####BAB 4 — “Luka yang Tak Pernah Sembuh”
Malam itu, setelah pesta perkenalan keluarga yang melelahkan, Iris—atau Nayla, seperti nama aslinya—berdiri di depan kamar mereka berdua. Pintu itu tertutup, dan ia menunggu selama beberapa detik, berharap Dion akan membukakannya.
Tapi tak ada suara dari dalam. Akhirnya, ia dorong perlahan daun pintu, dan benar saja, Dion sedang duduk di tepi ranjang, membuka jasnya dengan wajah lelah tapi masih dengan tatapan dingin yang tak berubah.
“Kenapa nggak langsung masuk?” tanya Dion tanpa menoleh.
“Aku kira… kamu pengen sendiri,” jawab Nayla pelan, sambil melangkah masuk dan menutup pintu.
Kamar mereka mewah, luas, dengan pencahayaan lembut dan tempat tidur empuk. Tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. Hanya dua orang asing yang terikat kontrak pernikahan, bukan cinta.
“Aku cuma pengen satu hal,” kata Dion tiba-tiba. “Jangan coba masuk ke dalam hidupku terlalu jauh. Mainkan peranmu, dan jangan cari tahu hal-hal yang bukan urusanmu.”
Nayla menelan ludah. Sakit, memang. Tapi bukan sesuatu yang baru.
“Baik,” jawabnya pendek, lalu mengambil bantal cadangan dan menuju sofa panjang di sudut ruangan.
Dion sempat melirik sekilas, tapi tak berkata apa-apa.
Hening. Dingin. Jarak yang terasa makin dalam.
Malam telah larut. Nayla belum bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar sambil memeluk bantal, mencoba memahami pria yang sekarang jadi suaminya.
Ada banyak yang belum ia tahu. Tapi sorot mata Dion… bukan hanya dingin, tapi juga penuh luka.
‘Orang kayak dia pasti pernah disakiti,’ pikir Nayla.
Ia tahu rasa itu. Ia sendiri punya luka, punya masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Tapi hidup tidak pernah benar-benar memberi ruang untuk melupakan.
Pikirannya melayang ke masa kecil. Saat ibunya pergi meninggalkan rumah. Saat ayahnya mabuk dan memaksanya bekerja sejak SMP. Hidup mengajarinya bertahan, bukan berharap.
Mungkin, Dion pun seperti itu. Bertahan dalam dunianya sendiri, menciptakan tembok agar tak lagi disakiti.
Mendadak terdengar suara lembut dari arah kamar mandi. Dion keluar, hanya dengan kaus putih dan celana tidur.
Ia melirik Nayla di sofa, lalu mematikan lampu utama.
Gelap.
Namun dalam gelap, Nayla merasa—mereka berdua sedang belajar menyembuhkan diri. Hanya saja, belum saling percaya.
---
Pagi datang dengan matahari yang malu-malu menembus tirai tipis. Nayla bangun lebih dulu, mengemasi selimut di sofa, lalu masuk ke kamar mandi tanpa banyak suara.
Saat keluar, Dion sudah duduk di meja kecil dekat jendela, menatap layar ponselnya tanpa ekspresi. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang bahan abu-abu. Wajahnya tampak profesional dan dingin seperti biasa.
“Kamu mau sarapan sekarang atau nanti?” Nayla bertanya ragu.
Dion tidak langsung menjawab. Hanya melirik sebentar, lalu kembali fokus ke ponselnya.
“Turun lima menit lagi,” jawabnya akhirnya. Singkat.
Nayla mengangguk, menahan kecewa yang tak bisa diucapkan.
Setelah mereka turun bersama, meja makan sudah disiapkan oleh pelayan. Ada bubur ayam, roti panggang, dan kopi hitam. Tapi suasana tetap sepi.
“Setelah ini, kamu ikut aku ke kantor,” Dion berkata tanpa menatapnya.
Nayla hampir tersedak bubur. “Ke kantor?”
“Ya. Kita pasangan baru. Media mungkin akan mencari tahu. Aku nggak pengen mereka mengira pernikahan ini palsu.”
“Oh…” Nayla hanya bisa mengangguk lagi, meski dadanya bergetar. Pergi ke kantor Dion berarti menghadapi orang-orang asing dengan sorot mata tajam. Bukan sesuatu yang mudah.
Tapi dia sadar, inilah konsekuensi dari pernikahan kontrak. Ia harus berperan. Harus kuat.
Gedung tempat Dion bekerja menjulang tinggi di jantung kota. Modern, elegan, dan penuh tekanan. Nayla nyaris tak bisa bernapas saat turun dari mobil dan masuk lewat lobi utama.
Semua orang langsung memperhatikan mereka. Bahkan ada yang diam-diam memotret dari belakang layar ponsel.
Dion berjalan cepat, penuh wibawa. Nayla mengikutinya sambil mencoba tersenyum tenang. Tapi sorot mata orang-orang itu membuatnya merasa seperti boneka pajangan.
Sesampainya di lantai atas, Dion langsung masuk ke ruangannya. Nayla disuruh duduk di kursi tamu dekat jendela.
Tak lama kemudian, sekretaris Dion—seorang wanita cantik berambut lurus sebahu—masuk dengan membawa dokumen.
Tatapannya ke Nayla tajam, penuh penilaian.
“Kopi seperti biasa, Pak Dion?” tanyanya, tanpa sekalipun melirik Nayla.
“Iya. Dan tolong, jangan ada yang ganggu saya pagi ini,” jawab Dion.
Wanita itu mengangguk, lalu pergi. Nayla bisa merasakan udara dingin di balik senyum manis sekretaris itu.
Dion lalu bicara tanpa menoleh. “Kalau kamu nggak nyaman, boleh nunggu di lounge bawah. Tapi kalau bisa, tetap di sini sampai siang. Sekali-sekali orang harus lihat bahwa kamu istri sahku.”
Nayla mengangguk, meski hatinya ingin pergi sejauh mungkin dari gedung itu.
---
Setelah duduk cukup lama, Nayla memutuskan turun ke lounge seperti yang disarankan Dion. Ia tak tahan dengan suasana ruang kerja Dion yang dingin, ditambah tatapan penasaran karyawan yang lewat.
Lounge kantor mewah itu tak kalah megah. Sofa-sofa empuk berjajar rapi, tanaman indoor menghiasi sudut-sudut ruangan. Tapi Nayla tetap merasa asing.
Ia menatap layar ponselnya, berharap waktu cepat berlalu. Tapi detik terasa lambat. Sesekali, seseorang akan memandangnya penuh tanda tanya. Bahkan ada yang berbisik sambil menoleh ke arahnya.
“Kayaknya itu istri bos besar deh,” bisik seorang wanita muda ke temannya.
Nayla pura-pura tidak dengar, padahal hatinya mencelos. Ia merasa seperti tontonan, bukan pasangan yang dicintai.
Ponselnya bergetar. Dion mengirim pesan singkat:
> “Sudah bisa naik lagi. Kita makan siang bareng di luar.”
Nayla menarik napas panjang. Lagi-lagi harus memasang topeng kuat.
---
Mereka makan siang di restoran mewah tak jauh dari kantor. Tempat itu penuh dengan orang penting, dan Nayla merasa seperti semut kecil di tengah raksasa-raksasa.
Dion tetap bersikap seperti biasanya—tenang, sopan, tapi dingin. Ia lebih banyak sibuk dengan ponsel daripada berbincang.
“Kalau ada media nanya soal kita, jawabnya seperlunya saja,” katanya di sela suapan steak.
“Seperlunya itu maksudnya apa?” tanya Nayla hati-hati.
“Jangan berlebihan. Jangan terlalu detail. Biar semua tetap terkontrol.”
Nayla mengangguk, meski pikirannya penuh tanya. Seperlunya, dinginnya, jaraknya—semua itu seperti tembok yang sulit ia tembus.
Ia menunduk, memainkan garpu. Makan siang itu mungkin mahal, tapi rasanya hambar. Hambar karena tidak ada hati yang ikut menyajikannya.
---
Di perjalanan pulang, mobil melaju tenang melewati jalanan ibukota. Tapi di dalam, keheningan terasa berat.
“Kamu... kenapa menikahiku?” tanya Nayla tiba-tiba, memberanikan diri.
Dion tak langsung menjawab. Pandangannya tetap fokus ke jalan.
“Karena kamu orang yang paling mungkin aku kendalikan,” jawabnya pelan, dingin seperti biasa.
Nayla menoleh cepat, terkejut. Tapi Dion tak melihatnya.
“Maksudmu?”
“Kita sama-sama tahu ini bukan cinta. Dan kamu butuh uang. Aku butuh pendamping formal. Simbiosis.”
Jawaban itu menusuk hati Nayla. Ia tahu pernikahan ini hanya formalitas, tapi tetap saja, rasanya menyakitkan saat Dion mengatakannya seolah dia tak lebih dari alat.
---
Sesampainya di rumah, Dion langsung masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Nayla hanya berdiri di ruang tamu, sendirian.
Sambil berdiri di depan cermin, Nayla menatap bayangannya sendiri. Mata yang sembab, senyum yang dipaksakan. Ia bahkan nyaris tak mengenali dirinya lagi.
Hatinya memberontak.
“Sampai kapan aku bisa bertahan dalam rumah ini?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Tapi tak ada jawaban. Hanya diam. Diam yang lebih kejam daripada kata-kata kasar. Diam yang membunuh perlahan-lahan.
Namun Nayla tahu, ini belum akhir. Kalau dia sudah memutuskan bertahan di dunia Dion, maka dia harus belajar berdiri—meski sendiri, meski tanpa hati.
