Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Hari penobatan

Hari pernikahan dan penobatan telah tiba, dan seluruh istana Elvarra diselimuti dengan suasana penuh kegelisahan yang bercampur dengan kemewahan. Pesta besar, upacara yang khidmat, dan segala persiapan telah matang, tapi di balik kemegahan itu, ada dua hati yang masih saling bertarung dengan rasa yang tak terungkapkan.

Aleandra berdiri di depan cermin besar di ruang rias istana, mengenakan gaun putih emas yang mewah. Gaun itu terbuat dari kain satin yang berkilau, dihiasi dengan bordiran halus yang melambangkan kerajaan Elvarra. Ekor gaun itu menjuntai panjang, hampir menyapu lantai yang bersih berkilau. Rambutnya tersanggul tinggi, dihias dengan pin berlian yang mencerminkan cahaya lilin di sekitarnya.

Marlien, kepala pelayan istana, menyelesaikan sentuhan terakhir pada gaun Aleandra. “Tuan Putri, Anda sangat indah. Semua mata akan tertuju pada Anda.”

Aleandra hanya menatap bayangannya di cermin, perasaan campur aduk menggelayuti pikirannya. Dia tahu, hari ini adalah hari yang tak bisa ia balikkan. Setelah ini, segala sesuatu akan berubah. Begitu ia melangkah ke pelaminan, ia bukan lagi Aleandra, wanita biasa. Ia akan menjadi Permaisuri, bagian dari takhta yang tak pernah ia inginkan. Tapi itu adalah harga yang harus ia bayar.

“Kau yakin aku siap?” tanyanya, suara sedikit serak.

Marlien tersenyum lembut. “Yang Mulia, Anda tidak hanya siap, Anda lebih dari siap. Semua sudah dipersiapkan untuk hari ini.”

Saat itu, pintu ruang rias terbuka, dan seorang pelayan masuk dengan membawa sebuah buku besar. “Yang Mulia, waktunya tiba. Ujian sikap dan tata cara untuk menjadi Permaisuri dimulai.”

Aleandra menarik napas panjang. “Aku tahu.” Ia berdiri tegak, siap menjalani apa yang harus ia jalani.

Dengan pelan, pelayan tersebut membuka halaman pertama buku tersebut, yang berisi serangkaian ujian mengenai sikap, etiket, dan tata cara yang harus dipenuhi oleh seorang Permaisuri. Para pelayan dan instruktur kerajaan yang ahli dalam etiket segera mengelilinginya, mempersiapkan segala sesuatu dengan cermat.

“Pertama, kita akan mulai dengan sikapmu sebagai calon Permaisuri,” kata instruktur pertama, seorang wanita yang sudah berumur dengan rambut putih yang tergerai rapi. “Langkah pertama adalah bagaimana cara berjalan. Ingat, Permaisuri harus menunjukkan kedamaian dan keanggunan dalam setiap langkah.”

Aleandra menatapnya dengan tatapan tajam, lalu dengan hati-hati memulai langkah pertama. Kakinya melangkah perlahan, mengikuti garis yang ditentukan di lantai, setiap langkah harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Setiap gerakan tangan dan badan harus seimbang, tidak boleh terburu-buru atau terbuka, melainkan tertutup dan penuh pengendalian.

Instruktur kedua, seorang pria dengan rambut cokelat gelap, berdiri di ujung ruangan. “Sekarang, kita akan melatih bicara. Permaisuri harus memiliki suara yang tenang, jelas, dan penuh pengaruh. Kamu akan menghadapi banyak orang dari kalangan yang sangat berbeda. Apa yang kamu katakan, dan bagaimana cara kamu mengatakannya, akan menentukan bagaimana rakyat dan bangsawan melihatmu.”

Aleandra mengangguk, berusaha menjaga ketenangan. Ia diinstruksikan untuk berbicara dengan berbagai topik yang lebih berat, seperti diplomasi antarnegara dan masalah sosial kerajaan. Dia mengulang beberapa kalimat yang penuh makna, mencoba menjaga suaranya agar tetap lembut namun tegas. Setiap kata yang diucapkannya harus dipikirkan dengan hati-hati. Sebagai seorang calon Permaisuri, setiap ujaran menjadi pertaruhan.

“Apa yang kau pikirkan tentang penobatan ini?” tanya instruktur ketiga, seorang wanita muda yang tampaknya lebih berfokus pada penampilan daripada tata krama.

Aleandra mengangkat dagunya, menatap langsung ke mata instruktur itu. “Penobatan ini tidak hanya tentang perhiasan dan kemewahan. Ini tentang memilih jalan yang tidak bisa aku balikkan. Tapi aku akan melakukannya. Untuk kerajaan ini, untuk rakyatnya. Aku akan mengemban tanggung jawab itu, meskipun aku tahu berat.”

Instruktur itu tersenyum, seolah puas dengan jawabannya. “Bagus. Seorang Permaisuri harus tegas dan tahu arah. Tetapi ingat, ketegasanmu tidak boleh menggantikan kelembutan dan kebijaksanaan.”

Kemudian, pelayan membawa setangkai bunga mawar putih yang diserahkan kepada Aleandra. “Sekarang, ujian terakhir adalah sikapmu terhadap rakyat. Kamu akan menerima bunga ini dan menyerahkannya kepada salah satu rakyat yang datang untuk memberi penghormatan pada Permaisuri. Ingat, kamu harus menunjukkan kasih sayang dan perhatian terhadap mereka, meskipun hati kita terasa berat.”

Aleandra mengambil bunga itu dengan hati-hati, merasakannya dengan lembut di telapak tangannya. Ia berjalan menuju pintu, lalu keluar ke balkon tempat para rakyat menunggu. Kerlip mata mereka tertuju padanya, menantikan aksi yang akan ditunjukkan. Suara gemuruh tepuk tangan terdengar dari bawah, dan senyum mereka bersinar penuh harapan.

Aleandra melangkah ke depan balkon dengan anggun, tangan memegang bunga dengan lembut. Rakyat melihatnya dengan penuh harap, dan ia mengulurkan bunga itu kepada seorang ibu muda yang berdiri di depan barisan.

"Ibu," Aleandra berkata dengan suara tenang dan penuh kelembutan, "ini adalah simbol dari harapan dan kedamaian yang ingin kami berikan kepada rakyat Elvarra."

Mata ibu itu berkaca-kaca, menerima bunga dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Yang Mulia. Semoga kerajaan ini selalu diberkati.”

Aleandra hanya mengangguk, senyum lembut menghiasi wajahnya. Rasa berat yang ia simpan di dalam hati tak bisa disembunyikan sepenuhnya, tapi untuk saat ini, ia memilih untuk menunjukkan wajah terbaiknya. Setelah itu, ia kembali ke ruangannya, merasakan detak jantung yang semakin cepat.

Hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru, perjalanan yang tak akan pernah mudah. Dengan penobatan yang akan segera berlangsung, Aleandra tahu bahwa segala sesuatu yang ia jalani, bahkan setiap sikap dan kata-kata yang ia pilih, akan menentukan masa depannya sebagai Permaisuri.

Dan ia tahu satu hal: ini baru permulaan.

Setelah menjalani ujian yang menguras energi dan emosi, Aleandra kembali ke ruang riasnya. Pikirannya dipenuhi dengan beragam perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah campuran antara keraguan dan keyakinan, harapan dan ketakutan. Ia memandangi dirinya di cermin, wajah yang kini dipenuhi riasan sempurna dan gaun pengantin yang membungkus tubuhnya dengan kemewahan, namun jauh di dalam hatinya, ada ketidakpastian yang tak bisa ia sembunyikan.

Sementara itu, dari luar, suara riuh para tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan dan penobatan mulai terdengar, dengan gemuruh yang semakin lama semakin keras. Kerajaan Elvarra sedang bersiap menyambut sang Permaisuri baru—Aleandra, wanita yang tak pernah membayangkan dirinya akan berada di posisi ini.

Marlien masuk dengan langkah cepat, membawa beberapa pelayan yang membawa mahkota permaisuri dan perhiasan lainnya. “Yang Mulia, waktunya tiba,” kata Marlien dengan suara lembut, meskipun ada ketegangan di dalam nada suaranya.

Aleandra mengangguk pelan, tetapi tak bergerak. “Apa yang akan terjadi setelah ini?”

Marlien menghampirinya dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Setelah ini, semua akan berubah. Anda akan berdiri di samping Pangeran Rayven, memimpin kerajaan ini bersama-sama. Semua mata akan tertuju pada Anda.”

