bab 5 Permaisuri dan perang
Beberapa hari berlalu sejak Aleandra menjalani tugas pertamanya sebagai Permaisuri. Setiap harinya ia semakin tenggelam dalam rutinitas baru: menerima laporan, mengawasi distribusi bantuan, mendengarkan keluhan rakyat yang diundang ke audiensi istana.
Namun hari ini berbeda.
Sore itu, langit Elvarra dipenuhi awan kelabu, tanda badai akan datang. Di ruang kerja kerajaan, Aleandra duduk di belakang meja besar berlapis marmer, membaca satu per satu laporan dari penjaga perbatasan. Di sampingnya, Marlien berdiri siap mencatat perintah.
Tiba-tiba pintu ruang kerja dibuka tergesa. Rayven masuk dengan wajah serius, diikuti oleh beberapa pengawal bersenjata.
Aleandra meletakkan surat di tangannya, berdiri cepat. “Ada apa?”
Rayven menghampiri, suaranya berat. “Utusan dari Kerajaan Draven baru saja tiba. Mereka tidak datang dengan undangan… dan mereka menuntut bertemu dengan Raja dan Permaisuri malam ini juga.”
Aleandra mengernyit. “Tuntutan? Untuk apa?”
“Mereka membawa peringatan,” jawab Rayven datar. “Ada ancaman perang jika kita tidak memenuhi syarat tertentu.”
Marlien menahan napas. Aleandra meremas jemari di samping tubuhnya untuk menahan kegelisahan. Ia melirik Rayven yang tetap tenang, meski matanya menyimpan api yang berbahaya.
“Apa yang mereka minta?” Aleandra bertanya, menahan suaranya tetap stabil.
Rayven mendekat, suaranya hampir berbisik. “Mereka menuntut wilayah perbatasan kita yang kaya akan tambang. Jika kita menolak, mereka siap menyerang.”
Hening panjang mengisi ruangan. Aleandra menarik napas dalam, menatap peta besar Elvarra di dinding.
“Kalau kita menyerahkan wilayah itu,” gumam Aleandra, “kita bukan hanya kehilangan sumber daya. Kita menunjukkan kelemahan.”
Rayven menatapnya, lalu mengangguk setuju. “Itulah sebabnya kita harus memikirkan strategi dengan hati-hati.”
Ketukan lain terdengar di pintu. Seorang pengawal masuk dan membungkuk. “Yang Mulia, para utusan sudah menunggu di Aula Timur.”
Aleandra menoleh pada Rayven, matanya membara dengan tekad. “Kalau begitu, mari kita temui mereka. Bersama.”
Rayven menatapnya dalam, seolah mengukur kekuatan wanita di hadapannya. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia mengulurkan tangan.
Aleandra menyambutnya tanpa ragu.
Mereka berjalan menyusuri koridor panjang istana menuju Aula Timur. Di sepanjang perjalanan, para penjaga membungkuk, pelayan menunduk hormat, merasakan aura tegang yang menyelimuti udara.
Saat pintu besar Aula Timur dibuka, Aleandra dan Rayven melangkah masuk berdampingan.
Di ujung ruangan, empat pria berpakaian hitam dengan lambang naga merah di dada mereka berdiri angkuh. Mata-mata mereka tajam, penuh kesombongan.
Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tinggi dengan jubah beludru berat, maju selangkah. Ia membungkuk sekilas, lalu berkata dengan nada sombong, “Yang Mulia Raja Rayven, Permaisuri Aleandra. Kami datang membawa keputusan dari Raja Draven.”
Rayven mengangguk dingin. “Bicara.”
Pria itu mengangkat dagunya. “Serahkan wilayah Eldreth dalam waktu tiga hari, atau bersiaplah menerima pertempuran di gerbang istana kalian.”
Aula itu hening. Para pengawal mengepalkan pedang mereka. Marlien yang berdiri di belakang Aleandra tampak pucat.
Aleandra maju setengah langkah, suaranya jernih dan kuat.
“Dan jika kami menolak?” tanyanya, menatap tajam utusan itu.
Pria itu menyeringai. “Kalau begitu, darah akan mengalir di jalan-jalan Elvarra.”
Semua mata beralih pada Rayven. Tapi sebelum Raja itu menjawab, Aleandra lebih dulu berbicara, langkahnya mantap mendekati utusan itu.
“Pergilah,” katanya dingin. “Bawa pesan ini pada Raja Draven. Elvarra tidak akan pernah tunduk pada ancaman. Jika ia ingin perang, biarlah ia tahu... kami akan menyambutnya dengan api dan besi.”
Utusan itu membelalak, tak menyangka seorang Permaisuri berani berkata sedemikian berani.
Rayven tersenyum tipis, bangga.
“Pergi,” perintah Rayven, suaranya seperti dentuman palu.
Keempat utusan itu membungkuk singkat lalu berbalik, langkah mereka berat namun penuh kemarahan.
Begitu pintu tertutup, Rayven menoleh pada Aleandra.
“Aku bangga padamu,” katanya pelan.
Aleandra menarik napas dalam, jantungnya berdebar cepat. Ia tahu, ini baru permulaan. Badai yang sebenarnya baru saja mulai. Tapi di sisi Rayven, untuk pertama kalinya, ia tak merasa takut.
Ia siap menghadapi apa pun.
Bersama.
Malam itu, ruang strategi di dalam istana penuh dengan ketegangan. Lilin-lilin besar dinyalakan di setiap sudut, memantulkan bayangan panjang di atas peta Elvarra yang terbentang di meja besar. Rayven berdiri di satu sisi meja, mengenakan mantel hitam berhias bordir emas. Aleandra berada di sampingnya, dikelilingi oleh para jenderal dan penasihat kerajaan.
Mereka semua membungkuk hormat saat Aleandra masuk, tapi segera kembali fokus pada diskusi.
“Kita tak bisa menunggu mereka menyerang lebih dulu,” kata Jenderal Varrek dengan suara berat. “Jika benar pasukan Draven bergerak, kita harus memperkuat benteng di wilayah timur dan menyiapkan pasukan di perbatasan.”
Rayven menyilangkan tangan di dadanya. "Aku tak ingin perang ini berkepanjangan. Kita butuh kemenangan cepat, sebelum rakyat kita menderita."
Aleandra menunduk mempelajari peta. Ia menunjuk sebuah titik kecil di dekat perbatasan.
“Benteng Redwyne,” ucapnya. “Letaknya strategis, menguasai jalur masuk utama dari Draven. Jika kita memperkuat pertahanan di sini, mereka tak akan mudah menerobos.”
Semua mata beralih padanya.
Jenderal Varrek mengangguk setuju. "Betul, Yang Mulia. Redwyne adalah kunci."
Rayven menatap Aleandra, matanya berbinar bangga. "Pikiranmu tajam, seperti biasa."
Aleandra mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan keyakinan. “Dan aku pikir kita perlu mengirim utusan rahasia ke kerajaan-kerajaan kecil di utara. Jika Draven menyerang, mungkin mereka akan bersedia membantu kita, setidaknya dengan suplai atau pasukan tambahan.”
Penasihat tua bernama Lord Renwick mengetuk-ngetuk jari di atas meja. “Itu berisiko... tapi bisa menjadi penentu. Mereka selalu menentang Draven.”
Rayven tersenyum tipis. "Kita lakukan. Aku sendiri akan memilih orang-orang yang terpercaya."
Semua bergerak cepat setelah itu. Instruksi diberikan, surat-surat ditulis dengan segel kerajaan, utusan dikirim diam-diam ke penjuru negeri. Aleandra tak berdiam diri—ia ikut mengatur logistik, memastikan gudang makanan terisi dan rakyat di desa-desa dekat perbatasan mendapat perlindungan.
---
Menjelang tengah malam, saat semua orang mulai beristirahat, Aleandra berdiri di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan gelap.
Rayven muncul tanpa suara, menyampirkan mantel hangat di bahu Aleandra.
“Kau sudah berbuat banyak hari ini,” katanya pelan.
Aleandra menoleh, menatapnya. “Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan.”
Rayven mendekat, jarak di antara mereka hanya setipis bayangan. “Aku tahu ini tak pernah kau mimpikan... terjebak dalam politik dan ancaman perang.”
Aleandra tersenyum kecil, menatap jauh ke taman istana yang mulai diselimuti kabut malam. “Mungkin ini memang bukan impianku. Tapi aku tidak menyesal berdiri di sisimu, Rayven.”
Beberapa saat mereka hanya berdiri diam, membiarkan keheningan malam membungkus mereka.
Kemudian Rayven mengulurkan tangan, menggenggam tangan Aleandra dengan lembut.
“Apapun yang terjadi,” katanya, suaranya rendah dan dalam, “kau tidak akan pernah sendiri.”
Aleandra membalas genggamannya, jantungnya berdetak cepat, tapi kali ini bukan karena ketakutan.
Ia tahu badai besar akan segera datang. Tapi ia juga tahu, ia akan menghadapinya dengan kepala tegak, bersama pria ini di sisinya.
Di atas benteng Elvarra yang megah, Permaisuri muda itu bersumpah dalam hati:
Tak akan ada yang bisa menjatuhkan mereka.
Tak selama ia masih berdiri di sini, sebagai Aleandra—Permaisuri Elvarra, dan penjaga takhta.
