Chapter 8
Sudah hampir satu jam gue nungguin Daniel tersadar dari pingsannya.
Gue cukup bersyukur karena kejadian tadi nggak mengakibatkan hal buruk ke tubuh Daniel yang hanya mengalami pingsan dan nggak menimbulkan sesuatu yang berbahaya.
Gue panik banget tadi. Malah muka Daniel keliatan nggak bersalah pas pingsan. Kan gue yang sebagai penyebab dirinya pingsan jadi merasa orang yang paling jahat yang sering marah-marah sama dia. Tapi setelah dipikir-pikir penyebab gue marah kan dia.
Bodoh lah. Yang penting saat ini gue nebus kesalahan gue dulu dengan cara nungguin dia bangun. Biarlah gue ketinggalan mata pelajaran terakhir. Yang penting Daniel bangun, dan rasa bersalah yang ada di hati gue hilang dan gue bisa tenang setelahnya.
Tapi ngomong-ngomong nih orang kok pingsan lama banget. Udah satu jam gue nungguin sampe gue kelaperan, belum bangun-bangun juga. Perasaan kalo orang pingsan cuma butuh beberapa menit aja buat bangun terus sadar lagi. Nah ini, masih merem aja. Apa jangan-jangan karena kepalanya kebentur lantai ya? Terus dia pendarahan di dalam, terus kondisinya ternyata parah, terus nanti dia mati, dan nyokap bokapnya nyalahan gue, terus gue berakhir di penjara dan ujung-ujungnya di hukum mati.
Gue yang memikirkan itu seketika panik. Gue bangkit dari duduk gue dan berjalan mendekat ke arah Daniel yang di baringkan di bangsal UKS lalu menyentuh kepalanya untuk meriksa suhu tubuhnya yang gue rasa normal-normal aja.
Nggak merasa puas. Gue pun mengangkat kepalanya dan meraba bagian belakang kepalanya memastikan kalau nggak ada luka atau darah yang membekas disana. Dan lagi-lagi gue nggak menemukan ada luka disana. Gue bernapas lega, lalu mengembalikan posisi kepala Daniel seperti semula. Namun sayang, saat gue melakukannya tangan gue terasa keram sehingga membuat gue dengan cepat menarik tangan gue dari kepalanya dan menyebabkan kepala Daniel sedikit keras menyentuh bantal yang nggak empuk-empuk amat itu.
"Argh!" erang suara seseorang yang sangat berat.
Gue yang mendengar itu membesarkan mata gue dan dengan spontan menoleh ke sekitar untuk memastikan kalo cuma gue dan Daniel yang ada diruangan ini. Dan emang iya, cuma gue sama Daniel aja disini. Jadi udah pasti kalo bukan gue yang mengerang, pasti Daniel orangnya.
Menyadari hal itu gue pun segera memperhatikan wajah Daniel yang ternyata udah melek dan menatap gue dengan tatapan curiga yang ngebuat gue mau nggak mau sewot menanggapinya.
"Apaan lo natep gue kayak gitu?" tanya gue padanya.
"Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain disini sendirian terus megang-megang kepala gue segala?" balas Daniel sambil berusaha duduk dari posisinya. Ia sedikit mengerang sambil memegangi kepalanya, lalu setelahnya ia bersandar di sandaran bangsal yang ia naiki.
"Gue udah dari tadi disini nungguin lo." ucap gue yang merasa lega Daniel emang nggak apa-apa karena dia bisa membantah ucapan gue barusan.
"Nungguin? Nggak salah denger gue?" tanyanya.
"Emang kuping lo bermasalah?" tanya gue balik yang membalas dirinya saat kejadian di depan cafe beberapa hari yang lalu.
Daniel menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
"Lo nggak apa?" tanyanya yang mengganti topik pembicaraan.
Gue yang bingung menaikkan kedua alis gue. "Hah?"
"Tadi lo jatoh dari tangga." ucapnya.
"Ahh iya. Gue nggak apa kok. Gue yang harusnya nanya itu. Lo nggak papa kan? Lo yang udah nyelametin gue tadi sampe-sampe lo pingsan dan baru bangun sekarang." ujar gue menjelaskan apa yang terjadi.
Daniel tersenyum tipis lalu mengelus kepala bagian belakangnya. "Bagus deh." ucapnya.
"Bagus apanya?" tanya gue bingung.
"Eh? Bagus karena gue nggak kenapa-kenapa. Emangnya lo pikir apa?" tanyanya yang kelihatan panik.
"Ya nggak ada sih. Cuma ya... gue mau ucapin terima kasih ke elo karena udah sigap nolongin gue. Seandainya gue yang ngebentur lantai tadi. Udah pasti nyawa gue udah melayang." balas gue yang memang udah memikirkan hal itu sedari tadi.
"Jangan sembarang ngomong. Gue nolongin karena gue nggak mau hal itu terjadi." ujarnya.
Gue mengangguk menanggapinya, lalu meminta maaf padanya.
"Tapi gue masih penasaran tentang alasan lo mau nyelametin gue. Kalo secara logika sih pasti lo ogah banget nolongin gue, secara kita nggak deket. Bahkan kita sering berantem. Jadi, apa alasan lo yang suka rela mau nyelametin gue?" tanya gue padanya.
"Sukarela? Lo pikir gue ngelakuin itu nggak minta imbalan?" ujarnya yang ngebuat gue seketika membuka mata dengan lebar.
"Jadi lo nyelametin gue karena ada maunya? Wah... lo.. nggak habis pikir gue." ucap gue sambil menatapnya nggak percaya dengan fakta yang gue denger langsung dari mulutnya.
Namun karena gue nggak mau lama-lama berada didekatnya setelah tau kalo dia nyelametin gue untuk sesuatu yang belum gue tau apa itu. Jadi gue dengan berusaha sabar menanyakan apa yang dia inginkan.
"Karena kejadian tadi bisa membahayakan nyawa gue. Gue bakal minta 3 permintaan yang lo harus turutin apapun itu yang gue inginkan. Kalo lo nolak, lo harus bersedia jatoh dengan posisi dan ketinggian yang sama seperti yang gue alami tadi. Gimana, lo mau?" ucapnya yang ngebuat gue menghela napas kasar.
Gue menggelengkan kepala gue sambil terus menyabarkan hati gue yang sudah memaki-maki sosok Daniel yang memiliki otak jahat yang pastinya selalu menyiksa gue.
Harusnya gue tau ini akan terjadi. Sehingga gue nggak perlu repot-repot untuk menungguinya sampai gue tertinggal pelajaran bahkan sekarang bel pulang udah berbunyi dan gue masih disini bersamanya. Begonya gue udah merasa bersalah sama orang yang bahkan menolong gue dengan pamrih.
"Gimana? Lo mau nggak? Waktu lo nggak banyak untuk jawabnya." desak Daniel.
"Iya, iya! Gue mau! Puas lo?" balas gue yang nggak bisa berpikir panjang karena desakannya dan waktu pulang sekolah yang ngebuat gue pengen cepet-cepet pergi dari sini.
Daniel tersenyum senang. Lalu kemudian dengan mudahnya ia turun dari bangsal tempatnya duduk lalu berjalan ke arah gue.
"Untuk permintaan pertama gue. Gue mau elo pulang sekolah bareng gue setiap hari. Dan itu dimulai hari ini." ujarnya.
Gue mengerinyit heran dengan permintaannya barusan.
"Permintaan macam apa itu? Penting banget gue sampe-sampe lo mau pulang tiap hari bareng gue? Lo kan sibuk banget. Sibuk nyari cewek baru buat lo mainin." ucap gue mengutarakan kekesalan gue atas perbuatannya selama ini yang terus merebut gebetan gue.
Daniel berdesis sambil dengan satu jari yang ia taruh di bibir gue untuk membuat gue bungkam, lalu kemudian berkata dengan nada yang berbisik.
"Jangan banyak sanggahan ya. Permintaan gue mutlak, dan lo harus nurutinnya. Kalo enggak, lo tau harus apa kan?" ujarnya yang mengingatkan gue dengan perjanjian gue setujui sendiri.
Gue kembali menghela napas dan kemudian mengangguk untuk menjawabnya. Setelah itu gue berbalik dan berniat untuk keluar dari ruang UKS untuk mengambil tas gue dan juga Daniel yang masih ada di kelas.
"Gue tunggu diparkiran ya!" teriak Daniel setelah gue keluar dari ruang UKS.
Gue nggak menjawabnya, dan mempercepat langkah gue untuk menuju kelas dengan hati dongkol yang gue rasakan. Bahkan gue nggak memperdulikan beberapa murid yang menyapa gue saat gue lewat di koridor.
"Baru aja gua mau nganterin tas elu." ucap Reno begitu gue udah sampai di dalam kelas dan mendapati sosok Reno yang baru saja berdiri dari duduknya dan hendak meraih tas gue yang tergeletak di atas meja.
Gue tanpa membalas ucapannya, segera mengambil tas gue dengan gerakan cepat lalu berjalan ke kursi Daniel dan mengambil tasnya juga.
"Loh, ngapain lu bawa tas dia?" tanya Reno heran.
"Karena gue harus pulang sama dia, Ren." jawab gue.
"Kondisi dia parah ya? Waduh, gawat dong. Lu bisa kena tuntut orangtuanya nanti." ucap Reno yang sama sekali nggak berpengaruh sama gue yang mengetahui kebenaran keadaan Daniel yang nggak papa dan malah membuat gue bakal tersiksa di hari-hari berikutnya dengan dua sisa permintaannya.
"Lo duluan aja, Ren. Gue nggak jadi nebeng sama elo. Soalnya Daniel minta gue ikut pulang bareng sama dia." ucap gue sambil berjalan berdampingan dengan Reno keluar kelas.
"Iya. Lu kan udah bilang tadi. Lu baik-baik ya. Jangan sampe kenapa-kenapa bareng sama dia. Ntar lu kena pukul lagi." ucap Reno memperingati dengan satu tangan yang menepuk bahu gue. Gue membalasnya dengan senyum tipis yang kemudian segera melanjutkan perjalanan gue yang berbeda arah dengan Reno yang menuju parkiran sedangkan gue menuju UKS.
Namun saat gue udah mau sampe ke ruangan itu. Gue teringat teriakan Daniel yang berkata kalau dirinya menunggu gue diparkiran, dan itu ngebuat memaki diri gue sendiri yang dengan bodohnya melupakan ucapan Daniel yang akhirnya ngebuat gue capek sendiri bolak-balik dengan jarak yang cukup jauh untuk gue tempuh.
"Lama banget. Gue kira lo kabur tadi." ucap Daniel begitu gue udah sampai didepannya.
Gue nggak menanggapi ucapannya dan memilih untuk mengulurkan tasnya yang ringan ke arahnya. Daniel menerima tas itu dan langsung memakainya di punggungnya. Melihat itu membuat gue bernapas lega karena Daniel nggak menyuruh gue untuk membawanya juga.
"Lo habis lari ya?" tanya Daniel dengan satu tangan yang ia ulurkan untuk mengelap keringat gue yang membanjiri jidat gue.
"Keringet lo banyak banget." lanjutnya. Gue yang menerima perlakuan itu hanya pasrah. Karena gue emang lagi capek dan enggan berdebat. Jadi dengan begitu gue mengikuti semua perintahnya termasuk menaiki motornya untuk segera pulang ke rumah. Bukan hanya itu, gue pun juga menurutinya saat dia menyuruh gue untuk memeluknya supaya gue nggak jatuh dan membahayakan diri gue.
Dan saat gue melakukannya, gue segera saja menyadari sesuatu saat gue menghirup aroma tubuhnya yang berbeda dari terakhir kali yang gue inget.
"Lo ganti parfum, Niel?" tanya gue padanya saat mulai menyalakan mesin motornya.
Daniel mengangguk.
"Lo ganti parfum karena gue nggak suka sama parfum lo sebelumnya?" tanya gue yang berharap kalau itu benar. Tapi nggak, Daniel menggeleng lalu kemudian menjawab.
"Parfum yang kemaren udah nggak stoknya di tempat langganan gue. Makanya gue beli yang lain." jawabnya.
"Ohh.. bagus deh. Gue suka wanginya. Wangi coklat." ucap gue lalu kemudian dengan santai menempelkan wajah gue dipunggungnya untuk menghirup lebih lama aroma tubuh Daniel yang saat ini sudah melajukan motornya untuk pulang ke rumah.
Entah gue yang terlalu fokus menghirup aroma yang gue suka, atau emang Daniel yang ngebut saat pejalanan pulang tadi. Yang jelas, tanpa gue sadari Daniel udah berhenti di depan gerbang rumah gue dan menyuruh gue turun dari motornya dengan mengucapkan kalimat kalo kita udah sampe rumah.
Gue yang tersadar langsung melepaskan pelukan gue dari tubuhnya, lalu kemudian turun dari sana dan melepaskan helm yang gue kenakan untuk mengembalikannya pada Daniel. Setelah itu gue berterima kasih dan hendak berbalik untuk membuka gerbang, namun hal itu segera gue urungkan begitu Daniel memanggil nama gue dan menyuruh gue mendekat.
"Apa?" tanya gue padanya.
"Gue mau pake permintaan gue yang kedua." jawabnya. Mendengar itu ngebuat gue memutar kedua bola mata gue.
"Apa permintaan lo?" tanya gue dengan malas.
Daniel tanpa berpikir langsung menjawab.
"Gue mau lo malem ini bersiap untuk nemenin gue jalan keluar." ujarnya.
"Nemenin lo? Kemana? Kenapa harus gue? Lo kan punya banyak cewek." balas gue yang heran setengah mati dengan permintaannya yang nggak masuk akal dan sulit untuk gue percaya.
Gue pikir dia bakal meminta hal-hal yang ngebuat gue kesusahan. Tapi dari permintaan pertama dan sekarang kedua, nggak ada sama sekali yang ngebuat tersiksa. Ini membuat gue curiga.
"Nggak mungkin kan gue ngajak cewek untuk ngangkat barang-barang berat?" ujarnya yang ngebuat gue tersadar kalau nggak ada hal yang nggak membuat gue tersiksa atas apa yang Daniel katakan.
Gue terlalu cepat menilai. Harusnya gue tau saat permintaan kedua dia meminta agar gue ikut dengannya. Ya apalagi? Pasti siksaan yang bakal bikin gue kelelahan.
"Gimana, lo mau?" tanyanya.
"Gue bisa nolak?" tanya gue balik. Dia menggelenh kuat.
"Terus kenapa lo nanya, setan!" geram gue. Daniel terkekeh pelan.
"Oke deh. Jangan lupa malem ini ya. Jam 7, gue tunggu disini nanti." peringatnya. Gue mengangguk mengerti.
"Gue balik ya." tambahnya lalu kemudian mengulurkan satu tangannya untuk ia taruh di kepala gue dan mengacak rambut gue pelan.
Gue yang merasakan itu segera menepis tangannya kuat.
"Apaan lo! Elus-elus kepala gue! Jijikin tau nggak!" balas gue padanya. Lalu tanpa menunggunya pergi, gue berbalik duluan dan segera membuka gerbang untuk masuk ke dalamnya dan meninggalkan Daniel yang entah sedang apa. Yang jelas gue nggak perduli padanya.
