Bab 5 Ia Berusaha Bertahan
Bab 5 Ia Berusaha Bertahan
"Tidak ada yang benar-benar bisa menggerakan hati seseorang selain ketulusan hati."–Jang Ok Jung
Entah ke berapa kalinya hari ini Kiara membuka mulutnya tapi tidak jadi bicara, kemudian bersikap bodoh, melongo, lalu melamun. Perempuan itu mengerjap ketika Farah selesai berantem-merebutkan sepatu yang sedang didiskon gila-gilaan-dengan wanita lainnya. Meski penampilannya tampak berantakan namun Farah terlihat bahagia setelah berhasil mendapatkan barang yang diinginkan.
"Kia, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?" tanya Farah melihat wajah melongo Kiara.
Buru-buru Kiara tersenyum tidak jelas, dia tidak tahu kalau Farah yang lembut dan penuh kasih sayang bisa seganas itu merebutkan sebuah sepatu. Ingatkan Kiara nanti jika dirinya ingin sesuatu yang sama seperti Farah, maka dia harus mengalah kalau tidak ingin dicakar habis-habisan.
"tidak apa, kok. Udahan belanjanya, Tan?"
Farah sedikit cemberut saat Kiara memanggilnya dengan sebutan 'Tante'. "Bunda, Sayang, bunda bukan tante. Kamu istrinya Raskal otomatis kamu juga anak Bunda."
"Tapi-"
"tidak ada tapi-tapian." Kemudian Farah memberikan sepatu yang tadi diperebutkan pada Kiara. "Ini untukmu. Pakai oke, Bunda punya satu di rumah. Kapan-kapan kita pakai bersama. Maaf Bunda belinya diskonan, sepatunya sudah tidak ada dipasaran, ini satu-satunya yang tersisa."
Kiara tertegun, pantas saja Raskal memaksakan dirinya untuk menikah dengan Kiara. Raskal pasti akan sangat sedih jika mengecewakan Farah yang begitu baik. Apalagi Kiara, meski dia tidak terlalu kenal dengan Farah namun rasanya untuk mengecewakan wanita itu, sungguh dia tidak bisa sama sekali.
"Makasih ... Bunda." Kiara tersenyum lebar, benar-benar terharu dengan sikap Farah terhadapnya. Kiara merasa seperti sedang bersama ibunya yang sudah meninggal sembilan tahun yang lalu.
Farah balas tersenyum, sembari berjalan keliling toko perbelanjaan, Farah bercerita bahwa dia sangat ingin punya anak perempuan. Dahulu Farah pernah melahirkan anak perempuan namun meninggal setelah beberapa hari dilahirkan, dan setelah itu dia tidak bisa hamil lagi. Sebab itulah terkadang Farah selalu memperlakukan Raskal seperti anak perempuan, sampai-sampai Raskal diejek oleh teman-temannya karena selalu memakai pakaian bewarna pink dan sebagainya.
"Tapi Raskal tidak pernah ngeluh, dia cuma diam aja. Nangis juga tidak pernah." Farah menghela napas. "Anak itu seperti tidak punya keinginan. Dia mengikuti saja apa yang dikatakan Bunda dan ayah. Bunda sampai mikir, mungkin Raskal itu robot."
Farah terkekeh, "Tapi Bunda ngerti sekarang." Wajahnya berubah sendu. "Raskal seperti itu karena ayah terlalu menekannya, bahkan tanpa sepengetahuan Bunda, ayah memaksa Raskal untuk menuruti segala yang dikatakan ayah. Termasuk tidak pernah melibatkan emosi dan tetap diam saat semua orang mengejeknya."
Kiara diam lama, jadi itulah sebabnya. Kiara bisa membayangkan betapa tersiksanya Raskal ketika dipaksa untuk tetap diam meski semua orang mengejeknya. Pasti berat, pikir Kiara. Pantas saja sikap Raskal aneh, egois, pemaksa dan menyebalkan. Kehidupannya saja sedikit rumit.
