Bab 11 Dia Bukan Rapunzel
Bab 11 Dia Bukan Rapunzel
"Setiap orang mempunyai satu ingatan yang tak akan pernah pudar, sekeras apa pun mereka mencoba menghapusnya."
-Nice Guy-
Kiara menimbang-nimbang, haruskah dia membawakan Raskal makan siang seperti yang dikatakan Sendi minggu lalu?
Perempuan itu mendesah, menatap makanan yang dia masak. Dia sengaja membuat banyak, karena tidak ada kerjaan-hari ini Kiara libur, tidak pergi ke kampus atau kafe-Kiara terpaksa berdiam diri di rumah dan pada akhirnya membuat makanan sebagai pembunuh rasa bosan.
Tapi semalam Raskal juga tidak makan malam meski pulang cepat, karena begitu pulang Raskal langsung tidur. Tadi juga sarapannya sedikit karena ada telepon.
"Bisa-bisa dia pingsan kalau tidak makan terus," gumam Kiara. "Bunda juga pasti akan marah. Yang kena siapa lagi kalau bukan aku? Bisa-bisa Bunda menganggapku istri kejam. Om Zaki pasti lebih senang, terus nyuruh Raskal menceraikanku."
Kiara tersenyum lebar. "Aku bisa saja membuat Om Zaki tambah membenciku, dan aku bisa pergi dari sini." Wajah Kiara berubah sedih. "Tapi, aku bisa pergi ke mana kalau Bang Kafka tidak ada di sini."
Selain Kafka, Kiara tidak punya tujuan lagi. Orang tuanya meninggal enam tahun yang lalu, sedangkan Jeny-temannya-sama sekali tidak bisa diandalkan mengingat Jeny terlalu sibuk pacaran.
Meski terkadang sedikit menyebalkan dan membuat Kiara kesal setengah mati, secara tidak langsung Kiara menganggap Raskal sebagai teman yang bisa Kiara andalkan.
Raskal melakukan banyak hal untuk Kiara, bahkan lelaki itu bekerja keras hanya agar Kiara bisa belanja apa pun. Kalau saja Raskal datang dalam keadaan yang baik dan pas-bukan pemaksaan-pasti Kiara akan benar-benar jatuh hati pada Raskal.
Kiara menggelengkan kepala, kenapa dia berpikir aneh seperti tadi? Bisa-bisanya berpikir akan menyukai Raskal. Perempuan itu mendesah, menatap ponsel. Haruskah dia menghubungi Raskal?
"Kamu lagi di mana?" tanya Raskal begitu telepon diangkat.
Kiara menatap layar ponselnya dengan kesal, kenapa setiap kali Raskal atau Kiara menelepon, pertama kali yang dikatakan Raskal adalah 'kamu di mana?'. "Kayak dia takut aku kabur saja," gumam Kiara lalu kembali bicara dengan Raskal. "Di kafe," jawab Kiara asal.
"Sudah saya bilang, jangan pergi ke mana-mana! Diam di rumah."
Kiara mendengus kesal. "Kamu tidak berhak melarangku! Aku juga bosan kalau terus diam di rumah. Kenapa juga kamu melarangku pergi sendirian?!"
"Saya suami kamu, saya berhak ngelarang kamu. Kalau kamu ingin pergi keluar harus sama saya, atau sama Bunda."
"Kenapa kamu takut aku pergi sendiri?! Memangnya aku akan kabur."
Raskal terdiam lama. "Saya hanya merasa kasihan kalau kamu diculik nanti. Mana mau saya tebus kamu pakai uang. Jadi, lebih baik kamu pulang sekarang!"
Dengan kesal Kiara menutup ponselnya. Bisa-bisanya Raskal berkata seperti itu pada dirinya yang sudah dewasa dan bisa menjaga diri dengan sangat baik. Astaga, memangnya dia ini anak kecil. Siapa juga yang mau menculik perempuan aneh sepertinya.
Arggh, sia-sia saja Kiara menelepon Raskal kalau pada akhirnya hanya akan membuat Kiara kesal seperti ini.
Setelah berpikir sangat lama, akhirnya Kiara memutuskan untuk pergi menemui Raskal ke kantor. Meski Kiara masih kesal dengan insiden telepon tadi, namun dia tetap pergi juga. Tidak mungkin dia tega membiarkan Raskal pingsan hanya karena tidak makan. Bisa-bisa Farah akan membencinya kalau hal itu terjadi.
Kiara turun dari taksi, menggerutu dalam hati karena Raskal menyembunyikan motornya. Raskal memang sangat keterlaluan, namun sayangnya Kiara tidak bisa membantah lelaki itu. Raskal sangat menakutkan ketika marah.
Kiara berdiri di depan gedung, tampak ragu untuk masuk ke dalam. Dia sengaja tidak memberitahu Raskal mengenai kedatangannya, jika dia memberitahu Raskal pasti lelaki itu akan menyuruhnya langsung pulang lalu mengunci diri di rumah. Memangnya dia itu Rapunzel.
"Selamat siang, Bu Kiara," sapa Vina ramah. "Anda ingin bertemu dengan Pak Raskal?" Vina bertanya, seolah tahu kalau kedatangan Kiara hanya untuk Raskal. Semua ini gara-gara Raskal, kalau saja dia tidak memberitahu Salsa siapa Kiara sebenarnya, maka semua orang di kantor tidak akan tahu kalau Raskal sudah menikah dengan Kiara.
Kiara menggeleng, dia sangat malas bertemu dengan Raskal. "tidak perlu. Bolehkah saya meminta tolong?" Kiara memberikan kotak bekal. "Tolong berikan ini pada Pak Raskal."
"Kenapa tidak Anda berikan langsung? Kebetulan Pak Raskal belum pergi makan siang."
"Tidak, saya harus pergi lagi. Tolong berikan ini sama Pak Raskal. Terima kasih." Kiara buru-buru berbalik pergi, namun saat dia hendak keluar seseorang menghalangi jalannya. Kiara mengadah, terkejut melihat seseorang di hadapannya.
"untuk apa kamu di sini?" tanya Zaki, menatap Kiara penuh curiga.
Kiara menelan salivanya susah payah, dia berusaha untuk tersenyum meski yang terlihat malah senyum meringis. "Eh, apa kabar, Om?" Kiara mengatur napas, berusaha untuk tidak gugup. Tetapi, melihat tatapan menakutkan Zaki membuat nyalinya sedikit menciut.
"Bukannya jawab, malah balik bertanya."
"Oh, eh." Kiara mengerutkan kening, memangnya tadi Zaki bertanya apa. "Oh, ya. Saya baru saja mengantar makan siang untuk Raskal. Akhir-akhir ini Raskal sering lembur, tidak sempat makan malam. Kata Sendi juga Raskal hampir tidak pernah makan siang. Maka dari itu, saya bawakan makan siang untuk Raskal. Raskal akan sakit kalau tidak makan terus."
Zaki menatap ke arah Vina yang juga sedang memperhatikan mereka dengan penasaran. Zaki berdehem dan Kiara buru-buru menundukkan pandangan. "Kenapa tidak kamu antarkan sendiri ke Raskal."
Kiara menggigit bibir, Zaki pasti akan merasa senang jika Kiara bilang kalau dia sedang kesal sama Raskal. Dan jika begitu, Zaki pasti akan memarahi Raskal yang salah memilih pasangan.
Kiara menggersah, kenapa juga dia tiba-tiba merasa peduli pada hidup Raskal. Harusnya dia biarkan saja Raskal dimarahi sama Zaki.
"Saya hanya tidak ingin ganggu Raskal. Dia kelihatannya sibuk sekali."
"Tidak beguna!"
Kiara hanya diam, jika dia buka mulut pasti Zaki akan bicara lebih banyak, dan menarik perhatian semua orang. Dia berusaha menahan diri untuk tidak marah dan terus tersenyum.
"Kamu mau pulang sekarang?"
Kiara langsung mengangguk, meski dalam hati lain. Karena rencananya dia akan pergi ke Seven Cafe untuk bermain gitar bersama Naraka dan Jared dan pulang ke rumah sebelum Raskal pulang.
Zaki berbalik keluar, Kiara mengerutkan kening. Bukankah lelaki itu mau masuk ke kantor, kenapa malah keluar lagi.
Zaki melihat Kiara kesal. "Bukankah kamu mau pulang? Ayo!"
"Apa?"
"Apa otakmu ada kelainan? Apa kamu tidak mengerti apa yang saya katakan?" Melihat Kiara yang masih kebingungan Zaki mendesah kesal. "Kamu ikut saya pulang."
Kiara melongo, benar-benar terlihat seperti orang bodoh. Kemudian Zaki memberikan kunci mobil pada Kiara dan menyuruh Kiara untuk menyetir karena Zaki mengantuk.
"Tapi, Om ..." kata Kiara tapi tidak didengar karena Zaki langsung menutup pintu mobil dengan keras.
Kiara membenturkan kepalanya ke pintu mobil, kenapa Zaki dan Raskal membuat harinya kacau. Dia menatap kunci mobil di tangannya. Apa lelaki itu tidak tahu kalau Kiara tidak terlalu mahir menyetir? Kiara menatap Zaki yang memejamkan mata, haruskah dia bilang?
"Ada apa?" Zaki bertanya.
"Di mana alamat rumah, Om?"
Zaki melongo sesaat sebelum dia menggeleng kecil. "Ya ampun, kenapa Raskal menikahi wanita sebodoh kamu." Kemudian Zaki menyebutkan alamat rumahnya. "Cepat hidupkan mesin mobilnya. Kenapa? Tidak tahu juga."
Kiara merengut kesal. "Tahu."
Kiara menghidupkan mesin mobil dengan ragu-ragu, dia menghela napas lalu mengembuskan dan berdoa semoga perjalannya tidak kacau. Dia menginjak gas terlalu kuat sampai Zaki terdorong ke depan hingga membentur dashboard, lelaki itu meringis lalu menatap Kiara horor.
"Kamu ingin membunuh saya!"
Kiara melotot, buru-buru dia meminta maaf. "Mana saya berani ngebunuh, Om. Maafin saya, sungguh, saya tidak sengaja."
"Kamu bisa nyetir tidak."
"Sebenarnya saya belum mahir menyetir mobil." Kiara ingat saat pertama kali mengendarai mobil adalah ketika dia mengambil alih paksa kemudi taksi Pak Maman, saat hendak pergi ke bandara menjemput Kafka.
"Astaga," Zaki hanya bisa mendesah. Menggerutui Raskal yang bisa-bisanya memilih istri seaneh Kiara. "Turun, biar saya yang nyetir."
Kiara tersenyum lebar, mereka langsung bertukar tempat. Sebelum mobil melaju Zaki melirik Kiara sinis lalu melihat ke depan tanpa menoleh lagi.
Sepanjang perjalanan, Zaki terus mengejek Kiara yang tidak bisa mengendarai mobil. Dia juga tidak berhenti mengoceh, menunjukkan cara menyetir yang baik dan benar, bukan mencelakai orang. Zaki juga menyuruh Kiara untuk mengingat jalan menuju rumah Farah, agar Kiara tidak nyasar nantinya.
"Baik, saya ingat, Om. Semua. Saya ingat semuanya. Semua yang Om Zaki katain udah terekam dalam otak saya."
"Baguslah. Jangan sampai menyusahkan orang lain."
Kiara mencibir dalam hati, pantas saja Raskal sangat menyebalkan karena ayahnya juga rupanya sedikit menyebalkan. Kiara mendesah, kenapa juga dia harus bertemu dengan kedua lelaki itu.
"Sampai kapan mau di sana terus? Kamu mau saya bukain pintunya?" tanya Zaki sinis saat Kiara tidak keluar juga dari dalam mobil padahal mereka sudah sampai.
Kiara tersenyum lebar. "Om, tidak perlu ngelakuin hal seperti itu. Saya masih punya dua tangan buat buka pintu." Kiara membuka pintu mobil. "Nahh, ayo kita masuk. Bunda ada di rumah tidak?" tanya Kiara mendahului Zaki masuk ke dalam rumah.
Farah sedang pergi ke Bogor, menghadiri acara yang tidak Kiara mengerti. Di rumah hanya ada Zaki seorang, lelaki itu menyuruh Kiara membersihkan lantai atas yang kotor karena jarang ditinggali dan Farah tidak sempat membersihkan lantai atas. Zaki juga menyuruh Kiara membersihkan halaman belakang yang penuh dengan sampah dedaunan.
"Jadi, Om Zaki ngajak saya ke sini buat bersih-bersih rumah?"
"Kenapa? Tidak mau?"
Kiara tersenyum lebar, meski dalam hati dia ingin mengumpat sekeras-kerasnya. Bagaimana bisa Zaki bersikap kejam padanya.
Dengan sangat terpaksa Kiara membersihkan halaman belakang seperti yang diperintahkan Zaki. Sesekali mengomeli Zaki yang bersikap kejam, sama seperti anaknya yang selalu membuat Kiara kesal setengah mati.
Perempuan itu mendesah, mengusap keringat di kepala sambil melihat ke sekeliling halaman belakang yang cukup luas. Pekerjaan pertamanya sudah selesai, tinggal membersihkan lantai atas yang tidak kalah luasnya.
"Dia benar-benar ingin menyiksaku, menyuruhku datang hanya untuk membersihkan rumah? Astaga, keterlaluan!" gumam Kiara membersihkan sofa dengan penyedot debu.
Kiara langsung tersenyum sangat lebar saat Zaki datang untuk mengawasi Kiara bekerja. "Bentar lagi beres, Om," kata Kiara.
"Hem, bersihkan juga kamar-kamarnya."
"Apa?"
"Apa telingamu bermasalah?"
Kiara menarik napas lalu mengembuskannya, dia mengangguk dengan wajah kesal. "Ya ampuun, aku tidak bisa bayangin Bunda yang tinggal serumah sama Om Zaki."
Kemudian Kiara mulai membersihkan dua kamar yang terletak di lantai atas. Kamar pertama dijadikan perpustakaan kecil, juga tempat penyimpanan barang-barang milik Zaki. Sedangkan kamar kedua, sepertinya itu kamar Raskal melihat dari satu-satunya foto yang terpajang di meja.
"Ini kamar atau penjara?" Kiara bengong melihat isi kamar Raskal yang tidak lebih dari ranjang, meja kecil, dan lemari. "Dia memang aneh."
Tidak ingin berlama-lama, Kiara membersihkan kamar Raskal hingga terbebas dari debu. Saat Kiara hendak keluar, dia melihat sebuah album foto yang tadi tidak Kiara perhatikan.
"Ohh, apa ini?" tanya Kiara. "Beautifull Memory?" Kiara terkekeh membaca judul album tersebut. Bahkan dia tidak tahu kalau Raskal bisa membuat judul semanis itu. "Mari kita lihat, apa saja yang jadi kenangan indahnya, hem."
Kiara mulai membuka album tersebut, tersenyum saat melihat foto Farah dan Raskal dalam berbagai pose. Meski kebanyakkan pose Raskal itu-itu saja. Namun ketika Kiara membuka halaman keempat, jantungnya serasa berhenti. Bagaimana bisa? Pikir Kiara terkejut, dia membuka halaman berikutnya, dan lagi-lagi dia merasa sangat terkejut.
21 Oktober 2015
"Itu dua tahun yang lalu," gumam Kiara melihat tanggal yang sengaja Raskal tulis. "Tapi, bagaimana bisa Raskal punya fotoku?"
Dan sisa halaman album foto tersebut penuh dengan foto seorang perempuan yang sangat mirip dengan Kiara dalam berbagai pose. Ada juga foto berdua dengan Raskal. Dalam fotonya, Raskal tersenyum sangat lebar sambil merangkul perempuan mirip Kiara dengan background perkebunan. Lalu ada juga foto saat Raskal memasang wajah cemberut sedangkan perempuannya tertawa bahagia.
Kiara menjatuhkan album tersebut ketika merasa kepalanya sangat sakit. Dia menggeleng, namun sakitnya masih terasa.
"Sudah kubilang, singkirkan kameranya," gerutu Kiara berusaha menghindar.
Lelaki itu memaksa, dia menarik tangan Kiara. "Kenapa? Kamu takut?"
Kiara mendecih, dia hanya tidak suka difoto. "Tidak. Aku pulang aja, deh." Kiara berjalan pergi namun ditahan oleh lelaki itu, dia tersenyum dan kembali duduk di hadapan lelaki itu. Tidak tega melihat wajah murung lelaki itu, dengan ragu Kiara mencubit pipi lelaki itu dan mengambil gambarnya dengan kamera.
"Jangan sedih, ayo kita foto bersama. Terus kita pajang fotonya besar-besar di rumahmu." Kiara terkekeh sendiri dengan perkataannya, dia menatap lelaki itu yang sedang tersenyum memperhatikan hasil gambar yang diambil. Senyum di wajah Kiara hilang, matanya berkaca-kaca lalu mengalihkan perhatian ke arah lain.
Kiara terengah, dia membenamkan kepala ke ranjang dan terisak pelan. Kenapa kenangan tadi begitu jelas hingga Kiara merasa kalau hatinya sakit saat memandang lelaki itu. Lelaki yang tidak bisa Kiara kenali dengan jelas, tapi selalu hadir dalam kepalanya.
Kiara memejamkan mata, saat itulah dia melihat wajah lelaki itu dengan sangat jelas. Mendadak Kiara merasa sekujur tubuhnya lemas.
"Kia!" teriak Raskal tiba-tiba, membuka pintu hingga menimbulkan kegaduhan. "Sudah saya bilang-"
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Kiara menatap tajam Raskal. "Siapa perempuan yang ada di foto ini?"
