Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Tugas yang baru

Musik istana mengalun lembut, mengiringi tarian-tarian penuh pesona di tengah aula megah yang dipenuhi cahaya lilin dan gemerlap kristal. Para tamu bangsawan bersorak bahagia, anggur mengalir deras di setiap gelas, dan pelayan berlalu-lalang menyajikan hidangan terbaik dari dapur kerajaan.

Di tengah keramaian dan tawa itu, Aleandra berdiri dengan anggun, wajahnya bersinar bukan karena riasan, melainkan karena ketulusan yang perlahan tumbuh dari dalam hatinya.

Ia tertawa kecil saat seorang anak bangsawan menjatuhkan manisan dan buru-buru meminta maaf. “Tidak apa-apa,” ujar Aleandra lembut, membungkuk sedikit dan mengelus kepala si kecil. “Kau membuat pesta ini semakin hidup.”

Beberapa tamu memperhatikan interaksi itu, saling berbisik bahwa Permaisuri baru mereka tampak ramah dan hangat.

Rayven menghampiri dari samping, menyodorkan segelas anggur. “Kau terlihat… nyaman.” Suaranya rendah, tapi tak lagi mengandung ketegangan seperti sebelumnya.

Aleandra menoleh dan menyambut gelas itu, senyumnya merekah. “Untuk pertama kalinya hari ini… aku merasa bukan hanya sebagai pion. Tapi benar-benar sebagai bagian dari tempat ini.”

Rayven mengangguk, matanya menatap Aleandra dengan campuran kelegaan dan kekaguman. “Kau cocok mengenakan mahkota itu.”

“Aku tidak yakin tentang mahkotanya,” Aleandra menjawab dengan candaan kecil, “tapi aku yakin aku menyukai suasananya.”

Mereka tertawa ringan. Tak ada keterpaksaan. Tak ada intimidasi. Tak ada perang batin seperti malam-malam sebelumnya. Hanya dua orang yang perlahan mulai berdamai dengan takdir masing-masing.

Musik berubah menjadi irama dansa kerajaan.

“Bolehkah aku mengajak Permaisuri berdansa?” Rayven mengulurkan tangan.

Aleandra melirik tangan itu sebentar, lalu tersenyum dan menggenggamnya dengan ringan. “Dengan senang hati.”

Mereka melangkah ke lantai dansa, bergabung dengan pasangan-pasangan lain yang mulai berdansa dengan anggun. Gaun Aleandra berputar indah setiap kali ia digerakkan Rayven, dan sorot matanya memancarkan sesuatu yang baru—ketenangan.

Di sekeliling mereka, para tamu bersorak pelan, kagum akan keharmonisan pasangan penguasa baru itu. Bahkan para penasihat kerajaan, yang semula ragu dengan keberadaan Aleandra, kini diam dalam hormat.

Sore berubah menjadi malam, tapi Aleandra tak merasa lelah. Di setiap detik pesta itu, ia mulai mengenal dirinya sendiri lebih dalam—seorang perempuan yang bukan sekadar pengantin dari pewaris takhta, tetapi seorang permaisuri yang mulai menerima takdirnya dengan kepala tegak.

Dan malam itu, di antara dentingan gelas, dentuman musik, dan canda tawa para undangan, Aleandra merasakan sesuatu yang tulus: kebahagiaan.

Malam semakin larut, namun pesta belum juga menunjukkan tanda-tanda akan usai. Lentera-lentera kristal menyala lembut, memantulkan cahaya keemasan di dinding-dinding marmer istana. Di sela riuh rendah suara tamu dan musik orkestra, Aleandra melangkah ke balkon istana, mencari udara segar dan sedikit keheningan.

Gaun putih keperakannya bergoyang lembut diterpa angin malam. Dari atas sana, ia bisa melihat taman kerajaan yang dihiasi ribuan lentera kecil, menciptakan panorama seperti langit kedua di bumi.

Ia menutup mata sejenak, menghirup udara malam yang segar. Untuk pertama kalinya sejak kedatangannya ke istana ini, ia merasa bebas—meski hanya untuk beberapa saat.

Langkah kaki terdengar mendekat. Aleandra tak menoleh. Ia tahu siapa yang datang.

"Tak kuduga kau akan meninggalkan pesta lebih dulu," ujar Rayven, suaranya terdengar lebih hangat dibanding sebelumnya.

"Aku hanya butuh sedikit waktu sendiri," jawab Aleandra, tetap memandangi taman. "Segalanya terasa begitu cepat. Pagi tadi aku bukan siapa-siapa, kini… semua memanggilku Yang Mulia."

Rayven berdiri di sampingnya, ikut memandang ke kejauhan. "Dan kau menjalani semuanya dengan kepala tegak. Tak banyak yang bisa melakukan itu."

Aleandra menoleh, menatapnya dengan mata jernih. "Kau tahu? Aku sempat mengira pernikahan ini akan menjadi penjara. Tapi justru di sinilah aku merasa… lebih kuat dari sebelumnya."