"Bunda kira waktu ayah jodohin Raskal sama Keyra, Raskal akan diam aja."
Kiara mulai penasaran. "Raskal langsung tertarik?"
Farah salah paham maksud Kiara, buru-buru dia memegang tangan Kiara. "Jangan cemburu. Meski awalnya Raskal tertarik pada Keyra tapi akhirnya dia milih kamu sebagai pendampingnya."
"Eh, apa?" Kiara bingung, siapa juga yang cemburu? Pikir Kiara.
"Awalnya Raskal memang tertarik sama Keyra, tapi itu tidak bertahan lama. Raskal malah terlihat murung."
"Kenapa? Setahuku, Keyra cantik dan menyenangkan." Tentu saja Kiara hanya mengira-ngira, mana dia tahu tentang Keyra. Kiara hanya melihat perempuan di bandara saja.
"Bunda kira juga begitu, waktu Bunda tanya ke Raskal, anak itu hanya diam tidak jawab."
Tipikal Raskal sekali, seru Kiara dalam hati. Tinggal beberapa hari dengan Raskal membuat Kiara sedikit tahu tentang lelaki itu. Salah satunya jarang menjawab pertanyaan seseorang.
"Bunda sadar kalau Raskal tidak suka sama Keyra, tapi dia berusaha bertahan demi ayahnya. Waktu Bunda menyuruh Raskal bicara saja sama ayah kalau dia tidak suka sama Keyra, Raskal malah bilang 'tidak apa', padahal Bunda tahu kalau dia sangat tersiksa."
Senyum di wajah Farah merekah, dia memandang Kiara lembut. "Tapi hari itu, tiba-tiba saja Raskal datang ke rumah dan bilang ke ayah kalau dia tidak ingin menikah dengan Keyra karena dia menyukai wanita lain, padahal malam itu Raskal dan Keyra akan menikah."
"Apa Om Zaki marah?" Kiara tidak bisa membayangkan Raskal yang menghadapi kemarahan Zaki. Pasti sangat menyeramkan, dan tentu saja akan merasa tersakiti dengan kata-kata yang dikeluarkannya.
Farah malah terkekeh meski matanya berkaca-kaca. "Tentu saja ayah marah. Tapi apa yang membuat Bunda senang?"
Kiara menggeleng pelan.
"Karena Raskal tidak lagi berdiam diri waktu ayah marah, untuk pertama kalinya Raskal menolak permintaan ayah. Bunda senang, karena akhirnya tahu kalau Raskal adalah seorang manusia."
Kiara ikut tersenyum. "Jadi, selama ini Bunda berpikir kalau Raskal bukan manusia?"
Farah berhenti terkekeh dan mengangguk. "Ya, Bunda takut kalau Raskal bukan manusia saking penurut dan pendiamnya. Hari itu benar-benar merubah segalanya. Raskal berani mengemukakan keinginannya, dan waktu dia bilang akan menikahi wanita lain membuat Bunda dan ayah terkejut.
"Selama ini kami tidak tahu kalau Raskal dekat dengan wanita lain selain Keyra. Raskal sangat tertutup, padahal dua tahun yang lalu Raskal terlihat sangat hidup dan bahagia, entah apa yang membuatnya berubah murung lagi. Lalu Raskal bawa kamu dan bilang akan menikahi kamu saat malam itu."
Dalam hati Kiara cemberut, dia paling tidak suka jika diingatkan pada hari itu.
"Dia memperlakukanmu dengan sangat baik, dan saat itu juga Bunda percaya kalau kamu adalah orang yang berhasil merubah Raskal. Bunda masih ingat saat Raskal menatapmu sebelum dia mengurus pernikahannya. Hangat, penuh sayang. Dan ketika Raskal tersenyum saat menatapmu, Bunda melihat rasa bahagia di mata Raskal, seolah-olah dia hidup kembali."
