Bab 12 Jangan Menyakiti Dirimu Sendiri
Bab 12 Jangan Menyakiti Dirimu Sendiri
"Ketika kau tidak jujur dengan hatimu, rasa sakit yang kau rasakan akan memberi jawaban."
-Master's Sun-
"Siapa kamu sebenarnya?" Kiara mengulang pertanyaan, menatap tajam Raskal yang diam. "Kenapa perempuan yang ada di foto itu sangat mirip denganku?"
Wajah Raskal mengeras, dengan cepat dia menghampiri Kiara lalu merebut album tersebut. Terlihat tidak suka jika Kiara menyentuh barang pribadinya.
"Raskal."
Raskal tersenyum kecil. "Kamu pikir perempuan yang ada di foto ini adalah kamu? Apa kamu lupa kalau wajahmu sangat mirip dengan Keyra."
Harusnya Kiara senang mendengar bahwa perempuan yang ada di foto itu Keyra bukan dirinya. Namun kenapa rasanya lain? Seolah tidak rela jika Raskal dekat dengan perempuan lain.
"Tapi ..." Kiara mengernyit sakit, namun dia berusaha untuk menahannya.
Raskal terlihat gelisah. "Dia Keyra." Raskal memperjelas dengan nada pelan. "Foto kami ... sebelum dia meninggalkan saya." Ada luka di mata Raskal ketika dia mengatakan hal itu sambil memandang Kiara.
Rasa tidak percaya masih dirasakan Kiara, dia menundukkan kepala. Tidak berani membalas tatapan Raskal yang beda dari biasanya. Kiara memejamkan matanya sesaat, Farah pernah bercerita kalau dahulu Raskal pernah sangat dekat dengan Raskal sebelum akhirnya hubungan mereka renggang.
Apa mungkin, foto itu adalah kenangan manis Raskal saat bersama Keyra?
Kiara mengernyit saat rasa sakitnya bertambah parah. Kenangan asing terus melintas ke dalam pikirannya, seolah menyuruh Kiara untuk mengingat hal yang dia lupakan sebelum kecelakaan yang terjadi dua tahun lalu.
"Kiara!" seru Raskal menahan bahu Kiara agar tidak jatuh. Lelaki itu menatap Kiara khawatir. "Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat, apa kepalamu sakit?" tanyanya beruntun.
Kiara menepis tangan Raskal dan melangkah mundur. Dia membenturkan kepalanya ke dinding, berusaha untuk mengenyahkan kenangan yang malah menyakiti kepala dan hatinya. Namun kenangan itu semakin masuk ke dalam pikirannya.
Kiara melihat dirinya yang dahulu sedang berdiri di panggung sebagai DJ, kemudian menarik seorang lelaki lalu menciumnya dengan tiba-tiba, kedua matanya melihat seseorang yang melihat mereka dengan tatapan terkejut, lalu Kiara tersenyum meski setelah itu ekspresi sedih terpancar di kedua matanya.
"Kiara!" Raskal berusaha untuk menahan Kiara agar tidak menyakiti dirinya lagi. "Kia, hentikan! Kiara!"
Tetapi Kiara tidak mendengar, dia terus membenturkan kepalanya. Melihat kembali kenangannya saat seorang lelaki yang sepertinya sangat menyukai Kiara, menarik tangan Kiara, tatapannya datar hingga membuat Kiara sedikit ketakutan. Perempuan itu melangkah mundur namun tangannya ditahan.
"Kamu pikir, saya akan mundur begitu saja hanya karena melihatmu seperti tadi?"
Kiara menelan saliva lalu mendesis kesal, "Berhenti menggangguku!"
"Setelah apa yang kamu katakan, kamu pikir saya akan mundur?" Lelaki itu mempersempit jarak mereka sehingga Kiara terpaksa mundur satu langkah. "Jangan menghindariku lagi!" Tatapan lelaki itu sangat tajam sampai Kiara tidak bisa membalas perkataannya.
Ketika Kiara membuka matanya, dia begitu terkejut saat menyadari kalau mata lelaki yang ada di pikirannya sama seperti mata Raskal.
"KIARA, JANGAN MENYAKITI DIRIMU SENDIRI!" teriak Raskal marah. "Kamu ingin mati?!"
Kiara menundukkan pandangan, bahkan nada mereka pun sama. Apa jangan-jangan Raskal adalah lelaki yang selalu muncul dalam kepala Kiara? "Kepalaku sakit."
Raskal menghela napas, dia kembali menatap Kiara setelah emosinya mereda. "Maaf saya bentak kamu." Raskal mengusap kepala Kiara lembut, dari ekspresinya jelas Raskal sangat mengkhawatirkan Kiara. "Kita pergi ke dokter kalau kepalamu sakit, jangan membenturkan kepalamu ke dinding. Nanti tambah sakit."
Kiara hanya mengangguk membuat Raskal sedikit heran, biasanya perempuan itu selalu membantah keinginannya.
"Apa sekarang masih sakit?"
"Ya."
Raskal melangkah semakin dekat, mengusap kening Kiara lembut lalu mengecupnya cukup lama. Dia menertawakan kening Kiara yang sedikit benjol. Kiara tidak merespon, hanya menatap Raskal datar.
"Kita pulang?"
Tanpa menunggu jawaban Kiara, Raskal menarik Kiara keluar kamar. Melewati Farah dan Zaki yang menatap mereka bingung. Farah menghampiri mereka, khawatir melihat wajah pucat Kiara.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
Kiara tersenyum. "tidak apa, kok, Bun."
Farah hendak berkata lagi tapi terhenti karena Raskal langsung pamit pergi. Sesaat Kiara menatap Zaki yang tersenyum aneh ketika menatapnya.
"Apa kepalamu masih sakit?" tanya Raskal, memasangkan sabuk pengaman untuk Kiara.
Kiara menggeleng, entah mengapa mulut dan tenggorokkannya terasa kering. Mungkin dia terlalu terkejut saat mengetahui kalau lelaki yang selalu menghantui pikirannya sangat mirip dengan Raskal.
"Raskal," panggil Kiara pelan.
"Ya, apa kepalamu sakit lagi?"
"Kamu yakin, kita tidak pernah bertemu sebelumnya?"
Saat itu Raskal terdiam cukup lama, dia bahkan tidak menatap Kiara. Terus melihat ke depan. "Pertemuan pertama kita saat di bandara."
"Lalu, kenapa kenapa kamu sangat mirip dengan lelaki yang ada di dalam kepalaku." Kiara berhenti sesaat. "Wajahmu, matamu, suaramu, kalian sangat sama. Kukira, kamu seseorang yang aku lupakan karena kecelakaan itu. Kalian terlalu mirip."
Keduanya hening, hanya terdengar alunan suara lembut Adele. Kiara memberanikan diri menatap Raskal. Wajah lelaki itu terlalu datar hingga Kiara tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Raskal.
"Di dunia ini setiap orang memiliki tujuh kembaran," kata Raskal. "Itu pasti seseorang yang mirip dengan saya. Sama seperti kamu yang sangat mirip dengan Keyra."
Kiara tersenyum kecil, benarkah seperti itu? Kenapa Kiara tidak mau mempercayainya? Adakah seseorang yang mempunyai wajah sangat mirip dengan Raskal seperti Kiara dan Keyra.
Kafka baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, dia menyimpan sketsa di atas meja lalu menatap laptop yang sedari tadi tidak menunjukan bahwa akun media sosial milik Kiara aktif. Lelaki itu menghela napas, mengecek email yang dia kirim tiga hari yang lalu ternyata belum dibalas.
"Sebenarnya dia ke mana, sih?" Kafka bertanya-tanya, adiknya itu seolah hilang tanpa kabar. Bahkan saat dia berada di Jakarta pun Kiara tidak pernah pulang.
Awalnya Kafka kira, Kiara menginap di rumah teman namun lupa mengabari. Tetapi Kafka merasa sangat cemas ketika seminggu kemudian Kiara belum juga pulang. Dia sudah mencarinya ke mana-mana, bahkan pihak kampus mengatakan kalau Kiara tidak masuk kuliah hampir seminggu.
Sering kali Kafka mencoba menghubungi ponsel Kiara, namun sama sekali tidak aktif. Kafka juga tahu kebiasaan Kiara yang terlalu malas menghafal nomor telepon siapa pun.
"Bahkan dia tidak pernah buka akun emailnya," gumam Kafka.
"Hei, masih belum dijawab?" tanya Farid tiba-tiba, melihat layar laptop Kafka.
Lelaki itu menggeleng lesu, dia benar-benar mengkhawatirkan Kiara. Dia takut terjadi sesuatu pada Kiara seperti dua tahun yang lalu. Kiara tipe orang yang suka menyakiti dirinya sendiri jika merasa sedih atau kesal, bahkan enam bulan yang lalu Kiara membenturkan kepalanya ke dinding sampai berdarah karena frustrasi melihat bayangan masa lalu yang Kiara lupakan. Beruntung saat itu Kafka sedang cuti jadi bisa menolong Kiara secepat mungkin.
"Kiara tidak mungkin diculik, kan?"
Farid menatap sahabatnya. "tidak mungkin, mana ada orang yang mau nyulik adek kamu." Farid tersenyum. "Mungkin Kiara lagi punya urusan."
"Urusan apa sampai hape dan emailnya tidak pernah dibuka." Kafka memejamkan mata sesaat. "aku takut terjadi sesuatu sama Kiara. Kata Jenny, Kiara tidak pernah masuk kampus lagi. Kiara tidak mungkin seperti dulu lagi, kan?" Kafka terkejut dengan pemikirannya sendiri. "Kiara ..."
Masih teringat jelas dalam ingatannya mengenai Kiara dua tahun yang lalu dan itu membuat Kafka merasa sangat sedih. Dia sungguh takut jika Kiara kembali seperti dahulu lagi.
"Dia tidak mungkin berubah seperti dulu," kata Farid, tahu masalah yang dihadapi Kafka dua tahun yang lalu. "Kiara sudah berubah jadi baik."
Kafka merenung. "Harusnya aku tidak ninggalin Kiara waktu itu. Kalau saja aku merhatiin Kiara dan tidak sibuk dengan dunia sendiri, mungkin Kiara tidak akan seperti itu. Bahkan dia tidak mau mandang aku waktu itu." Kafka diam sesaat. "aku takut, saat aku pulang nanti Kiara ... apa aku ambil cuti lagi."
Farid memutar bola mata. "Iya, terus kamu dipecat."
Kafka menempelkan keningnya ke meja kerja. Kesal sendiri dengan apa yang dipikirkannya.
Semua ini salahnya, pikir Kafka merenung. Sering kali Kiara curhat padanya kalau adiknya itu sering melihat kenangan asing dalam kepalanya, dan itu membuat Kiara merasa frustrasi, bahkan adiknya itu berniat pergi menemui seseorang yang ada di dalam kepalanya. Kafka pikir, mungkin itu ingatan yang Kiara lupakan karena kecelakaan dua tahun yang lalu.
Apa Kiara sedang mencari seseorang yang dilupakannya? Sebab itu dia menghilang dan tidak memberitahu Kafka karena takut Kafka akan melarangnya.
"Kalau aku tidak pulang, Kiara tidak akan ketemu. aku cemas sekali mikirin dia. kamu tidak tahu apa yang bisa dia lakuin kalau dia merasa frustasi."
"Tapi kamu, kan, masih kerja. Kalimantan-Jakarta bukan waktu yang sebentar. Gini deh, coba kamu lapor polisi. Siapa tahu mereka bisa nemuin Kiara mungkin. Apalagi ini hampir sebulan."
"aku juga sudah niat buat lapor polisi, tapi aku pernah janji sama Kiara kalau dia menghilang suatu saat nanti, aku tidak akan lapor polisi."
"Dan kamu nurut gitu aja?! Terus gimana kalau Kiara benar-benar diculik?"
"Feeling aku mengatakan kalau Kiara tidak diculik. Dia cuma ..."
"Cuma apa?"
Kafka merasa bersalah, entah mengapa sejak awal dia merasa ragu untuk lapor pada polisi kalau adiknya menghilang tanpa kabar. "Entahlah."
"Sekarang kamu maunya apa? Cuti?"
Kafka diam sesaat. Dia ingin pergi mencari Kiara dan memastikan perempuan itu baik-baik saja, namun di sisi lain Kafka masih punya pekerjaan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Lho, itu, kan?" Farid melihat foto Kiara bersama seorang lelaki.
Kafka ikut melihat foto Kiara, menurutnya tidak ada yang aneh. Sepertinya lelaki itu sangat akrab dengan Kiara dilihat dari tatapannya. Kafka mendapatkan foto tersebut dari dokter yang selama ini merawat Kiara. Dari dokter itu juga Kafka tahu masa lalu Kiara meski tidak terlalu rinci.
"Kenapa?"
Farid berpikir sesaat, merasa tidak asing dengan lelaki di foto. "Kayaknya aku pernah lihat, deh." Farid mengingat-ngingat. "Ahh, ya, bener. Waktu itu ... di rumah sakit. Dia nanyain Kiara di mana."
Kafka mulai tertarik. Apa jangan-jangan Kiara mencari lelaki itu?
"Tapi waktu itu kamu keburu bawa Kiara ke Bandung, jadi tidak ketemu."
"Terus, dia balik gitu aja atau ..."
Farid menggeleng. "Dia terus nanyain Kiara, bahkan ngebentak dokter sama suster. Kalau saja tidak ada temennya yang bawa dia, bisa-bisa dia ngamuk."
Kafka kembali menatap foto tersebut, jika memang Kiara mencari lelaki itu tapi kenapa Kiara tidak pernah menghubunginya? Ponselnya juga tidak aktif. Apa Kiara takut Kafka melarangnya pergi?
Saat tengah malam Kafka terpaksa bangun karena suara bising. Dia membuka mata, menggapai ponselnya yang berada di nakas. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Kafka menyapa dengan kesal.
"Ya, ini dengan Kafka. Anda perlu apa?"
Hening sesaat sampai Kafka melihat apakah teleponnya masih tersambung. "Halo?!"
"Bang Kafka," balas si penelepon.
Kafka langsung bangun saat mengenali suara peneleponnya. Rasa kantuk yang dirasakannya hilang dalam sekejap.
"Kiara!" seru Kafka.