“Semua mata?” Aleandra menatapnya tajam. “Termasuk mata Rayven?”

Marlien mengangguk, dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Tentu saja, Yang Mulia. Semua mata. Termasuk Pangeran Rayven.”

Aleandra menarik napas panjang, merasakan desakan di dadanya. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang ia dan Rayven, tetapi tentang kerajaan, tentang takhta yang harus dilanjutkan, tentang segala sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Namun, ia tak bisa menahan rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Perasaan itu semakin kuat saat ia mendengar suara langkah kaki berat yang mendekat.

“Yang Mulia, kami siap,” ujar salah satu pelayan, memberikan sinyal bahwa semua persiapan telah selesai.

Di luar kamar, suara musik pengiring upacara mulai terdengar, dan seiring dengan itu, para bangsawan dan tokoh penting kerajaan Elvarra sudah mulai mengisi aula besar istana untuk menyaksikan hari bersejarah ini.

Aleandra menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya. Hari ini, ia bukan lagi hanya seorang wanita biasa. Ia adalah calon Permaisuri, yang akan diangkat untuk menjalani kehidupan penuh beban dan peran besar di hadapan rakyatnya.

Saat pelayan mulai menuntunnya keluar menuju aula, hati Aleandra berdebar kencang. Setiap langkahnya menuju pelaminan terasa seperti langkah menuju takdir yang sudah digariskan. Namun, meskipun segala persiapan sudah dilakukan, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: Apakah ia akan bisa menjalani peran ini dengan baik, ataukah akan ada hal-hal yang akan meruntuhkan segalanya?

Aula kerajaan dipenuhi dengan suara tepuk tangan yang menggema saat pintu terbuka, menampilkan Aleandra yang melangkah masuk dengan anggun. Wajahnya terlihatan jelas oleh para tamu yang terhormat. Semua mata tertuju padanya, sebagian kagum, sebagian penuh dengan harapan, dan sebagian lainnya hanya bisa menilai dari kejauhan.

Rayven berdiri di altar, mengenakan jubah kebesaran kerajaan yang berwarna hitam dengan aksen emas, memandang Aleandra dengan tatapan yang sulit dibaca. Dalam hati Aleandra, ia merasakan ketegangan di antara mereka. Meskipun mereka telah berbicara panjang lebar sebelumnya, ada sesuatu yang masih tertahan di udara—sebuah ketegangan yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya.

Aleandra mendekat, langkahnya terjaga dengan sempurna, tetapi hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. Ia tahu, setelah pernikahan ini, segala sesuatu akan berubah. Tak hanya dirinya, tetapi juga hubungan mereka. Kini, ia akan menjadi bagian dari kerajaan Elvarra dengan segala konsekuensinya.

Rayven mengulurkan tangannya begitu Aleandra tiba di hadapannya. “Aku akan memastikan kau tidak pernah menyesal memilih jalan ini, Aleandra.”

Aleandra menatapnya sejenak, merasakan detak jantungnya yang berdebar keras. Ia tahu kata-kata itu hanyalah janji yang belum tentu bisa dipenuhi. Tapi untuk saat ini, ia harus menerima, harus memainkan perannya sebagai calon Permaisuri, apapun yang terjadi.

Dengan perlahan, Aleandra menyambut tangan Rayven dan berdiri di sisinya, siap untuk menjalani pernikahan yang akan diikuti dengan penobatan sebagai Permaisuri Elvarra. Upacara dimulai, dan suara pendeta mengumandangkan kata-kata sakral yang akan mengikat mereka dalam ikatan yang tak bisa lagi diputus.

“Dengan ini, saya mengumumkan Anda berdua sebagai pasangan suami istri, dan Anda, Aleandra, sebagai Permaisuri Elvarra.”

Senyum tipis muncul di bibir Aleandra, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Namun, ia tahu satu hal—sekarang, tak ada jalan mundur lagi. Segala yang ia pilih hari ini akan menentukan masa depannya dan takdir kerajaan yang ada di tangannya.

Saat mahkota permaisuri diletakkan di kepalanya, Aleandra merasakan beratnya beban yang kini tak bisa ia lepaskan. Sebuah perjalanan baru dimulai—perjalanan yang penuh dengan ujian dan pengorbanan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel