalas kebaikan mereka," ujar Gaga dengan sedihnya. Pemuda itu menahan diri agar tidak sampai meneteskan air matanya.

"Jangan bikin sedih, Gaga. Aku tidak akan bisa apa-apa tanpa kamu. Aku ini kakakmu, Gaga. Bukan orang lain. Maka, Bapak dan Emak itu orang tuamu juga." Laras menggapai ke arah Gaga agar duduk di sampingnya. Gaga pun memenuhi keinginan kakaknya dan duduk di sisi gadis itu.

Laras memeluk Gaga dan membenamkan wajahnya di dada adiknya. Ia ingin menangis karena ucapan Gaga seperti tadi.

"Jangan pernah berkata seperti itu lagi, Gaga. Aku tidak punya lagi siapa-siapa selain kamu. Aku sangat menggantungkan hidupku sama kamu. Satu-satunya orang yang dekat denganku. Jangan biarkan aku ketakutan akan ditinggal sama kamu, Gaga," tangis Laras sesenggukan di dalam pelukan Gaga.

"Maafkan aku, Kak. Aku sama sekali tidak akan pernah meninggalkan Kakak. Aku sudah menempatkan Kakak dalam hatiku sebagai orang yang harus kulindungi seumur hidupku," ujar Gaga balik memeluk Laras dengan erat.

Laras merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa nyaman dalam pelukan adiknya, yang sebenarnya adalah adik angkatnya. Adik yang selama ini tidak merasa jijik mengurus dirinya dengan sabar dan telaten.

"Kak Laras sekarang tidur. Aku besok subuh mau berangkat ke pasar."

"Iya, Gaga. Tolong bawa aku ke kamar," pinta Laras.

Tanpa ragu, Gaga memangku tubuh kakaknya yang kian kurus karena terlalu banyak memikirkan dirinya sendiri yang tak berdaya. Tubuh yang dulu sintal dan banyak menarik perhatian lelaki itu kini tampak seperti rapuh tak berdaya. Meskipun kecantikan Laras sama sekali tidak pudar, tetapi kondisi tubuhnya kian merosot.

Dengan hati-hati Gaga membaringkan kakaknya di tempat tidurnya. Meluruskan kedua belah kakinya, lalu menyelimutinya.

"Tidurlah yang nyenyak, Kak. Aku mau langsung berangkat habis Subuh ke pasar. Mungkin baru agak siang pulang ke rumah karena harus belanja dulu sedikit," kata Gaga.

"Iya, Gaga. Hati-hati dalam perjalanan," ucap Laras.

"Iya, Kak. Sekarang mau pasang dulu sengklak di motor, supaya nanti Subuh langsung berangkat."

Laras tersenyum manis. Ia menarik tangan Gaga dan mencium telapak tangan adiknya sebagai ucapan terima kasihnya. Galayuda tersenyum. Ia membungkuk dan mengecup kening kakaknya. Setelah itu, ia segera keluar untuk menata hasil hutan yang diperolehnya sepanjang hari tadi.

Gaga memasang sengklak, semacam kantung dari bahan terpal, pada sepeda motornya. Satu-satunya kendaraan yang ditinggalkan ayah angkatnya yang ia pelihara dengan sangat baik. Kemudian, satu demi satu barang yang akan ia jual dimasukkan ke dalam kantungnya dan disusun dengan rapi dan aman. Sepeda motor Gaga penuh dengan barang dagangan yang akan dibawanya esok pagi ke pasar.

..... ..... .....

Gaga pulang agak siang, sekitar pukul delapan pagi baru sampai di rumah. Begitu datang, Gaga langsung menuju kamar Laras untuk mengecek keadaan kakak angkatnya. Ia membuka pintu kamar Laras dan masuk dengan perlahan takut Laras masih tertidur. Namun, ternyata Laras telah membuka matanya dan tersenyum ke arah Gaga.

“Baru datang, Gaga?” sapa Laras dengan tersenyum manis.

“Iya, Kak. Mau ke kamar mandi, ya? Ayo, sini aku pangku,” kata Gaga sambil membuka selimut yang dipakai kakaknya. Laras segera memeluk pundak Gaga ketika adiknya itu memangkunya dan membawanya ke kamar mandi. Entah mengapa, ada rasa bahagia dalam hati Laras setiap kali Gaga memangkunya berpindah tempat.

Gaga dengan ringannya memangku tubuh kakaknya ke kamar mandi dan mendudukkannya di atas kursi plastik yang sudah dibuat sedemikian rupa dan diletakkan di atas kloset. Dengan susah payah, Laras melepas celana dalamnya untuk membuang hajat pagi itu. Sementara itu, Gaga mengisi ember plastik dengan air hingga penuh.

“Sudah cukup, Gaga. Tinggalkan saja, biar aku sendiri yang mengerjakan,” kata Laras menyuruh adiknya keluar dari kamar mandi karena ia mau membuang hajatnya.

Gaga keluar dari kamar mandi dan bergegas ke belakang untuk membawa handuk milik Laras. Setelah menunggu sebentar dan Laras telah menyelesaikan hajatnya, Gaga kembali masuk ke kamar mandi.

“Kak mau mandi?” tanya Gaga.

Laras terdiam dan tampaknya agak berat setiap kali mau mandi. Bagaimanapun juga, ia masih belum bisa mandi sendiri karena pergerakan kedua tangannya masih terbatas.

