Chapter 9
Gue pikir saat Daniel ngajak gue untuk nemenin dia jalan tuh ya mejengin cewek. Ngobrol-ngobrol bareng cewek. Terus berakhir pacaran seperti yang selalu dia lakukan tiap harinya yang sudah pasti dapet cewek baru dan memamerkannya ke gue.
Tapi gue salah. Ternyata tujuan pertama Daniel saat gue duduk nggak tenang di belakang motornya yang mengharuskan gue nungging adalah ke bioskop.
Bayangin dong. Gue sebagai manusia yang nggak punya waktu dan bahkan nggak hobi nonton diajak nemenin dia buat nonton dengan alasan tiket yang dikasih saudaranya yang udah mau expired!?
Gue yang mengetahui tujuan sebenarnya saat dia berhentiin motornya didepan bioskop yang bahkan nggak pernah gue datengin ini langsung mencak-mencak setelah turun dari motornya.
"Lo ngapain ngajak gue sih kalo mau nonton segala. Lo kan bisa bawa cewek baru lo yang lo cium tadi disekolah buat gunain tiket yang udah mau ekspayet itu!" ucap gue sambil dengan kasar menyodorkan helm kepadanya.
Daniel terkekeh pelan, lalu kemudian ikut turun dari motornya dan merapikan pakaian yang terlihat stylist berbeda dengan gue yang seadanya yang cuma pake hoodie tanpa daleman dengan celana jeans yang lututnya robek-robek. Pokoknya beda jauh lah. Gue berasa jadi pembantu dari seorang tuan muda.
"Tadinya sih gue mau ngajak cewek gue. Tapi dia bilang nggak bisa. Makanya gue ngajak elo. Lagian kan lo nggak boleh nolak. Inget, siapa yang nyelametin nyawa elo." ujarnya yang mengingatkan gue akan kejadian beberapa jam yang lalu yang gue sesali karena sempat panik melihat dirinya nggak sadarkan diri.
"Kalo tau lo bakal cuma pingsan mah, gue oke-oke aja jatoh tadi di perpus." cibir gue. Lalu berbalik untuk mendahuluinya masuk ke dalam gedung.
Gue melihat sekitar gue yang tidak memiliki banyak pengunjung namun cukup bagi pemandangan gue untuk melihat cewek-cewek yang umurnya diatas gue dengan paras cantik dan ngebuat gue sulit untuk berpaling dari mereka. Apalagi saat satu cewek tertangkap dari pandangan gue yang lagi duduk di kursi panjang dengan satu kaki yang ia lipat di atas kaki satunya, dengan ponsel yang sedang ia gunakan untuk berfoto.
Gue memandangnya tanpa henti. Bahkan kalo bukan karena Daniel yang menepuk bahu gue untuk menoleh, gue akan terus memandangi cewek itu yang pengen banget gue datengin terus kenalan.
"Lo liatin apa sih? Film yang ada ditiket setengah jam lagi bakal mulai. Ayo sini bantuin gue ngantri popcorn nya." ucap Daniel sambil meraih lengan gue untuk ia tarik paksa mengikutinya.
Gue yang enggan pun sempat menahan berat badan gue untuk menyulitkan Daniel. Tapi karena gen bule yang dia miliki, jadi tenaganya sangat kuat sehingga gue dengan pasrah diseret olehnya dan berdiri dibelakangnya untuk mengantri makanan yang bahkan nggak gue suka. Gue lebih suka yang manis dari pada gurih seperti berondong jagung atau semacamnya.
Butuh beberapa menit untuk menunggu giliran Daniel membeli popcorn di kasir. Sampai akhirnya setelah dirinya selesai, kini giliran gue yang dihadapkan oleh penjaga camilan itu yang sayangnya harus gue tunda pesanan gue begitu mendapat tepukan dibahu gue yang ngebuat dengan cepat menoleh.
"Maaf, tapi boleh aku duluan nggak yang beli? Filmnya dimulai lima menit lagi." ujar seorang cewek dengan suara lembut yang menenangkan hati gue. Bukan hanya itu, bahkan cewek yang saat ini ada di hadapan gue adalah cewek yang gue liat sebelum Daniel nyeret gue tadi.
Jadi dengan begitu gue tambah berpikir langsung menggeser tubuh gue keluar dari barisan dan menyuruhnya maju dengan senyuman yang gue usahain mempesona untuk dilihat.
"Makasih ya." ucap cewek itu lagi.
"I-iya, sama-sama." balas gue yang nggak bisa lepas untuk terus menatapnya.
Cewek itu tersenyum manis lalu berbalik untuk memesan pesanannya. Sementara gue yang menerima senyum itu merasakan serangan yang hebat pada jantung gue yang berdetak cepat.
Gue menaruh satu tangan gue di dada, lalu merasakan jantung gue berdebar kencang. Dengan mata yang masih terus menatapinya yang kini sudah membelakangi gue. Namun itu nggak berlangsung lama, karena gue kembali merasakan tarikan paksa yang berasal dari lengan gue yang tentu saja pelakunya adalah Daniel.
Karena gue nggak mau terus-terusan diseret kayak gini. Apalagi orang-orang udah memandang gue yang kayak anak mau diculik. Gue pun dengan kuat menarik tangan dan menghempaskan tangannya menjauh.
"Lo apa-apaan sih, Niel? Kenapa lo suka banget narik-narik tangan gue? Sakit bego!" marah gue padanya, lalu melihat lengan gue yang kemerahan akibat cengkeraman tangan Daniel yang kuat pada lengan gue.
"Terus apa maksud lo ngasih antrian lo ke cewek tadi?" tanya Daniel balik yang ngebuat gue heran mendengarnya.
"Ya terserah gue lah! Itu kan antrian gue, kenapa lo yang sewot? Lagian siapa sih yang bisa nolak permintaan dari cewek cakeo kayak dia?" balas gue yang sedikit tersulut emosi.
"Gue. Gue nggak bakal mau ngasih antrian gue gitu aja karena alasan dia cantik." ucapnya.
Gue berdecih mendengarnya.
"Itu karena elo udah terbiasa sama cewek cantik. Nah gue, gebetan gue aja selalu elo rebut! Gimana nggak kayak gitu reaksi gue kalo gue aja jarang punya kesempatan untuk deket sama cewek yang mukanya kayak dia!" ucap gue padanya.
"Nggak gitu maksud gue, Vin." ucapnya yang sudah sedikit memelan nada suaranya yang tadi sempat meninggi.
"Ah udahlah! Bete gue sama lo!" balas gue lalu kemudian berjalan mendahuluinya setelah sebelumnya merebut tiket yang ada tangannya karena bagaimanapun gue harus nonton film ini untuk memenuhi permintaannya sesuai perjanjian yang gue setujui sendiri.
Gue melirik sebentar untuk membaca apa yang tertera di tiket. Dan setelah tau dimana tempat gue nonton berada. Gue pun mempercepat langkah gue untuk masuk ke dalam ruangan remang-remang yang sudah ada beberapa orang disana. Gue bahkan nggak noleh kebelakang untuk mencari tau posisi Daniel saat ini dimana.
Gue nggak perduli. Dia yang salah, dia udah ngerusak mood gue yang bahkan baru gue rasakan mood bahagia saat liat cewek itu. Yang gue pikirin saat ini adalah menyelesaikan waktu nonton gue, abis itu gue langsung balik menggunakan taksi tanpa naik motor bareng Daniel lagi. Bodoh amatlah mau ongkosnya mahal. Yang penting gue nggak ngeliat mukanya untuk sementara.
Dalam 30 detik film akan di putar. Dan itu ngebuat gue langsung mengambil tempat duduk yang tersembunyi supaya Daniel sulit mencari gue dan nggak duduk disamping gue yang mungkin itulah harapannya saat mengajak gue kesini.
Tapi baru aja angka 30 tadi sudah berubah angka 00. Sosok Daniel sudah duduk disampingn gue dengan napas yang memburu yang saat ini tengah ia usaha atur agar kembali normal. Gue yang mendengar itu berusaha nggak memperdulikannya dan tetap fokus menatap layar bioskop tanpa ingin menoleh padanya.
Dan untungnya Daniel paham. Dia nggak ngomong apapun ke gue selama film berlangsung hingga akhirnya film selesai dan ruangan bioskop menjadi terang yang menampak beberapa penonton yang berdiri dari kursinya untuk keluar dari ruangan itu. Begitu juga dengan gue, yang bergegas untuk keluar dari sana dengan langkah cepat supaya Daniel nggak bisa msngejar gue.
Tapi karena lagi-lagi masalah fisik Daniel yang selalu unggul. Jadi gue dengan mudah disusul saat gue udah berada di luar gedung bioskop itu. Dia bahkan kembali menahan tangan gue agar gue nggak biaa kabur.
"Lepasin, Niel. Gue mau pulang." ucap gue dengan nada malas, karena emang gue lagi nggak mau emosi ditempat ramai yang banyak pasang mata memperhatikan.
"Iya, lo boleh pulang. Kalo lo pulangnya bareng gue." ucapnya. Gue pun segera menggeleng pulang.
"Gue nggak mau. Gue lagi bete deket-deket sama lo. Gue mau naik taksi! Lepasin tangan gue sekarang." ucap gue padanya sambil menepuk tangannya yang menggenggam lengan gue.
Bukannya ngelepasin. Daniel malah menyeret gue lagi hingga akhirnya berhenti tepat disamping motornya.
"Nggak ada taksi-taksian, Vin. Lo pergi bareng gue. Jadi pulang juga bareng gue." ucapnya yang dengan entengnya memerintah gue seenaknya.
"Terserah gue lah mau pulangnya bareng siapa. Mau sama begal kek, pencuri kek, setan kek. Yang penting nggak sama elo. Gue bener-bener lagi nggak mau liat muka lo, Niel. Jadi lepasin gue." ucap gue padanya.
"Lo kenapa sih? Kenapa lo tiba-tiba marah begini? Masa iya gara-gara cewek yang bahkan lo sendiri nggak kenal." balasnya.
"Gue kenal kok!" ucap gue nggak mau kalah darinya.
"Kalo lo kenal. Siapa coba namanya? Tinggal dimana?" tanyanya yang ngebuat gue kikuk sebentat namun akhirnya gue menjawab walaupun harus dengan jawaban yang tentu saja untuk ngeles dari ucapannya.
"Kenal tuh bukan berarti harus tau nama dan alamatnya. Yang penting lo liat mukanya, terus lo ngerasa kenal. Udah itu aja." ucap gue.
"Udah. Lepasin gue cepet. Gue mau nyari taksi. Jangan bikin gue nggak mau ngeliat lo selamanya ya!" ancam gue padanya yang tentu saja gue yakini nggak akan berfek padanya. Karena setelah dipikir-pikir nggak ada untungnya bagi dia kali gue mau ngeliat dia setiap saat.
Tapi gue salah. Dia malah langsung melepaskan tangan gue dengan cepat dan menghembuskan napas perlahan untuk kemudian menaruh kedua tangannya dibahu gue.
"Oke. Gue minta maaf atas kelakuan gue yang mungkin menyinggung hati lo dan ngebuat lo badmood sampe-sampe acara malem ini jadi acara nonton yang paling nggak ngenaik yang pernah gue alamin. Jadi lo berhenti nyari taksi dan maksa pulang sendiri ya. Disini ada gue, ada motor gue. Lo berangkat sama gue, jadi lo balik juga harus bareng gue. Ok?" ujarnya yang langsung gue jawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa?" tanyanya bingung dengan kedua tangan yang ia tarik kembali dari bahu gue.
"Cara lo minta maaf nggak tulus. Apaan tuh, minta maaf kok malah keliatan kecewa. Nggak terima gue permintaan maaf lo." balas gue dengan kedua tangan yang gue lipat di dada.
"Oh come on! Apa gue harus nyarik cewek itu dan nanyain namanya terus bilang kalo lo jatuh cinta pada pandangan pertama gitu?" ucapnya yang terlihat frustasi, tapi gue tanggapi dengan anggukan antusias.
"Ide bagus tuh. Sana pergi, kapan lagi gue bisa kenalan sama cewek modelan begitu." ucap gue padanya.
Bukannya ngelakuin apa yang udah dia omongin. Dia malah menatap gue marah.
"Nggak ada! Pokoknya lo pulang bareng gue! Sekarang!" ucapnya lalu kembali memaksa gue pulang menaiki motornya yang akhirnya gue mengalah karena ancaman-ancaman yang dia lontarkan yang ngebuat gue nggak berdaya.
Jadi saat ini gue dengan muka badmood naik motor di belakangnya, dan terus memaki-makinya karena pada akhirnya gue nggak bisa mengalahkan Daniel dalam segala aspek.
Entahlah. Mungkin udah takdir gue, dan takdir Daniel juga yang terlahir dengan nasib yang hampir sempurnya. Berbeda dengan gue yang selalu sengsara dan haus akan wanita yang bahkan belum pernah merasakan apa itu pacaran.
Menyedihkan memang. Tapi gue nggak akan menyerah.