Meski Kiara tersenyum, namun dalam hatinya tidak. Sungguh tidak masuk akal jika Raskal melakukan semua itu, jika pun iya. Pasti Raskal hanya berpura-pura agar mendapat kepercayaan dan dukungan dari Farah. Lelaki itu sangat menyayangi dan menghormati Farah, sungguh tidak mungkin jika Raskal bersikap kasar di depan Farah dan bilang kalau dia menculik Kiara.
Farah kembali memegang tangan Kiara dengan erat. "Bunda bahagia sekali karena Raskal memilihmu sebagai pasangan hidup. Bunda percaya kalau kamu bisa membuat Raskal bahagia dan mempercayai dirinya sendiri. Bunda mohon, tetaplah bersama Raskal. Anak itu butuh seseorang untuk mengendalikannya."
Jika seperti ini bagaimana bisa Kiara berpikir untuk pergi dari Raskal?
"Aku akan berusaha."
"Terima kasih banyak, Bunda percaya sama kamu."
Setelah makan siang, mereka memutuskan untuk pulang. Terlebih Raskal yang menelepon Kiara untuk segera pulang dan tidak lama-lama belanjanya. Perempuan itu mencibir kesal, memangnya Raskal pikir dia akan kabur?!
"Listen, Naraka. I can speaking Indonesian now."
"Hm."
"Heem, aku serius. Dengar. Aku sudah lancar--Gosh!"
"Aduh," ringis Kiara saat seseorang menabraknya dari belakang. Dia mengusap pinggangnya yang sakit.
"Sudah kubilang, lihat ke depan kalau jalan." Lelaki tampan yang memakai hoodi hitam dan jins hitam berkata dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih. Nada dan wajahnya datar, lebih datar dari ekspresi Raskal.
"I know, but-" Kata-katanya terhenti saat melihat Kiara yang menatap mereka dengan bingung. "I'm so sorry, are you okay?"
Kiara mengangguk, sepertinya mereka bukan orang Indonesia dilihat dari wajah dan bahasa yang mereka pakai. "tidak apa."
Salah satu dari mereka mengerutkan kening. "tidak apa? Wait a minute!" katanya seraya mengambil ponsel.
Lelaki bernama Naraka memutar bola mata, kemudian menatap Kiara. "Maafkan sikap teman saya. Dia sedikit ceroboh," katanya lagi-lagi dalam bahasa Indonesia.
"tidak apa, salah saya juga. Seharusnya saya tidak berhenti tiba-tiba." Ada yang berbeda dengan tatapan lelaki bernama Naraka, pikir Kiara. Lelaki itu terlihat sedikit aneh dan menakutkan, meski wajahnya sangat tampan namun ada sesuatu yang membuatnya sedikit takut saat menatap mata kelabu lelaki itu.
Kiara hendak pergi sebelum teman Naraka memanggilnya.
"Tunggu! Siapa namamu? Aku Jared, dan dia Naraka." Jared terbata-bata bicara dalam bahasa Indonesia.
Kiara membalas uluran tangan Jared. "Kiara." Sekilas dia melihat Naraka yang tampaknya tidak berniat untuk berkenalan dengannya. "Senang bertemu denganmu."
Jared tersenyum. "Maafkan yang tadi. Aku sungguh tidak sengaja."
Kiara hanya tersenyum kemudian berlari menyusul Farah yang menunggunya dari tadi. Sesaat dia berhenti lalu melihat ke belakang lagi. Kiara merasa tidak asing lagi dengan Jared dan Naraka. Apa dia pernah melihat mereka sebelumnya? Tapi di mana?
Ketika Kiara pulang, dia melihat Raskal sedang membaca buku di ruang tengah. Sepertinya lelaki itu sudah pulang dari tadi melihat pakaian santai yang dikenakan Raskal.
"Baru pulang?" tanya Raskal dengan mata memandang buku.