“Gaga, kamu mau memandikanku?” tanya Laras dengan suara perlahan.

“Boleh. Sebentar, aku bawa dulu kain sarung buat menutup badan Kakak,” kata Gaga sambil hendak pergi keluar dari kamar mandi untuk mengambil kain sarung.

“Jangan kain sarung baru itu, Gaga. Kain biasa saja yang lusuh itu,” kata Laras.

“Iya, Kak.”

Gaga keluar dan kembali ke kamar Laras untuk mengambil kain batik yang sudah lusuh, yang tergantung di dekat pintu. Setelah itu, ia kembali ke kamar mandi.

Gaga memakaikan kain sarung batik lusuh itu ke badan Laras yang sedang susah payah membuka pakaiannya. Dengan telaten, Gaga membantu kakaknya membersihkan badan dengan menggunakan air dingin. Laras tidak pernah mau mandi dengan menggunakan air hangat.

Dengan berbalut handuk yang dibawanya tadi, Gaga kembali memangku Laras ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dengan susah payah Laras mengenakan satu persatu pakaiannya. Laras menolak untuk memakai bra karena selalu susah untuk melepaskannya dan merasa dadanya selalu sesak. Dengan pakaian seadanya, Laras tampak sangat cantik meskipun kakinya terlihat mengecil dari ukuran biasanya. Pahanya yang biasa berisi dan sangat mulus, kini hanya tinggal setengahnya saja dan terlihat lembek.

Setelah berpakaian lengkap, kembali Gaga mengangkat Laras ke ruangan tengah, dan mendudukkan gadis tak berdaya itu di atas sofa.

“Aku beli lontong sayur kesukaan Kakak, tapi hanya beli satu porsi saja.” Gaga mengambil sebuah kantung kresek putih berisi dua bungkus lontong yang sudah dipotong-potong serta kantung plastik berisi sayurnya. Selain itu, masih ada satu kantung kecil sambal pedas.

“Kita makan berdua saja, Gaga. Satu porsi lontong sayur di pasar itu porsinya besar sekali. cukup buat kita berdua,” ujar Laras.

“Aku suapin ya?” kata Gaga.

Laras mengangguk dan tersenyum. Gaga mengambil mangkuk agak besar untuk wadah lontong kuah sayur itu. Benar saja, mangkuk yang disediakan tampak terlihat penuh.

Dengan perlahan, Gaga menyuapi Laras memakan lontong kuah sayur tersebut.

“Dapat berapa tadi di pasar, Gaga?” tanya Laras.

“Banyak, Kak. Hampir tiga ratus ribu. Tadi beli beras lima kilo saja, sama daging ayam setengah kilo. Kak Laras harus makan makanan yang kaya dengan protein biar badannya tidak susut seperti ini,” kata Gaga yang terus menyuapi kakaknya agar makan banyak.

“Jangan cepet-cepet, Gaga. Ini masih dikunyah,” kata Laras menahan suapan Gaga.

“Ini telur ayamnya, Kak. Putihnya itu kan protein” kata Gaga memaksa kakaknya memakan potongan telur ayam yang ada di atas sendoknya.

Tengah menikmati sarapan pagi lontong sayur, terdengar ada orang yang mengucapkan salam di luar.

“Wa’alaikumsalam ...,” jawab Gaga dan Laras bersamaan. Pemuda itu melihat ke arah kakaknya.

“Buka saja, Gaga. Itu tamu buat kita,” kata Laras menyuruh Gaga untuk melihat ke depan dan membuka pintu.

Gaga berjalan ke ruang depan dan membuka pintu. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu.

“Ini Gaga, kan?” tanya lelaki tersebut.

“Oh, Mamang Yayat. Silakan masuk,” kata Gaga membuka pintu lebar-lebar.

“Tidak mengganggu kalian?” tanya lelaki yang dipanggil Yayat itu.

“Tidak, Mang. Baru selesai menyuapi Kak Laras makan. Silakan masuk. Langsung saja ke dalam, kakak ada di ruang tengah,” kata Gaga sambil kembali menutup pintunya.

Yayat menghampiri keponakannya yang sedang menderita sakit dengan pandangan yang trenyuh.

“Bagamana keadaanmu sekarang, Laras?” tanya Yayat sambil duduk di hadapan Laras yang menyalaminya dengan mencium punggung tangan pamannya.

“Alhamdulillah, agak segar, Mang. Hanya kedua belah tangan belum bisa bergerak dengan bebas. Kaki mah sama sekali tidak bisa digerakkan,” kata Laras sambil memperlihatkan kakinya yang menyusut menjadi kurus.

“Yang sabar saja, Laras. Kalau saja bibimu masih ada, tentu kamu akan bisa diurus oleh bibimu. Adik-adik sepupumu semuanya ada di kota sedang kuliah, jadi Mamang juga di rumah sendiri juga,” kata Yayat

“Tidak usah repot-repot, Mang. Di sini juga ada Gaga yang mengurusku,” kata Laras agak kurang enak. Ia mengetahui bahwa pamannya ini datang tentu ada apa-apanya. Sebab, Laras sangat tahu kalau kedatangan pamannya ke rumahnya sejak dulu itu hanya berurusan dengan masalah uang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel