
Ringkasan
“Aku tidak mencintaimu, tapi aku akan tetap menikahimu. Demi takhta. Demi negara.” Ketika Aleandra dipaksa menikah dengan Pangeran Rayven, sang pewaris takhta Kerajaan Elvarra, hidupnya berubah drastis. Ia bukan siapa-siapa, hanya gadis biasa yang terjebak dalam pusaran politik kerajaan. Namun di balik kemewahan istana dan senyum diplomatis, tersembunyi rahasia, luka, dan cinta yang tak pernah diundang. Rayven dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh. Ia tak ingin cinta, hanya butuh pewaris. Tapi Aleandra tak sudi menjadi ratu tanpa hati. Dalam pernikahan tanpa cinta itu, bisakah benih-benih kasih tumbuh? Ataukah mereka akan hancur sebelum sempat saling memahami?
Bab 1 Pilihan Sulit
Pintu ruang tamu megah itu terbuka, mengeluarkan suara berderit lembut yang terasa seperti petanda buruk. Aleandra menegakkan punggungnya, menyembunyikan kegugupan di balik napas panjang yang tak kunjung menenangkan dada. Di hadapannya, berdiri seorang pria tinggi dengan balutan jas hitam berkerah tinggi, mahkota emas kecil tersemat di atas rambutnya yang rapi. Tatapannya menusuk, dingin, tak menyisakan sedikit pun keramahtamahan yang sering digambarkan dalam dongeng tentang pangeran.
“Aleandra Visela,” ucap pria itu datar.
Aleandra bangkit dari kursinya dan menunduk sopan. “Paduka.”
“Kau tahu kenapa kau dipanggil ke sini?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Karena Ayah saya...” Aleandra menggantungkan kalimatnya. Ia ragu, tapi pria di depannya—Pangeran Rayven—tidak memberi ruang untuk keraguan.
“Karena ayahmu berutang nyawa pada kerajaan ini. Dan karena itu, kau harus membayarnya.” Rayven maju dua langkah. Suaranya tajam, seperti pisau yang mengiris udara.
Aleandra menegakkan dagunya. “Dengan menikahimu?”
“Dengan menjadi permaisuriku.”
Sunyi. Waktu seperti berhenti sejenak. Aleandra mencengkeram ujung gaunnya, tubuhnya tegang.
“Kau bisa memilih menolak,” ucap Rayven, matanya tak lepas menatap Aleandra. “Tapi bila kau menolak, ayahmu akan dipenjara seumur hidup. Atau mati perlahan karena pengkhianatannya.”
“Pengkhianatan? Ayahku hanya menyelamatkan rakyat dari kelaparan!”
Rayven menyipitkan mata. “Dan dalam prosesnya, ia mencuri logistik kerajaan. Kau pikir aku akan membiarkan itu begitu saja?”
Aleandra menggigit bibirnya. Ia tahu ayahnya bersalah secara hukum, tapi ia juga tahu motif sang ayah bukan untuk keuntungan pribadi.
“Kenapa aku?” bisiknya akhirnya. “Kau bisa menikahi siapa pun dari bangsawan lainnya.”
Rayven mendekat. Napas mereka hampir menyatu. “Karena aku tidak ingin cinta dalam pernikahan ini. Aku butuh seorang istri yang tidak akan menghalangi jalanku. Dan kau, Aleandra, bukan siapa-siapa. Tak akan ada yang peduli saat aku membiarkanmu kesepian di dalam istana.”
Aleandra tersentak. “Kau kejam.”
“Aku realistis.”
“Lalu apa yang kau harapkan dariku, Pangeran Rayven? Anak?”
“Anak. Pewaris. Dan keheningan. Tak lebih.”
Aleandra ingin meludah di hadapan pria itu. Tapi ia tak bisa. Ia menunduk, menelan harga dirinya bersama rasa marah yang membuncah.
“Baiklah,” gumamnya pelan. “Tapi ingat satu hal, Pangeran.”
Rayven mengangkat alis. “Apa itu?”
“Aku bukan boneka. Dan kau akan tahu, suatu hari nanti... bahwa memilihku bukan hal yang mudah untuk kau kendalikan.”
Sudut bibir Rayven terangkat. Sinis. “Aku menantikan hari itu, Permaisuri Aleandra.”
Langkah-langkahnya meninggalkan ruangan, meninggalkan udara yang penuh ketegangan dan kemarahan yang tak terucap.
Aleandra menatap pintu yang tertutup kembali.
Dalam hati, ia bersumpah.
Jika hidupnya akan menjadi permainan kekuasaan, maka ia akan belajar menjadi pemain yang tak terkalahkan.
Cahaya senja menyelinap melalui jendela istana, mewarnai langit dengan semburat oranye dan emas. Aleandra berdiri diam di balkon kamarnya yang baru—sebuah ruang luas berhias tirai sutra, lantai marmer dingin, dan aroma bunga dari taman di bawah sana. Tapi semua kemewahan itu tak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia telah dijual… oleh keadaan, oleh ayahnya, oleh takdir.
Pintu diketuk pelan.
Aleandra tak menoleh. “Masuk saja.”
Yang masuk adalah seorang wanita setengah baya, tubuhnya tegap namun gerak-geriknya lembut. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan seragam khas dayang senior istana.
“Saya Marlien. Mulai malam ini, saya ditugaskan mendampingi Anda, Yang Mulia,” katanya sambil menunduk hormat.
“Jangan panggil aku begitu,” ucap Aleandra cepat. Suaranya serak. “Aku belum menikah dengannya.”
“Tapi pernikahan akan berlangsung tiga hari lagi, sesuai titah Yang Mulia Pangeran Rayven.”
“Tiga hari…” Aleandra menggumam, lalu berbalik. “Apa dia selalu seperti itu?”
“Maaf, Yang Mulia?”
“Dingin. Seolah semua orang hanyalah alat.”
Marlien menatapnya sejenak, lalu menjawab hati-hati, “Beliau tidak mempercayai siapa pun. Setelah ibunya dibunuh dalam istana sendiri, Pangeran Rayven… berubah. Ia tak pernah benar-benar dekat dengan siapa pun sejak itu.”
Aleandra mengerutkan dahi. “Ibunya dibunuh?”
“Saat beliau masih berumur sepuluh tahun. Banyak yang mengatakan itu karena perebutan kekuasaan. Tapi tidak ada yang tahu pasti.”
Hening sesaat. Aleandra menarik napas dalam.
“Apa dia pernah mencintai seseorang?” tanyanya pelan.
Marlien tampak ragu. “Pernah. Tapi wanita itu memilih kabur dari istana. Katanya, lebih baik hidup miskin daripada hidup dengan seorang raja yang berhati dingin.”
Seketika dada Aleandra terasa makin sesak. Ia menatap ke langit yang mulai menggelap.
“Lalu kenapa aku tetap di sini?”
Sebelum Marlien bisa menjawab, terdengar ketukan lagi. Kali ini keras. Tanpa menunggu jawaban, pintu dibuka—dan Rayven masuk.
Marlien segera menunduk dalam. “Paduka…”
“Keluar,” perintah Rayven tanpa menatap Marlien.
Wanita itu pergi, menutup pintu perlahan.
“Kau datang tanpa izin?” tanya Aleandra sinis. “Kau mulai menjalankan rencana mengendalikanku dari sekarang?”
Rayven menatapnya lama. “Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu.”
Aleandra menyilangkan tangan di dada. “Apa? Aturan lain yang harus kuikuti?”
“Besok kau akan diperkenalkan pada publik sebagai calon permaisuri,” ucap Rayven dingin. “Kau akan tersenyum. Berdiri di sampingku. Dan kau akan tampak bahagia.”
“Aku tidak bahagia.”
“Buat mereka percaya sebaliknya.”
“Apa kau pikir semua ini bisa dibungkus dengan senyum palsu?”
“Segala hal di kerajaan ini dibungkus dengan kepalsuan. Kau akan terbiasa.”
Aleandra berjalan mendekatinya, menantang. “Apa kau bahagia, Rayven?”
Ia tak menjawab.
“Tidak, kan? Kau bahkan tak tahu rasanya dicintai atau mencintai.”
Sorot mata Rayven berubah. Bukan marah. Bukan sedih. Tapi sepi. Sepi yang dalam dan membeku.
“Kau benar,” katanya akhirnya. “Dan itulah alasan aku tidak menginginkannya darimu.”
Aleandra mundur selangkah. “Lalu kenapa aku?”
“Karena kau tidak mencintaiku. Dan itu membuatmu aman.”
Aleandra terkesiap. “Aman dari apa?”
“Dari harapan.”
Dengan itu, Rayven pergi begitu saja, meninggalkan Aleandra yang kini berdiri membeku di tengah ruangan, mencoba memahami pria yang telah mengikat takdirnya dalam pernikahan tanpa cinta—dan tanpa harapan.
Langit pagi di Elvarra dipenuhi sorak-sorai rakyat yang memadati alun-alun kerajaan. Bendera berkibar di setiap sudut, warna merah dan emas membanjiri udara. Musik kerajaan menggema, dan iring-iringan penjaga berkuda membuka jalan bagi kereta kencana berhiaskan ukiran singa bersayap, lambang keluarga kerajaan Elvarra.
Di dalam kereta, Aleandra duduk tegak mengenakan gaun biru keperakan yang menjuntai anggun. Rambutnya disanggul tinggi, lehernya dililit kalung safir yang dinginnya menyamai pandangan lelaki di sampingnya.
Rayven.
Pria itu belum mengucap satu kata pun sejak pagi. Hanya tatapan lurus ke depan, rahang mengeras, dan jari-jari yang menggenggam sarung tangan kulit hitam dengan tekanan seperti sedang menahan sesuatu.
Aleandra meliriknya. “Berapa lama lagi pertunjukan ini berlangsung?”
Rayven tidak langsung menjawab.
“Dua jam,” ujarnya singkat.
“Dua jam berdiri di sampingmu, tersenyum, dan berpura-pura mencintaimu?” Aleandra mendecih. “Kau benar-benar aktor utama dalam drama istana.”
“Aku tidak butuh cintamu. Hanya kerjasamamu.”
“Dan jika aku tidak kooperatif?”
Rayven menoleh. Kali ini, ada bara tipis di balik matanya yang biasanya beku.
“Maka aku akan mengubur ayahmu hidup-hidup dalam penjara bawah tanah.”
“Pantas kau tak pernah dicintai,” balas Aleandra tajam. “Karena kau selalu mengancam, bukan memohon.”
Rayven tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk berdiri. “Aku tidak butuh cinta. Aku hanya butuh kekuasaan yang stabil. Dan kau—kau adalah simbol stabilitas yang sempurna. Latar belakangmu rendah, tidak mengancam. Wajahmu cukup memesona untuk menenangkan rakyat. Dan kau cukup cerdas untuk tahu apa yang terjadi jika menolak perintah.”
Kereta berhenti. Musik berhenti sejenak. Lalu, dentuman sangkakala menggema.
“Ini saatnya,” ujar Rayven dingin.
Pintu kereta dibuka oleh ajudan. Rayven turun lebih dulu, berdiri tegap, angkuh, seperti raja yang tak tersentuh. Aleandra menggenggam sisi rok gaunnya dan melangkah keluar.
Sorak-sorai meledak. Rakyat berseru memanggil nama Rayven dan sang calon permaisuri.
“Jangan lupa tersenyum,” gumam Rayven dari sudut mulut.
Aleandra menoleh setengah detik, lalu melengkungkan bibirnya. Senyum yang begitu sempurna, namun kosong. Ia melambaikan tangan ke arah rakyat, menggandeng lengan Rayven seperti gadis yang jatuh cinta. Kamera dan lukisan langsung diabadikan oleh seniman kerajaan.
Namun jauh di balik senyum itu, Aleandra berbisik dalam hati: Kau pikir aku pion? Maka lihatlah nanti bagaimana pion bisa membunuh raja.
Saat mereka melangkah naik ke podium, Ratu Malvina—bibi Rayven yang dikenal sebagai penasihat kerajaan—memandangi Aleandra dengan tajam dari balkon atas istana. Sorot matanya penuh waspada, seolah menyadari sesuatu yang tidak beres.
“Gadis itu… terlalu tenang,” gumam Ratu Malvina. “Dan ketenangan seperti itu… hanya dimiliki orang yang sedang menyusun rencana.”
Rencana yang akan mengubah Elvarra.
Dan mungkin, menjatuhkan sang pewaris takhta.
