Bab 2 Calon Permaisuri
Gaun indah telah ia lepas. Kini ia duduk di depan cermin, hanya mengenakan gaun tidur sutra putih yang mengkilap tertimpa cahaya lilin. Wajahnya masih penuh riasan dari upacara siang tadi, tapi matanya menatap dirinya sendiri tanpa ekspresi.
Pintu terbuka dengan satu dorongan pelan.
Rayven berdiri di ambang pintu, sudah tanpa mantel kerajaan. Kemeja putihnya digulung hingga siku, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya... tak lagi setegas tadi siang.
“Kau tidak ikut pesta?” Aleandra bertanya tanpa menoleh. Suaranya datar.
“Sudah cukup pura-pura untuk satu hari,” jawab Rayven pendek.
Ia masuk, menutup pintu, lalu berdiri di belakang Aleandra, memperhatikan bayangan mereka berdua di cermin. Cermin besar itu memantulkan sosok pria dan wanita yang tampak sempurna—sepasang calon raja dan ratu—tapi nyatanya saling membekukan.
Aleandra berbicara lebih dulu. “Kau ingin mengatur kapan aku tidur juga?”
“Aku ingin bicara.”
“Dengan siapa? Aku? Bukankah aku hanya simbol bagimu?”
Rayven mendesah pelan, seperti menahan sesuatu. “Aku tahu ini bukan hidup yang kau inginkan.”
Aleandra menoleh perlahan, mata mereka bertemu di cermin. “Tapi ini hidup yang kau pilih untukku. Paksaanku.”
Rayven menunduk sejenak, lalu maju dan duduk di tepi ranjang, punggungnya menghadap Aleandra. Suasana terasa aneh—intim tapi penuh duri.
“Aku sudah kehilangan terlalu banyak orang karena kelonggaran,” ucapnya pelan. “Ibuku, sepupuku, pengawalku yang paling setia. Mereka semua mati karena aku terlalu percaya. Terlalu lembut. Aku tidak akan mengulanginya.”
“Lalu kau jadikan aku korban kehati-hatianmu?”
Rayven menatap lantai. “Aku jadikan kau tameng. Karena kau tidak akan mencoba menusukku... jika kau juga punya sesuatu untuk dilindungi.”
Aleandra bangkit dari kursi. Langkahnya pelan, tapi matanya membakar. Ia berdiri tepat di depan Rayven, lalu duduk di hadapannya. Lutut mereka hampir bersentuhan.
“Kalau kau pikir aku tidak akan menusukmu, kau salah.” Suaranya tajam. “Aku bukan boneka. Aku bukan sekadar ‘tampak memesona untuk menenangkan rakyat’. Aku darah dan daging. Aku terluka, Rayven. Dan luka itu akan tumbuh.”
Rayven menatapnya—lama, seolah baru melihatnya sebagai manusia.
Lalu, tiba-tiba, ia berdiri. “Baik. Maka kita sepakat.”
Aleandra menegang. “Sepakat?”
“Kita tidak saling mencintai. Tidak saling percaya. Tapi kita akan berdiri berdampingan. Dan siapa yang lebih kuat, akan memimpin yang lain.”
“Dan kalau aku yang lebih kuat?” tantangnya.
Rayven mendekat, sangat dekat. “Maka aku akan tunduk padamu.”
Hening.
Aleandra menatapnya dalam. Bibirnya melengkung tipis.
“Simpan kata-katamu, Pangeran. Hari itu akan datang lebih cepat dari yang kau kira.”
Rayven tak membalas. Ia hanya menatapnya sebentar sebelum melangkah ke pintu, lalu pergi tanpa suara.
Aleandra berdiri sendiri di kamar megah itu, sorot matanya kini berbeda—dingin, berani, dan menyimpan bara.
Malam itu, pesta rakyat masih menggema di luar. Tapi di dalam istana, perang diam-diam telah dimulai. Perang antara dua jiwa yang sama-sama keras, sama-sama hancur, dan sama-sama tak mau kalah.
Mentari pagi menyapa Elvarra dengan sinar keemasan yang hangat. Dari jendela tinggi kamar calon permaisuri, langit tampak bersih, seolah menandai awal baru yang cerah. Tapi bagi Aleandra, hari ini bukan tentang cahaya—melainkan tentang memainkan peran dengan sempurna.
“Pagi, Yang Mulia,” Marlien menyambut lembut dari sisi ranjang, membungkuk hormat. “Hari ini akan ada pertemuan dengan para penasihat kerajaan dan sesi pengambilan potret resmi. Kami akan mempersiapkan gaun terbaik Anda.”
Aleandra membuka mata perlahan, duduk tegak, dan menarik napas dalam. “Gaun apa yang kau pilihkan hari ini?”
Marlien tersenyum. “Gaun brokat emas gading dengan ekor panjang. Dikirim langsung dari rumah mode kerajaan. Katanya, gaun itu hanya pernah dikenakan Ratu Adelise.”
Aleandra bangkit dari ranjang, berdiri di tengah ruangan dengan punggung tegak. “Baik. Kita buat mereka melihat pewaris tahta Elvarra bukan sekadar simbol... tapi ancaman yang elegan.”
Pelayan-pelayan perempuan masuk satu per satu, membawa nampan penuh perhiasan, sepasang sepatu hak kristal, dan kotak panjang tempat gaun dilipat rapi.
Dengan cekatan mereka bekerja—menyisir rambut Aleandra hingga membentuk sanggul tinggi berhias pin safir, memakaikan kalung berlian di leher jenjangnya, lalu dengan hati-hati menyelubungkan gaun brokat ke tubuhnya. Gaun itu membingkai lekuk tubuhnya tanpa cela, menjuntai indah seperti ombak emas.
“Aku seperti boneka porselen,” gumam Aleandra sambil menatap bayangannya di cermin besar.
Marlien mendekat. “Tapi boneka ini bisa bicara. Bisa memilih. Dan bisa mengguncang singgasana jika dia mau.”
Aleandra menoleh. “Kau tak takut bicara seperti itu padaku?”
“Aku lebih takut jika kau kehilangan keberanianmu.”
Senyum tipis muncul di sudut bibir Aleandra.
“Kalau begitu, ayo kita mulai hari ini.”
Ia melangkah keluar dari kamarnya, dikawal pelayan-pelayan istana yang membungkuk saat ia lewat. Di setiap lorong yang dilewati, para bangsawan dan pejabat muda memalingkan wajah ke arahnya—beberapa kagum, beberapa sinis, tapi semua terdiam ketika dia melangkah.
Begitu sampai di aula pertemuan kerajaan, para penasihat, jenderal, dan tokoh penting berdiri dari kursi mereka. Aleandra berjalan ke tengah ruangan, menyapa dengan anggukan anggun. Semua perhatian tertuju padanya. Rayven sendiri sedang berdiri di ujung aula, mengenakan seragam hitam emas kebesarannya, tatapannya tajam memerhatikan calon istrinya.
Dan saat Aleandra berdiri tepat di sampingnya, ia berbisik tanpa menoleh.
“Siap memainkan peranmu hari ini, Permaisuri?”
Aleandra menjawab dengan suara pelan namun mantap, “Aku bukan sedang bermain peran, Rayven. Aku sedang membentuk takdirku.”
Hari itu, Elvarra melihat calon ratu mereka berdiri dengan megah, gaun emasnya berkilau menandingi cahaya matahari. Tapi hanya sedikit yang tahu—di balik tatapan indah dan senyum anggun itu, Aleandra sedang menenun kekuatan. Benang demi benang. Langkah demi langkah. Menuju hari ketika ia tak hanya berdiri di samping takhta… tapi mungkin, mendudukinya.
Setelah pertemuan panjang dengan para penasihat kerajaan, yang diwarnai oleh diskusi kaku dan penuh tekanan, Aleandra melangkah keluar dari aula besar. Udara di luar istana terasa sejuk, namun di dalam dirinya ada rasa panas yang terus membara. Tugas perannya sebagai calon permaisuri sepertinya semakin jelas—dan semakin mengekangnya.
Ia berjalan dengan langkah mantap di sepanjang koridor istana menuju kamarnya. Langkahnya dihentikan oleh suara seseorang yang memanggil namanya.
“Aleandra.”
Dia menoleh, dan di sana berdiri Rayven, kali ini tanpa seragam kebesarannya, hanya mengenakan mantel hitam sederhana. Wajahnya tetap dingin, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya—sesuatu yang sulit ditangkap oleh Aleandra.
“Pangeran,” jawabnya tanpa menunjukkan ekspresi. “Ada apa?”
Rayven berjalan mendekat dengan langkah tenang, matanya tidak lepas dari wajahnya. “Aku tahu hari ini berat bagimu.”
Aleandra tertawa miris, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Rayven. “Bagiku? Aku tahu ini berat untukmu. Melihatku berdiri di sampingmu, pura-pura bahagia, sementara hatiku terperangkap dalam jaring takdir yang kau buat.”
“Aku tidak meminta ini untukmu, Aleandra,” jawab Rayven, suaranya kini lebih lembut, meskipun masih penuh kepahitan. “Aku tahu kau tidak mencintaiku, dan aku tak berharap kau melakukannya. Tapi aku butuh kau untuk bertahan di sini. Demi Elvarra. Demi kerajaan ini.”
Aleandra menatapnya, matanya keras. “Dan kau pikir aku akan bertahan hanya demi kerajaanmu? Hanya demi takhta yang kau inginkan? Aku juga punya hidupku sendiri, Rayven.”
Rayven terdiam sejenak, menatap wajah Aleandra dengan kesunyian yang dalam. “Aku tahu. Tapi kadang, takdir memaksa kita untuk berperan dalam drama yang tidak kita pilih. Kita tidak selalu memiliki pilihan.”
Aleandra melangkah mundur sedikit, tak mampu menahan rasa frustrasi yang muncul begitu saja. “Jika hanya itu yang kau tawarkan padaku, lebih baik aku pergi. Lebih baik aku memilih jalan sendiri.”
Rayven menghela napas panjang. “Kau tidak bisa pergi. Tidak sekarang. Kalau kau pergi, perang akan pecah, dan kerajaan ini akan hancur. Semua yang kita perjuangkan selama ini akan runtuh.”
“Aku tidak takut pada perang. Aku takut pada hidup yang penuh kebohongan, pada hidup yang dibangun dengan paksa, tanpa ada cinta atau kejujuran.”
Ada kilatan gelap di mata Rayven. “Itu yang paling sulit dihadapi. Tidak ada cinta dalam kerajaan ini, Aleandra. Tidak ada ruang untuk itu. Semua yang ada hanya kekuasaan. Aku tahu itu, dan kau juga tahu.”
Aleandra merasa dadanya sesak. “Lalu kenapa kau memaksaku terjebak dalam kebohongan ini?”
Rayven menghadapnya, seolah tak bisa menahan kata-kata yang selama ini terkubur dalam hatinya. “Karena aku tidak bisa menghadapi kenyataan jika aku sendiri yang gagal. Aku tidak bisa sendirian, Aleandra. Aku butuh seseorang yang bisa mengisi kekosongan itu. Dan kau... kau yang paling dekat.”
Aleandra menatapnya, wajahnya terbelah antara marah dan bingung. “Jadi, kau menganggap aku hanya sebagai pelengkap takhtamu?”
Rayven menunduk, seolah kata-katanya tak cukup untuk menjelaskan segala sesuatunya. “Tidak. Tapi aku butuh kau untuk tetap hidup dalam permainan ini. Karena jika kau pergi, maka aku akan benar-benar sendirian.”
Keheningan melingkupi mereka. Aleandra tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya bisa melihat pria di depannya—pria yang hampir tidak pernah menunjukkan kelemahannya, yang tampaknya selalu penuh perhitungan, kini justru mengungkapkan sesuatu yang lebih manusiawi, lebih rapuh. Sesuatu yang mengingatkannya bahwa di balik semua kekuasaan dan ketegaran itu, ada rasa takut yang sama.
“Kau pikir aku akan bertahan karena takut melihatmu jatuh?” Aleandra bertanya, suaranya perlahan.
Rayven menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Tidak. Aku tidak ingin kau bertahan karena itu. Tapi karena kau memilihnya. Karena kau tahu, pada akhirnya, kita akan saling membutuhkan.”
Aleandra terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah ada bagian dari dirinya yang mulai memahami sesuatu yang lebih besar dari sekadar takhta atau kekuasaan. Tapi entah mengapa, ia merasa tidak siap untuk menerima kenyataan itu.
Dengan suara pelan, Aleandra akhirnya berkata, “Aku akan bertahan. Tapi bukan karena aku memilihmu. Aku bertahan karena aku belum menemukan jalan keluar dari semua ini.”
Rayven mengangguk perlahan, seolah tahu bahwa jawabannya bukanlah jawaban yang diinginkan, namun juga bukan jawaban yang bisa dihindari.
“Aku akan memastikan jalan itu ada, Aleandra,” katanya pelan.
