Chapter 4
"Bener, Niel? Kamu masuk ke kamar Melvin terus ngelakuin hal itu?" tanya Emak saat gue sudah menjelaskan semua peristiwa yang gue alami.
Saat ini seluruh keluarga gue maupun Daniel lagi berkumpul di ruang tamu. Gue yang mengambil posisi berdiri, menaruh kedua tangan gue di dada untuk menatap Daniel tajam yang saat ini menjadi pusat perhatian dengan duduk sendirian di sofa. Dia adalah tersangka yang saat ini lagi diinterogasi.
Daniel menatap gue. Tatapannya biasa aja, tapi gue membalasnya dengan pelototan agar Daniel mengatakan semua perbuatannya beberapa menit yang lalu.
"Engga, Tante. Melvin bohong." ujar Daniel, dengan senyum lebar dibibirnya. Raut wajahnya terlihat santai, sehingga membuat Emak menatap gue meminta penjelasan.
"Enggak palak lu soak! Lu jelas-jelas nonton bokep dikamar gue, terus coli An-Niel!" balas gue yang hampir aja keceplosan untuk mengatainya anjing.
Seluruh mata kembali menatapi Daniel. "Jawab yang jujur, Niel. Mama nggak suka kamu bohong. Apalagi buat kegaduhan dirumah Tante Rini." ujar Tante Mindy yang gue yakini memihak gue.
"Yes, Son. Tell the truth." sahut Om Louise.
Bukannya merasa terdesak. Daniel masih saja dengan raut santainya menjawab.
"No, Dad. I didn't do what Melvin said. He's liar. Percaya deh. Niel cuma mau ngembaliin buku yang Niel pinjem." ucapnya.
Gue mengerutkan dahi gue mendengarnya. "Buku?" gumam gue pelan yang tentu saja nggak ada yang mendengarnya.
"Buku apaan!? Lo nggak pernah minjem buku gue selama ini. Udah ngaku aja. Daripada hukuman lo tambah berat." ujar gue yang berniat mengakhiri interogasi ini agar Daniel cepat mendapatkan hukuman dari kedua orang tuanya.
"Buku ini." balas Daniel dan mengeluarkan buku majalah dewasa yang pernah gue beli bareng Reno di pinggiran jalan.
Gue melotot dan berniat untuk mengambil buku itu. Namun mengingat banyak mata yang melihat, gue pun mengurungkannya dan berpura-pura nggak tau dengan berkata.
"Buku apaan tuh. Gue nggak pernah punya buku kayak gitu. Jangan fitnah gue lah. Lo yang salah disini." ujar gue yang begonya keliatan gugup dengan suara gue yang tiba-tiba serak. Daniel tersenyum miring karena menyadarinya.
"Coba sini aku liat." celetuk Bang Dirga yang dengan cepat mengambil buku itu dari tangan Daniel.
"Oh ini mah buku aku . Mungkin nggak sengaja ketinggalan di kamar Melvin waktu aku ke kamarnya." ujar Bang Dirga yang membuat gue lega seketika karena dirinya membela gue kali ini.
"Ngapain kamu nyimpen buku kayak gitu, Bang?" tanya Emak sambil memukul kecil bahu Bang Dirga.
Bang Dirga menaikkan satu alisnya.
"Emang kenapa. Abang kan udah dewasa, Mak." balasnya. Emak menanggapinya dengan gelengan kepala. Setelah itu dirinya kembali fokus menatap Daniel yang bergantian menjadi menatap ke arah gue.
"Udah biarin aja kali ini, Vin. Toh kalo emang bener, nggak ada ruginya buatmu kan? Kalian kan sama-sama cowok. Harusnya nggak ada yang ngerasa dilecehin kan" ujar Emak yang ngebuat fada gue sesak gegara nggak terima dengan ucapannya.
"Nggak bisa gitu dong, Mak! Niel udah sering ngelakuin hal senonoh didepan aku. Ini mending cuma nonton sambil ngocok doang. Kemaren-kemaren dia ngewek, Mak! Di balkonnya!" ujar gue dengan nada cukup tinggi.
"Melvin!" panggil Emak cepat, lalu memukul bahu gue kuat.
"Sakit, Mak." adu gue sambil meringis dan mengelus bahu gue yang ditaboknya.
"Kalo ngomong tuh kata-katanya disaring dulu. Jangan asal nyerocos aja. Mulut kok kayak cewek!" balas Emak yang bikin gue sakit hati mendengarnya.
Gue diem. Dan menatap tidak suka ke arah Daniel yang terlihat senang melihat gue yang dimarahin dan bukannya dia.
"Nggak apa, Vin. Nanti Tante marahin Niel dirumah ya. Untuk sekarang kita istirahat dulu. Udah malem ini, malah besok kalian masih harus sekolah kan." ujar Tante Mindy. Suaranya sangat lembut dan sangat enak didengar. Tapi itu nggak meluluhkan hati gue yang terlanjur sakit hati.
"Nggak mau tau! Pokoknya mulai besok aku mau balkon aku direnovasi! Full tembok! Biar Niel nggak bisa sembarangan masuk lagi ke kamar aku make tangga sialan itu." ucap gue. Emak langsung saja marah dan membentak gue dengan cara meneriaki nama gue kencang.
Gue yang menerima teriakan itu akhirnya mengalah dan berbalik untuk kembali ke kamar gue dengan perasaan kesal yang berusaha gue pendam. Namun perasaan kesal itu perlahan menjadi sedih hingga tanpa sadar ngebuat gue ngeluarin air mata saat gue merebahkan tubuh gue di atas kasur sambil memandangi langit-langit kamar gue yang masih terlihat gelap karena lampu yang sengaja nggak gue nyalakan.
Gue nangis.
Apalagi saat gue mengingat kenangan-kenangan buruk yang hampir setiap harinya gue alami. Dan semua kenangan itu nggak pernah lepas dari nama Daniel. Dimulai dari cewek-cewek yang gue suka beralih padanya. Memiliki wajah dan bakat yang banyak disukain orang. Dan terakhir, Emak dan Bapak gue memihaknya. Gue yakin, pasti sebentar lagi Bang Dirga bakal ditaklukin juga sama dia. Dan gue bakal sendirian didunia ini.
Memikirkan itu ngebuat air mata gue bertambah deras. Gue menangis dalam diam sampai akhirnya gue berhenti menangis karena rasa kantuk kembali menyambut mata gue yang perlahan terpejam akibat lelah mata yang gue rasakan.
Namun saat gue hendak terlelap. Suara ketukan pintu yang cukup kuat membuat gue terbangun dan langsung duduk untuk menanyakan siapa yang mengetuk pintu dan membuat niat gue tidur terganggu.
"Ini gue." balas suara seseorang setelah gue bertanya tadi.
Mendengar suara Daniel yang menyahut. Gue pun memutuskan untuk kembali berbaring dan mengabaikan ketukan pintunya karena memang gue nggak mood untuk bertatap muka dengannya. Gue masih kesel, dan air mata yang gue keluarkan belum ngebuat gue merasa ringan dengan beban yang gue rasakan.
"Buka, Vin. Gue mau minta maaf sama elo." suaranya diluar.
Gue nggak menanggapinya. Gue masih diam sambil dengan tangan memainkan ujung bantal agar gue fokus mengabaikan Daniel sampai dia lelah dan pergi dari depan pintu gue.
Namun hampir setengah jam berlalu, Daniel masih saja mengetuk pintu gue dan meminta gue membukakan pintu kamar hingga akhirnya ngebuat gue nggak tahan dan memutuskan untuk membukakan pintu untuknya.
"Buruan. Gue mau tidur." ucap gue setelah membuka sedikit pintu kamar gue dan hanya memunculkan muka gue saja untuk melihat sosok Daniel yang sudah berganti baju dari yang gue liat sebelumnya.
"Gue minta maaf soal kejadian tadi dan--"
"Oke, gue maafin. Bye!" potong gue cepat dan hendak langsung menutup pintu kamar gue yang sayangnya Daniel lebih sigap sehingga menahan pintu itu tetap terbuka.
Bukan hanya itu, dia bahkan membuka pintu itu bertambah lebar dan memasukkan dirinya ke dalam kamar tanpa seizin gue. Gue mau marah, tapi gue terlalu capek untuk mengeluarkan suara tinggi padanya.
"Keluar, Niel. Gue mau tidur." ucap gue dengan nada pelan dan tidak bersemangat.
"Tidur mulu. Baru juga lu bangun tadi" balasnya.
"Kalo lo ada perlu, cepetan. Gue lagi nggak mau ngeladenin lu sekarang." ujar gue mengabaikan basa-basinya.
"Oke. Kata Emak lo, gue disuruh nginep dikamar lo malem ini. Jadi, lo nggak boleh nolak dan ngusir gue kayak sebelumnya." ucapnya yang kemudian langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur gue.
Gue yang melihat itu hanya menghembuskan napas pelan lalu kemudian menutup pintu kamar gue perlahan.
"Terserah lo deh." ucap gue lemas yang kemudian berjalan kembali ke kasur gue dengan mata berat karena ngantuk yang gue rasakan.
Gue membaringkan tubuh gue diatas kasur dan langsung mengambil posisi miring untuk membelakangi sosok Daniel yang telentang.
Baru aja gue mau memejamkan mata, suara Daniel kembali membuat gue membukanya.
"Kok lo nggak nyalain lampunya? Lo tidur dalam gelap?" ujarnya. Yang gue abaikan dan memilih untuk kembali terpejam.
Beberapa menit berlalu, dan tidak ada suara atau pergerakan dari Daniel yang gue rasakan. Dan itu membuat gue yakin kalau Daniel sudah tertidur dibelakang gue dan gue bisa tenang untuk tidur sekarang ini. Tapi gue salah, karena suara Daniel kembali terdengar.
"Vin." panggilnya. Gue berdeham kecil menyahutnya.
"Gue minta maaf soal kejadian tadi. Ini bukan paksaan dari nyokap bokap gue atau dari nyokap lo. Ini murni dari hati gue paling dalam untuk minta maaf langsung ke elo, Vin. Jadi lo harus maafin gue ya." ujarnya. Yang kembali gue tanggapi dengan dehaman kecil, setelahnya terjadi hening beberapa detik yang ngebuat gue kembali terpejam karena merasa kalau Daniel tidak akan berbicara lagi dan membiarkan gue tidur.
Dan benar saja, Daniel tidak mengeluarkan suara apapun sampai gue hampir terlelap jika saja gue nggak merasakan sebuah tangan menelusup masuk ke pinggang gue dan memeluk gue dari belakang.
Awalnya gue merasa ingin marah dan menghempaskan tangan itu dari pinggang gue. Tapi entah gimana bisa, bisikan Daniel ngebuat gue urung melakukannya dan malah terlelap karena rasa nyaman yang gue rasakan.
"Good night, Vin." bagitulah bisik Daniel yang bibirnya sedikit mengenai telinga gue sebelum akhirnya gue masuk ke alam mimpi untuk mengakhiri hari yang melelahkan ini.