Kiara mendesah, dia duduk di samping Raskal, punggungnya menyandar dengan kedua mata tertutup. Hari yang melelahkan, pikir Kiara. Menemani Farah belanja bukan hal yang menyenangkan sesungguhnya, Farah terlalu semangat mengunjungi setiap toko dan restauran sampai Kiara kewalahan mengikutinya.
Lain kali jika Farah mengajak Kiara belanja lagi, maka Kiara akan pura-pura sakit saja.
"Kenapa?" tanya Raskal lagi, dia melirik Kiara sekilas dan kembali membaca buku.
"Capek."
"Bunda memang hobi belanja."
"Hobi yang menyusahkan orang lain." Kiara mendengar Raskal terkekeh. "Kayaknya bunda lebih kuat daripada aku."
"Belanja apa saja?"
Kiara berpikir, belanja? Seharian keliling mall dengan Farah, tidak ada satu pun barang yang menarik perhatian Kiara. Atau mungkin, tadi Kiara terlalu sibuk memberi pendapat mengenai barang-barang yang dibeli Farah sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
"Aku tidak belanja. Tapi bunda kasih sepatu."
"Harusnya kamu ikut belanja tadi."
"Ishh, bukan gitu aku-" Kiara mengerutkan keningnya, dia melihat sepatu pemberian Farah dan tersenyum sangat lebar saat mendapatkan ide yang menurutnya sangat cemerlang.
Menyadari perubahan sikap Kiara, Raskal menyimpan buku di atas meja dan melihat Kiara yang tampaknya sedang bahagia. "Kamu kenapa? Kamu tidak gila, kan?"
Bukannya marah, senyum Kiara malah semakin melebar. "Aku tidak gila, kok. Aku masih waras dan baik-baik saja."
Raskal semakin curiga, ada apa dengan Kiara? Kenapa perempuan itu tiba-tiba jadi aneh seperti ini. "Kiara? Kamu benar-benar baik-baik saja? Kamu kenapa tersenyum seperti itu?"
Kiara bergeser mendekati Raskal, dia memeluk tangan Raskal dan membuat lelaki itu terkejut. "Aku sedang bahagia, Raskal."
"Kamu senang belanja dengan bunda?"
"Tentu saja sangat menyenangkan. Tapi ada hal lain yang lebih menyenangkan dari hal itu." Kiara tertawa tidak jelas. "Raskal, aku benar-benar bahagia."
Raskal diam, namun masih kebingungan dengan keagresifan Kiara yang tidak seperti biasa.
"Apa suami tampanku ini sudah makan? Pagi, siang, atau malem."
"Saya sudah makan, sana kamu pergi saja."
Kiara menggeleng tidak mau. "tidak mau, aku mau tetep sama kamu aja. lebih menyenangkan."
"Saya kira kamu gila betulan."
Kiara langsung tertawa mendengar komentar Raskal. "Kalau aku gila, nanti kamu malu dong punya istri gila seperti aku. Jadi, aku ini tidak gila, aku cuma lagi senang sekali."
Raskal mengabaikan Kiara, membuat perempuan itu sedikit kesal. Dia melepaskan pelukannya dan beranjak ke dapur, membuka kulkas namum tidak ada bahan makanan apa pun yang bisa dimasak.
"Raskal!" panggil Kiara, Raskal hanya menggumam. "Bahan-bahan masakan habis. Aku pergi belanja keluar, ya." Kiara mengedip-ngedipkan matanya.
"Sama saya."
Kiara langsung mencibir kesal, apa Raskal takut dia kabur begitu saja? Tapi masuk akal juga, bagaimana pun juga kartu kredit dan ATM satu lagi sudah atas nama Kiara bukan Raskal. Bisa saja Raskal takut Kiara kabur membawa uangnya. Kiara menggelengkan kepala, tidak mungkin Raskal sejahat itu.
"Ya udah, ayo pergi sekarang. Nanti super marketnya tutup."