Rayven menatap balik, sorot matanya menyiratkan kejujuran. "Aku pun sempat berpikir kita tak akan pernah bisa saling percaya. Tapi hari ini… kau mengubah pandanganku."

Hening sesaat.

“Aleandra,” katanya lirih. “Aku tahu ini bukan kisah cinta yang indah. Tapi aku ingin kita membangunnya perlahan. Tak ada paksaan.”

Aleandra tersenyum kecil. “Kita mulai dari kejujuran, Rayven. Itu sudah cukup bagiku.”

Angin malam kembali berhembus, menggerakkan tirai-tirai di balik mereka. Dari dalam, musik masih mengalun, namun di balkon itu, hanya ada dua sosok yang perlahan belajar saling menerima.

Sebuah awal baru, bukan hanya sebagai Raja dan Permaisuri.

Tapi mungkin… sebagai dua jiwa yang akhirnya menemukan tempatnya.

Keesokan paginya, matahari menyelinap lembut melalui tirai-tirai tipis kamar kerajaan. Cahaya keemasan menyapu lantai batu yang dingin dan menyentuh wajah Aleandra yang masih duduk di tepi ranjang, mengenakan jubah tidur satin berwarna krem pucat. Rambutnya terurai, mata beningnya memandangi cermin besar di hadapannya, tempat pantulan dirinya kini bukan lagi seorang wanita asing di istana, tapi Permaisuri Elvarra yang sah.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.

“Masuk,” ucapnya lembut.

Marlien melangkah masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Selamat pagi, Yang Mulia. Ini sarapan Anda, dan… beberapa undangan untuk kunjungan resmi dari para bangsawan.”

Aleandra menoleh. “Sudah dimulai ya? Tugas-tugas itu.”

Marlien tersenyum sopan. “Mulai hari ini, Anda akan menjalankan beberapa kewajiban kenegaraan. Tapi tak perlu khawatir, kami akan mendampingi Anda.”

Aleandra mengangguk pelan. “Baik, bantu aku bersiap.”

Beberapa pelayan masuk, memandikan dan mendandani Aleandra dengan gaun formal berwarna biru langit dengan bordiran lambang kerajaan di dadanya. Rambutnya ditata sanggul elegan, dan sebuah bros kecil berbentuk mahkota disematkan di kerah gaunnya.

Tak lama kemudian, Aleandra berjalan menyusuri koridor istana, menuju Ruang Majelis. Setiap pelayan dan penjaga yang dilewati membungkuk hormat, dan meskipun Aleandra masih merasa asing dengan semua itu, kini ia sudah bisa membalas mereka dengan anggukan percaya diri.

Di dalam ruang besar berkanopi emas, para bangsawan telah berkumpul. Meja melingkar besar berada di tengah ruangan, dengan kursi khusus di ujungnya—kursi untuk Raja dan Permaisuri.

Rayven sudah duduk di sana, mengenakan pakaian dinas kebesaran berwarna hitam dan emas. Ia menoleh begitu melihat Aleandra masuk, lalu berdiri dan mengulurkan tangan.

“Selamat pagi, Permaisuri.”

Aleandra tersenyum dan menyambut tangannya, lalu duduk di sisinya. Beberapa bangsawan terlihat memperhatikan mereka—ada yang tersenyum, ada pula yang tampak penuh penilaian.

Seorang penasihat tua berdiri. “Hari ini, Yang Mulia Permaisuri akan diperkenalkan secara resmi dalam urusan kenegaraan. Beliau akan mulai menerima laporan dari setiap wilayah, dan menandatangani dekrit pendistribusian pangan musim dingin.”

Aleandra menelan ludah perlahan. Ini bukan pesta, bukan balkon indah di malam hari. Ini kenyataan.

Satu per satu laporan dibacakan. Petisi dari desa di selatan. Permintaan perlindungan dari pedagang laut. Protes dari bangsawan utara yang merasa diabaikan.

Aleandra mendengarkan semuanya dengan tenang, sesekali mencatat, dan ketika tiba waktunya ia bicara, ia menatap semua yang hadir dengan mantap.

“Setiap suara akan kami dengarkan,” katanya tegas. “Tak ada wilayah yang akan diperlakukan berbeda. Aku berjanji atas nama rakyat.”

Beberapa penasihat saling bertukar pandang, terkejut akan ketegasannya. Tapi Rayven hanya menatap Aleandra dari sisi, dengan ekspresi berbeda. Ada rasa hormat yang baru saja tumbuh di sana.

Saat pertemuan usai, dan semua orang mulai meninggalkan ruangan, Rayven tetap duduk.

“Aku kira kau akan diam sepanjang pertemuan tadi,” katanya perlahan. “Ternyata kau jauh dari diam.”

Aleandra menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku tidak dilatih menjadi ratu. Tapi aku tahu rasanya jadi rakyat biasa yang tak pernah didengar. Aku tak mau jadi permaisuri yang hanya duduk cantik.”

Rayven menatapnya beberapa detik, lalu berdiri. “Kalau begitu, mari kita mulai memimpin bersama.”

Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, langkah mereka menyatu. Bukan karena adat. Bukan karena aturan.

Tapi karena pilihan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel