Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bidan Eka

Perempuan di Klinik Bersalin

Part 3

***

POV Bidan Dewi

***

Selang beberapa lama, aku sama sekali tak mendengar ada suara kendaraan, baik sepeda motor ataupun mobil yang datang di depan klinik.

[Terus Bu Anggi pulang naik apa? Masa iya dia berjalan kaki, dari klinik sampai ke depan jalan masuk di ujung jalan sana?

Alangkah jauhnya, aku saja yang mengendarai sepeda motor lumayan lelah. Apalagi tadi kulihat Bu Anggi memakai sepatu dengan hak yang lumayan tinggi]

Aku penasaran sebetulnya, namun entah kenapa, diri ini tak berani menanyakan hal itu pada Bidan Eka.

[Eh … iya, aku kan sedang berada di ruang kerja Bu Anggi bersama Bidan Eka. Ya ampun … aku malah melamun dari tadi]

"Kamu kenapa, Dewi? Seperti orang yang keheranan gitu?" tanya Bidan Eka tiba-tiba, seraya menatap wajahku. Dia seperti mengetahui apa yang sedang aku pikirkan.

"Eh … eng ... nggak apa-apa kok, Mbak." Aku menjawab dengan terbata-bata.

Aku balas menatap wajah Bidan Eka, sepersekian detik mata kami saling bersirobok. Kami beradu pandang. Betapa dingin raut mukanya. Betul-betul tanpa ekspresi. Bulu kudukku spontan meremang, degupan jantung berdetak tak karuan.

Aku merasakan ada hal aneh di mata perempuan yang sedang menatapku itu, tapi apa? Beberapa detik kemudian, aku memalingkan wajah ini dari menatapnya, aku merasakan takut yang sangat secara tiba-tiba.

"Kamu lihat-lihat saja dulu semua yang ada di dalam klinik ini, sambil menunggu kita bergantian shift nanti. Aku akan ke dapur menemani Bik Ratmi memasak untuk makan siang kita," kata Bidan Eka.

[Bik Ratmi? Memasak di dapur? Oh .. dia mungkin juru masak yang bekerja di Klinik Bersalin Kencana. Tapi sepertinya, waktu Bu Anggi tadi membawaku mengelilingi klinik ini, nggak tampak seorang pun di dalam ruangan, juga di dapur. Apa dia baru datang, saat Bu Anggi telah selesai membawaku mengelilingi seluruh ruangan klinik?]

Entahlah ... terlalu banyak hal yang kurasakan aneh di klinik bersalin ini. Dan yang lebih aneh lagi, aku tak menanyakan semua keanehan itu pada Bidan Eka. Entah mengapa, aku seperti tak mempunyai keberanian untuk bertanya padanya. Mulut ini seakan terkunci, padahal semua pertanyaan ada di dalam kepalaku.

Bidan Eka kemudian pergi keluar ruang kerja Bu Anggi, meninggalkan aku sendiri di dalam ruangan itu.

Saat dia akan menutup pintu, tak sengaja diri ini melihat wajah Bidan Eka. Kali ini dia tersenyum padaku. Hal yang tak pernah terlihat selama tadi kami bersama di dalam ruang kerja Bu Anggi. Tapi senyum itu begitu membuatku merasa sangat takut, seperti senyum Bu Anggi ketika pamit akan pulang tadi. Aku bergidik, lantas cepat-cepat aku memalingkan wajah ke arah lain.

***

Setelah Bidan Eka keluar ruangan, (aku tak melihat ke arah mana dia pergi, karena saat dia keluar, pintu ruangan dia tutup) aku pun segera menyusul keluar dari ruang kerja Bu Anggi.

Aku masuk ke kamar perawatan yang terletak paling ujung. Aku tadi melihat ada jendela yang mengarah ke luar. Dari sana, aku bisa melihat ke arah belakang ruangan, termasuk dapur.

Aku membuka jendela yang ada di dalam kamar perawatan itu dengan perlahan. Sebab aku tak ingin Bidan Eka mengetahuinya.

Pandangan mata lalu kuarahkan ke dapur. Tapi tak terlihat siapa pun ada di sana. Beberapa saat aku mengucek-ucek mata, barangkali saja memang mata ini yang tak dapat melihat Bidan Eka dan Bik Ratmi ada di dapur.

Berulangkali aku mengucek mata, tapi tetap saja tak terlihat ada orang di dapur. Aku kemudian bergeser agak ke samping, siapa tahu dari arah sana bisa lebih jelas terlihat. Namun tetap saja sama, aku tak melihat siapa pun ada di dapur, baik Bidan Eka maupun Bi Ratmi.

Seperti sebelumnya, rasa penasaranku hanya ada sampai di kepala. Kaki ini terasa berat dipakai melangkah ke arah dapur, untuk memastikan apakah mataku memang masih normal melihat dari jarak yang agak jauh.

Aku mengalihkan pandangan, melihat ke samping dapur. Tampak ada pohon bambu yang tumbuh sangat rimbun di sana. Kuperhatikan agak lama pohon bambu itu, tiba-tiba aku mendengar seperti ada suara orang yang sedang tertawa di sana. Aku merinding, suara tawa itu begitu menyeramkan terdengar di telinga.

Bergegas aku keluar dari kamar perawatan itu, lalu duduk di salah satu bangku yang ada di depan setiap kamar. Kuperhatikan seisi ruangan klinik. Semua terlihat sangat rapi dan bersih.

Oh … iya, aku baru ingat, ruangan klinik bersalin ini bisa terlihat rapi dan bersih, tentu saja ada orang yang menata dan membersihkannya. Seorang petugas cleaning service.

Tapi lagi-lagi aku tak melihat seorang petugas cleaning service dari tadi pagi di klinik bersalin ini. Sungguh sangat aneh.

"Dewi, ayo kita makan bersama." Suara Bidan Eka membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba saja dia sudah ada di dekatku, Dia menatapku dengan tajam.

Sejenak aku tertegun.

Kapan Bidan Eka datang? Aku sama sekali tak mendengar suara langkah kakinya. Aku rasa, telinga ini belum terlalu tuli kalau hanya sekadar untuk mendengar langkah kaki orang berjalan. Dari mana tadi Bidan Eka masuk ke ruangan ini? Aku sama sekali tak melihatnya masuk dari arah luar, karena aku juga duduk menghadap ke luar. Aku membatin. Betul-betul membuat diri ini tak habis pikir.

"Iya, Mbak."

Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku. Dengan rasa keheranan yang teramat sangat, aku beranjak dari duduk lalu berjalan mengikuti Bidan Eka dari belakang, menuju ke dapur.

Sebelum masuk ke dapur, aku perhatikan lagi pohon bambu yang tumbuh di sebelah dapur.

[Kenapa nggak ditebang saja pohon bambu itu ya? Untuk apa dibiarkan tumbuh di sana? Menurutku, malah mengganggu pemandangan saja. Batangnya yang berdempet dan daunnya yang rimbun malah bikin seram melihatnya. Tapi entahlah, mungkin ada sesuatu yang aku nggak tahu tentang pohon bambu itu sehingga dibiarkan tumbuh di sana]

"Dewi, kenapa kamu malah bengong saja di situ? Ayo cepet masuk dan kita makan," panggil Bidan Eka mengagetkan.

"Oh ...eh ... iya, Mbak."

Aku kemudian segera masuk ke dapur.

"Ini Bik Ratmi, juru masak di klinik," kata Bidan Eka memperkenalkan seorang perempuan paruh baya yang berperawakan agak gemuk.

Aku tersenyum pada Bik Ratmi, dia pun membalas senyumku, yang lagi-lagi terlihat sangat menakutkan.

Bik Ratmi kemudian mengulurkan tangannya, aku menyambut menyalami.

[Tapi kenapa tangan Bik Ratmi terasa begitu sangat dingin? Aku seperti sedang memegang sebuah bongkahan kecil sebuah es batu. Dingin sekali]

Setelah bersalaman dengan Bik Ratmi, aku duduk di depan Bidan Eka. Bik Ratmi tidak ikut makan bersama kami. Dia pergi keluar dapur, entah ke mana.

Tampak terhidang berbagai macam jenis masakan di atas meja, yang kelihatan sangat menggugah selera.

Ada sepiring mie goreng lengkap dengan irisan daging, udang, telur dan bakso, selain sayuran sawi dan kobis. Lalu ada juga sepiring ayam goreng, telur yang disambal, dan semangkuk besar sop daging sapi. Ada dua buah toples yang berisi kerupuk udang dan emping. Betul-betul menu makan siang yang sangat lengkap.

Saat sedang akan makan, aku melihat ke arah jendela kamar perawatan yang terletak paling ujung. Bisa terlihat dengan jelas jika memang ada orang di dalam sana. Tapi kenapa tadi aku tak bisa melihat siapa pun di dapur ini dari kamar perawatan itu ya? Aku membatin.

"Ayo cepat dimakan makanannya, Dewi. Nanti keburu dingin." Suara Bidan Eka membuyarkan lamunanku.

Aku melihat ke meja makan, betapa sangat terkejutnya diri ini, sebab semua makanan yang tadi terhidang di atasnya, sudah habis tak bersisa. Tinggal yang ada di dalam piringku, karena memang belum dimakan.

[Bidan Eka menghabiskan semua makanan sebanyak ini? Alangkah cepatnya. Apa aku tadi melamun dengan sangat lama, sehingga nggak melihat saat dia makan?]

Rasa lapar yang tadi kurasakan, mendadak hilang seketika, berganti dengan rasa mual. Aku tak habis pikir, Bidan Eka bisa menghabiskan makanan sebanyak itu dengan waktu yang sangat cepat, tanpa aku melihat kapan dia mengunyahnya.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel