Pustaka
Bahasa Indonesia

Perfect Buddy

58.0K · Tamat
A L F I C T
35
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Intinya, gue paling benci sama yang namanya Daniel Adhitama Kendrick. Cowok setengah bule yang selalu mengambil alih gebetan gue.~Cerita bergenre LBGT, GAY, Dan sejenisnya.

Cinta Pada Pandangan PertamaGAYTeenfictionSweetKeluargaSalah PahamMenyedihkanMemanjakanBaper

prolog

"Maaf, Vin. Kayaknya gue nggak bisa jadi pacar elo deh." ujar Fina. Cewek cantik yang saat ini berdiri di hadapan gue dengan kepala yang menunduk.

"Loh, kenapa, Fin? Bukannya lo bilang lo udah nyaman sama gue? Gue juga udah nyaman sama elo. Makanya gue berani nembak lo sekarang." ujar gue, dengan nada heran dan sedikit rasa tidak terima dengan ucapannya sebelumnya.

"Iya. Gue nyaman sama elo. Tapi hanya sebagai temen. Nggak lebih. Dan yang lebih penting, gue...udah punya orang lain di hati gue." ucapnya, yang membuat gue terdiam beberapa saat dengan jantung yang berdetak kencang.

Gue menggeleng pelan. "Nggak. Itu nggak mungkin kan? Baru kemaren lo bilang kalo lo itu jomblo. Tapi kenapa sekarang lo dengan mudahnya bilang begitu?" ujar gue yang mengingat jelas ucapannya kemarin yang membuat gue berani mengutarakan perasaan gue padanya.

Namun karena ucapan itu pula gue tersadar. Otak gue yang bekerja dengan cepat, langsung saja mendapatkan satu nama yang menyebabkan hal ini terjadi. Dan itu bukan lain karena....

"Ini ulah Daniel kan?" tanya gue. Dengan nada datar karena akhirnya gue mengetahui alasan perubahan hati Fina yang sangat cepat.

Fina mendongak. Matanya membesar dengan bibir yang sedikit bergetar.

"L-lo tau?" tanyanya. Gue berdecih mendengarnya.

"Gue nggak nyangka lo bakal kayak cewek-cewek lainnya. Mudah tergoda dengan cowok kayak dia. Nggak perlu minta maaf, karena gue pun juga menarik kata-kata gue untuk nembak lo tadi. Gue ilfeel." ucap gue, lalu kemudian berbalik untuk kembali menuju ruang kelas yang jaraknya lumayan jauh dari belakang kantin yang sepi ini.

Gue memang memasang wajah datar. Tapi hati gue panas dan rasa ingin marah itu sangat besar. Apalagi saat Fina berlari dengan meneriaki nama gue, membuat gue nggak tahan hingga akhirnya gue berhenti ditempat untuk menunggunya menghampiri gue.

"Apa lagi?" tanya gue tanpa menatapnya.

"Gue cuma mau minta maaf, Vin. Gue tau lo pasti jijik sama gue. Tapi plis, maafin gue ya." ujarnya sambil sedikit meremas lengan gue.

Gue segera melepaskan tangannya lalu kemudian berkata.

"Satu hal yang bisa lo lakuin supaya gue maafin lo." ujar gue.

"Apa?"

"Jangan pernah manggil-manggil nama gue lagi. Hubungan kita berakhir sampe disini." jawab gue lalu kembali melanjutkan langkah gue meninggalkannya sendirian disana. Gue nggak tau apa yang dia lakuin saat ini. Tapi satu hal yang pasti. Gue nggak perduli.

Ini yang pertama kalinya gue rasain saat nembak cewek. Kalo dihitung sudah hampir 10 cewek yang gagal gue tembak dengan alasan yang sama. Apalagi kalo bukan karena tergoda oleh Daniel.

Cowok setengah bule yang hampir tiap saat gue liat mukanya. Bukan cuma satu sekolah. Kelas kita pun juga sama, bahkan rumah pun bersebelahan. Itu yang membuat nggak bisa untuk nggak ngeliat dia dalam satu hari penuh.

Awalnya gue biasa-biasa aja. Dia nggak pernah ganggu gue, bahkan ngajak gue ngomong pun jarang. Bukan dia sih, tapi lebih ke gue. Gue yang nggak mau ngomong lama-lama sama dia. Gue nggak suka cara dia ngomong dan berakrab ria dengan keluarga gue yang sayangnya udah dekat dengannya.

Ya gue nggak masalah sama itu. Tapi setelah kejadian satu tahun yang lalu, saat gue dengan mata kepala gue sendiri ngeliat dia ciuman dengan cewek yang rencana mau gue tembak, disitu gue tau kalo selama ini dia lah dalang dari semua cewek yang selalu menolak pernyataan rasa suka gue.

Gue nggak tau gimana dia bisa ngelakuin dan naklukin cewek yang gue suka hanya dalam semalam. Tapi yang jelas itu membuat gue sakit hati dan menanamkan kata kalo Daniel adalah manusia yang paling gue benci di dunia ini. Agak lebay emang, tapi itu pantas bagi gue yang selalu di tikung olehnya.

"Oy, Vin! Dari mana aja lu?" ucap Reno saat gue udah hampir sampai di depan pintu kelas.

Gue nggak menjawabnya, gue malah mengambil tas gue yang ada ditangannya lalu berjalan mendahuluinya untuk pulang karena sedari tadi bel pulang sekolah sudah berbunyi dan gue meminta Reno menjaga tas gue selagi membawa Fina ke belakang kantin.

"Sialan lu. Udah gue tungguin juga. Eh, elo malah nyelonong." ujarnya setelah berhasil mengejar gue dan berjalan berdampingan.

"Gimana? Lancar?" tanyanya. Guebyang mengerti maksudnya pun menggeleng pelan.

"Gagal lagi?" Whahahahahah. Apes banget lu jadi cowok. Ditolak mulu." ujarnya yang terlihat sangat puas mendengar kabar buruk yang menimpa gue.

Gue menoleh ke arahnya lalu menghembuskan napas pelan.

"Bukannya gue apes. Tapi hubungan percintaan gue tuh selalu di sabotase." ujar gue yang mengingat semua cewek yang udah menolak gue dengan alasan yang sama.

"Daniel lagi?" tanya Reno. Gue mangangguk sambil memejamkan mata.

"Siapa lagi kalo bukan dia. Sampe sekarang gue heran, gimana bisa dia segercep itu ngubah haluan cewek yang gue suka yang mana cewek itu udah jelas ngasih lampu ijo ke gue." ucap gue setelah kembali membuka mata dan memperhatikan jalanan.

"Gue nggak heran sih." ujar Reno, yang membuat gue langsung menatap ke arahnya dengan satu alis yang gue naikkan.

Reno balik menatap gue lalu kemudian mengedikkan bahunya.

"Seluruh sekolah tau, kalo dia cowok paling kece saat ini. Jadi nggak heran kalo sekali dia nembak, cewek manapun bakal langsung nerima. Lagian dia punya nilai plus. Dia campuran, juara kelas, anak osis, dan terakhir dia andil dalam kejuaraan pertandingan basket tahun kemaren. Kalo di bandingin elu sih, lu nggak ada apa-apanya. Wajar Fina nolak." ucap Reno yang menjelaskan semua hal tentang Daniel setiap kali gue mengungkit keheranan gue dengan sosok itu.

Gue berusaha sabar dan menghembuskan napas perlahan.

"Sabar, Vin. Sabar." ucap gue pelan yang mendapatkan kekehan dari Reno yang tentu saja merasa senang.

"Kenapa sabar? Semua yang temen lo bilang bener kok. Lo aja yang nggak mau terima kenyataan." suara seseorang yang gue kenal betul siapa pemiliknya.

Gue maupun Reno segera berhenti melangkah dan berbalik kebelakang untuk menatap Daniel yang saat ini tersenyum lebar dengan kedua alis yang ia naik turunkan. Bukan hanya itu, ia bahkan menaikkan satu tangannya yang saat ini bergandengan dengan tangan Fina yang menunduk di sampingnya.

"Cih. Nggak nyangka gue lo tukang nguping." decih gue padanya.

Alis Daniel yang tadinya naik turun, kini berhenti dan menatap gue dengan mata yang sedikit membesar.

"Tukang nguping? Mulut temen lo tuh yang kayak toa, makanya gue kedengaran." ujarnya yang membuat gue diam karena fakta itu benar adanya.

"Enak aja lu. Gini-gini gua kepercayaan guru untuk jadi pemimpin upacara ya!" ujar Reno merasa nggak terima. Gue yang mendengar itu merasa malu yang akhirnya memilih untuk menarik dirinya agar minggir dari jalan Daniel dan juga Fina.

"Ngapain lu narik-narik gua? Gua masih nggak terima mulut gua dikatain kata toa." ucapnya yang menatap nggak suka ke arah Daniek yang hanya menanggapinya dengan senyuman miring.

"Sekarang gue yang nggak heran kenapa kalian deket banget sebagai temen. Sama-sama nggak bisa terima kenyataan." ucapnya lalu terkekeh pelan.

"Ayuk, sayang." lanjutnya yang kemudian mengajak Fina berjalan menjauh dari gue dan Reno.

Reno yang mendengar itu nggak terima, ia memberontak minta dilepasin yang sekuat tenaga gue tahan agar Reno nggak melakukan hal yang akan membuatnya malu sendiri nantinya.

"Lu kenapa sih, Vin? Jelas-jelas tadi dia ngehina kita. Bukannya bantu gua ngehajar dia, malah nahan gua kayak gini." ucap Reno setelah sudah nggak terlihat lagi sosok Daniel dan juga Fina.

"Dia nggak salah, Ren. Mulut lo emang kayak toa, makanya lo selalu dipilih buat mimpin upacara. Udah terima kenyataan aja." ujar gue.

Reno menatap gue nggak percaya.

"Gua nggak nyangka lu bakal belain cowok yang udah sabotase hubungan percintaan lu dan malah ngehina gua juga. Lu temen gua bukan sih?" ujarnya yang membuat nada seolah-olah gue udah mendzolimi-nya.

"Nggak usah lebay. Yuk, balik. Abang pasti udah nungguin gue dari tadi." ucap gue yang mengingat kalo hari ini Bang Dirga yang menjemput gue pulang.

Gue melangkah lebih dulu dan meninggalkan Reno yang masih pada tempatnya.

"Lu juga terima kenyataan. Kalo lu itu jelek dan nggak berbakat!" teriak Reno tiba-tiba.

Gue menoleh dan mengedikkan kedua bahu gue.

"Gue emang jelek, dan nggak berbakat. Tapi seenggaknya gue selalu diakuin kalo gue bikin orang lain nyaman." balas gue yang memilih untuk nggak berantem dengannya.

"Gua nggak pernah nyaman tuh dideket elu." balasnya yang masih tidak terima dengan kenyataan akan mulutnya yang bersuara besar.

"Ya itu masalah lo. Udah ah, gue duluan. Hati-hati dijalan ya cs." balas gue lalu kemudian berbalik dan memutuskan kali ini gue bener-bener bakal ke gerbang sekolah untuk nemuin Bang Dirga yang memang saat ini sudah ada disana.