bab 6 Selir
Keesokan paginya, istana Elvarra bergerak dalam ritme yang lebih cepat dari biasanya. Para pengawal berlari kecil di lorong-lorong, para pelayan membawa pesan-pesan rahasia, dan lonceng menara berbunyi tiga kali — sinyal bahwa seluruh kerajaan dalam status siaga tinggi.
Aleandra duduk di ruang rias pribadinya, sementara Marlien dengan cekatan mengenakan pakaian perang istana padanya: gaun panjang berwarna biru tua dengan bordiran lambang kerajaan di dada, dan jubah ringan berlapis pelindung kulit tipis di bawahnya.
Marlien memasang bros berhiaskan safir di kerah Aleandra sambil berbisik, “Yang Mulia... Anda benar-benar tampak seperti Permaisuri Elvarra hari ini.”
Aleandra tersenyum tipis. “Aku harus. Untuk rakyat kita.”
Pintu ruangan diketuk keras. Seorang pengawal masuk, membungkuk dalam.
"Yang Mulia, Raja Rayven menunggu di gerbang istana."
Tanpa banyak bicara, Aleandra berdiri dan melangkah pergi, diiringi Marlien dan dua pengawal. Langkahnya mantap meski dadanya berdegup kencang.
Saat Aleandra tiba di gerbang utama, Rayven sudah berdiri di sana, mengenakan zirah perang perak berkilauan, jubah merah darah menjuntai di belakangnya. Kuda-kuda perang berjajar di sepanjang pelataran, dan pasukan Elvarra sudah bersiap.
Rayven menoleh begitu Aleandra mendekat. Senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. “Kau siap?”
Aleandra mengangguk. “Lebih dari siap.”
Rayven mengulurkan tangan padanya. Ia menaikkan Aleandra ke atas kudanya sendiri — keputusan yang mengejutkan para komandan yang melihat — namun tak satu pun berani membantah. Permaisuri dan Raja akan pergi bersama, memperlihatkan kesatuan di hadapan semua mata.
“Dengarkan aku baik-baik,” bisik Rayven ketika Aleandra sudah duduk di depannya, punggungnya bersandar pada dada Rayven yang kokoh. “Hari ini kita akan ke Redwyne. Kita akan meninjau pertahanan sendiri. Kau harus lihat dengan mata kepala sendiri seperti apa keadaan mereka, Aleandra.”
Aleandra menoleh sedikit, bertemu dengan mata Rayven yang kelam dan tajam.
“Aku ingin itu,” jawabnya mantap.
Rayven menekan perut kudanya dengan tumitnya, dan kuda itu bergerak maju, diikuti barisan panjang pasukan Elvarra. Dari menara-menara istana, rakyat berkumpul melihat keberangkatan mereka, beberapa melemparkan bunga, beberapa meneriakkan doa-doa.
Angin musim semi bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan harapan baru.
---
Perjalanan ke Redwyne berlangsung cepat. Setibanya di sana, Aleandra langsung turun dan menatap benteng kokoh di hadapannya. Benteng itu berdiri megah di puncak bukit, dengan dinding batu abu-abu setinggi dua puluh meter dan panji-panji Elvarra berkibar di menara.
Komandan Benteng, seorang pria berumur dengan bekas luka panjang di wajahnya, menyambut mereka dengan hormat.
“Kami siap berjuang sampai tetes darah terakhir, Yang Mulia!” serunya lantang.
Aleandra mengangguk hormat. “Aku percaya pada kalian.”
Rayven dan Aleandra meninjau benteng, memperhatikan posisi pasukan, suplai makanan, dan jalur rahasia untuk evakuasi. Aleandra mencatat dalam pikirannya semua kekurangan dan segera berdiskusi dengan Rayven.
Mereka berjalan berdampingan di sepanjang tembok benteng saat matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat merah keemasan.
“Kita harus memperbanyak pemanah di sini,” kata Aleandra menunjuk menara pengintai. “Dan pastikan ada cukup minyak panas untuk dilemparkan jika musuh menyerang.”
Rayven meliriknya, kagum. “Kau belajar cepat.”
Aleandra tersenyum kecil. “Karena aku tahu, mempertahankan tahta ini... berarti mempertahankan segalanya.”
Rayven berhenti, memandang Aleandra serius. Ia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Aleandra dengan lembut.
“Aku beruntung memilikimu,” bisiknya.
Aleandra merasa dadanya menghangat. Ia membalas tatapan itu, membiarkan momen itu tersimpan dalam hatinya.
Tapi kemudian teriakan pengintai membelah udara.
“BENDERA DRAVEN! MEREKA MENDATANGI PERBATASAN!”
Semua orang di benteng bergerak cepat. Rayven segera menarik Aleandra ke sisi aman, para komandan berlarian ke pos masing-masing.
Aleandra menggenggam erat jubah Rayven, menahan napas.
Pertempuran yang mereka antisipasi kini telah tiba.
Dan Aleandra tahu — ini adalah awal dari ujian besar yang sesungguhnya.
Untuk dirinya. Untuk Rayven. Untuk Elvarra.
Siang itu, suhu mulai meningkat, membawa rasa panas yang tidak biasa untuk musim semi. Angin sepoi-sepoi yang biasanya menenangkan kini terasa lebih keras, seakan membawa bisikan ancaman dari jauh. Di bawah langit yang tampak semakin mendung, pasukan Elvarra berdiri tegak di sepanjang benteng, mempersiapkan diri untuk menghadapi pasukan Draven yang kini semakin dekat.
Aleandra berdiri di luar ruang komando, memperhatikan segala persiapan dengan cermat. Para komandan berlarian, mengatur pasukan, memeriksa perlengkapan. Ia bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti istana dan seluruh benteng Redwyne. Semua orang tahu, hari ini akan menentukan segalanya.
Rayven berdiri di sampingnya, menatap medan di luar dengan pandangan tajam. "Kita harus bergerak cepat. Mereka sudah terlalu dekat," katanya dengan suara yang dalam, namun penuh perhitungan.
Aleandra mengangguk, matanya berkilau dengan tekad. "Aku tahu. Tapi kita tak bisa hanya menunggu serangan mereka. Kita harus mengalihkan perhatian mereka."
Rayven menatapnya dengan ekspresi sedikit bingung. "Apa maksudmu?"
Aleandra melangkah maju, mendekati peta medan yang tersebar di meja besar di depan mereka. “Jika kita fokus pada serangan di sisi kanan benteng, kita bisa memaksa pasukan Draven untuk memperkuat pertahanan mereka di sana. Kemudian, kita akan serang dari sisi kiri dengan pasukan utama kita.”
Rayven terdiam, memeriksa rencana yang baru disampaikan oleh Aleandra. “Berani, tapi bisa berisiko.”
“Apa gunanya mempertahankan tahta jika kita hanya bertahan tanpa berbuat apa-apa?” jawab Aleandra, tatapannya tak pernah goyah. “Kita harus bertindak, bukan hanya menunggu. Jika kita membiarkan mereka menyerang tanpa perlawanan, mereka akan menganggap kita lemah.”
Rayven mengamati Aleandra dengan seksama, melihat kecerdasan dan ketegasan dalam dirinya. Ia tahu, tak banyak orang yang berani melawan arus seperti ini. “Baik, kita akan lakukan sesuai rencanamu. Tapi pastikan kau tetap aman, Aleandra.”
"Jangan khawatir," jawab Aleandra dengan senyuman tipis. "Aku tahu bagaimana melindungi diri."
Perintah pun diberikan. Pasukan bergerak cepat, dengan komando dari Aleandra yang tak ragu-ragu. Pasukan Elvarra bersiap di sepanjang benteng, membagi diri dalam dua kelompok besar. Satu kelompok bersiap di sisi kanan benteng untuk menggoda musuh, sementara kelompok lainnya dipersiapkan di sisi kiri untuk serangan balasan yang tak terduga.
Matahari yang terik semakin menyengat kulit, sementara kekuatan pasukan Draven semakin dekat. Di kejauhan, Aleandra melihat bendera-bendera mereka berkibar, mengingatkan akan ancaman yang sudah sangat nyata. Sesaat, semua keheningan yang tercipta di antara mereka seakan mengisyaratkan bahwa mereka sudah berada di ambang pertempuran.
Sebelum pertempuran dimulai, Rayven mendekati Aleandra, memegang bahunya dengan kuat. “Aku ingin kamu tetap berada di belakang garis pertahanan. Jangan terlibat langsung dalam pertempuran.”
Aleandra menatap Rayven dengan penuh keyakinan. “Aku tak akan mundur. Jika ini adalah peperangan untuk kerajaan kita, maka aku akan berada di garis depan. Di sisi Anda.”
Rayven menarik napas dalam, menyadari bahwa Aleandra bukan lagi hanya seorang permaisuri yang berdiri di belakang tahta. Dia adalah bagian dari pertempuran ini, sama seperti dirinya. “Hati-hati, Aleandra. Dunia ini mungkin tak selalu memperlakukan kita dengan adil.”
Aleandra mengangkat dagunya sedikit, pandangannya tajam. “Tapi kita akan memperlakukan dunia ini dengan cara kita sendiri.”
Dengan perasaan campur aduk, Rayven akhirnya mengangguk dan berbalik, memimpin pasukannya ke posisi masing-masing.
Suasana yang mencekam semakin terasa, dan di tengah keramaian persiapan perang, Aleandra merasakan ketegangan yang luar biasa. Ia tahu, pertempuran ini bukan hanya soal mempertahankan benteng atau mempertahankan tahta. Ini adalah ujian untuk dirinya, untuk Rayven, dan untuk kerajaan Elvarra yang akan menentukan masa depan mereka.
Di luar benteng, pasukan Draven mulai bersiap, membentuk formasi yang rapi, siap untuk menyerbu. Angin yang berhembus kencang membawa debu-debu kecil yang menari di udara, seakan menyambut pergolakan yang akan datang.
Dan di antara hiruk-pikuk persiapan, Aleandra tahu satu hal: peperangan ini akan mengubah segalanya.
Setelah beberapa jam pertempuran sengit, akhirnya, pasukan Elvarra berhasil mengalahkan pasukan Draven. Teriakan kemenangan bergema di seluruh benteng, sementara Aleandra dan Rayven berdiri di tengah medan pertempuran yang telah lengang, tubuh mereka diliputi debu dan darah, namun wajah mereka berseri. Kemenangan ini adalah milik mereka berdua.
Aleandra menatapnya, napasnya terengah-engah. “Kita berhasil.”
Rayven mengangguk, matanya masih tertuju pada medan yang baru saja dipenuhi dengan kekacauan. “Kemenangan ini bukan hanya milik kita. Ini milik seluruh kerajaan. Kita telah membuktikan bahwa Elvarra tak akan pernah jatuh begitu saja.”
Aleandra tersenyum tipis, namun rasa lelah dan kepuasan bercampur dalam hatinya. “Aku akan memastikan agar setiap pejuang yang gugur mendapat penghormatan yang layak.”
Rayven memegang tangannya, matanya mencari mata Aleandra. “Dan kau, Permaisuri, telah menunjukkan keberanian luar biasa. Kita akan bangun kembali kerajaan ini, lebih kuat dari sebelumnya.”
Mereka berdua kembali ke istana di tengah sorakan para prajurit.
Namun, di balik kemeriahan itu, rasa cemas tak bisa disembunyikan oleh para penasihat kerajaan. Mereka sudah menunggu di ruang rapat utama, siap untuk memberikan laporan kepada raja dan permaisuri.
Saat Rayven dan Aleandra memasuki ruang rapat, suasana yang semula penuh dengan keceriaan mendadak berubah menjadi serius. Para penasihat kerajaan berdiri dengan tegak, menundukkan kepala.
Rayven duduk di kursinya, dan Aleandra mengambil tempat di sampingnya. Seorang penasihat senior, yang sudah lama menjadi tangan kanan raja, maju dengan wajah yang penuh pertimbangan.
“Yang Mulia,” kata penasihat itu dengan suara berat. “Kami ingin memberikan saran penting mengenai kelangsungan kerajaan Elvarra.”
Rayven menatap penasihat itu dengan tatapan tajam. “Apa yang kamu maksud?”
Penasihat itu menelan ludah sebelum melanjutkan, “Demi keberlanjutan takhta dan untuk memastikan keturunan yang kuat untuk kerajaan ini, kami menyarankan agar Yang Mulia, Raja Rayven, mempertimbangkan untuk mengambil seorang selir. Keturunan dari permaisuri adalah hal yang utama, namun dengan situasi yang seperti ini, kami khawatir akan ada kendala dalam pewarisan takhta jika hanya mengandalkan satu garis keturunan.”
Aleandra terkejut, wajahnya langsung memucat. Dia menahan napas, mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa sakit mulai menusuk hatinya. Tak terduga, kata-kata itu seperti tamparan keras di hadapannya.
Rayven terdiam, merasakan ketegangan yang mengisi ruang rapat. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, suaranya mengandung nada serius.
Penasihat itu melanjutkan dengan hati-hati, “Kami menyarankan agar raja mempertimbangkan untuk mengambil seorang wanita sebagai selir, yang bisa memberinya keturunan tambahan untuk memperkuat garis keturunan kerajaan, agar tidak ada ketidakpastian di masa depan.”
Aleandra merasakan rasa panas menyelimuti tubuhnya. Matanya menatap tajam pada penasihat itu, namun ia menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata kasar. Hatinya merasa tertusuk, tetapi dia tahu betul bahwa ini adalah politik kerajaan yang sulit untuk dihindari.
Rayven menatap penasihat itu dengan serius. “Aku sudah memiliki seorang permaisuri yang luar biasa. Apa yang kau katakan ini, adalah hal yang tak perlu. Aleandra adalah segala yang aku butuhkan.”
Penasihat itu menundukkan kepala, menyadari bahwa Rayven sudah memberikan jawaban yang jelas. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. “Tapi Yang Mulia, kita harus memikirkan masa depan kerajaan. Jika hanya ada satu garis keturunan, segala kemungkinan bisa terjadi. Kami hanya ingin memastikan bahwa kerajaan ini tetap berdiri kokoh dan tak ada keraguan mengenai penerus takhta.”
Aleandra menatap suaminya, hatinya terasa hancur. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menyanggah, meskipun kata-kata penasihat itu terdengar seperti serangan terhadap posisinya sebagai permaisuri.
Rayven menghela napas, menatap Aleandra sejenak. “Aku mengerti kekhawatiran kalian. Namun, aku ingin kalian mengerti, keputusan tentang masa depan kerajaan tidak akan ditentukan oleh siapa yang akan menjadi selir, tapi oleh siapa yang benar-benar memimpin dan menjaga Elvarra.” Ia menoleh pada Aleandra, tangannya menggenggam tangan sang permaisuri. “Dan itu adalah aku, bersama Aleandra di sisiku.”
Sebuah keheningan panjang mengisi ruangan sebelum akhirnya penasihat itu membungkuk. “Kami menghormati keputusan Yang Mulia. Kami hanya ingin memastikan bahwa kerajaan ini tetap kokoh.”
Rayven mengangguk, menandakan bahwa pertemuan tersebut telah selesai. Para penasihat pun mundur, meninggalkan istana dengan rasa cemas yang belum sepenuhnya sirna.
Setelah mereka pergi, Rayven menatap Aleandra dengan tatapan lembut. “Kau baik-baik saja?”
Aleandra memaksakan senyum, meskipun hatinya masih terasa teriris. “Aku baik-baik saja, Rayven. Aku tahu, ini bagian dari takdir kita.”
Namun, meskipun ia berusaha tetap kuat, Aleandra tidak bisa menghindari perasaan perih yang menggerogoti hatinya. Satu hal yang ia tahu, keputusan yang harus diambil selanjutnya akan menjadi ujian besar bagi mereka berdua, dan untuk kerajaan Elvarra.
