Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Banyak Keanehan yang Terjadi

Perempuan di Klinik Bersalin

Part 4

***

POV Bidan Dewi

***

Perutku betul-betul terasa sangat mual, di dalamnya seperti sedang diaduk-aduk dengan begitu kuat, sehingga menyebabkan diri ini ingin sekali muntah, mengeluarkan semua isi perut. Agar terasa lega.

Aku lalu menyingkirkan piring yang berisi nasi beserta lauk pauknya dari hadapanku, dan diri ini tak jadi makan. Rasa lapar yang tadi sempat kurasakan, langsung hilang seketika, pergi entah ke mana. Selera makan ketika pertama tadi melihat bermacam menu di atas meja yang sangat menggugah selera, spontan hilang. Dengan sekuat tenaga diri ini berusaha menahan rasa ingin muntah yang sudah sampai tenggorokan.

"Loh ... kamu kok nggak jadi makan, Wi? Kenapa? Memangnya kamu nggak lapar apa? Apa kamu kurang suka sama makanannya? Padahal semua masakan Bik Ratmi sangat enak. Rugi kamu kalau nggak mencicipi. Aku saja sampai nambah terus," tanya Bidan Eka beruntun, seraya menautkan kedua alis dan memandangku dengan heran. Tatapannya tajam penuh selidik. Sungguh sangat membuat aku takut setengah mati. Bulu kuduk di leher dan kedua tanganku langsung meremang. Dan degupan jantung berdetak tak karuan.

"Saya nggak lapar lagi, Mbak. Perut saya tiba-tiba saja terasa sangat mual, ingin sekali muntah. Takutnya nanti malah betulan muntah kalau dipaksa makan." Aku menjawab sambil tangan kiri memegangi perut dan tangan kanan menutup mulut, tanpa berani diri ini menatap wajah Bidan Eka yang tampak sangat menyeramkan.

Bidan Eka mendengkus sembari bergumam, entah apa yang dia ucapkan, aku tak begitu jelas mendengarnya. Tak lama berselang, dia lantas beranjak dari tempat duduk, lalu pergi keluar dapur, meninggalkan aku sendirian, tanpa pamit terlebih dulu.

Aku segera mencuci semua peralatan makan yang baru saja digunakan, sedangkan nasi beserta lauk yang masih ada di dalam piring, dengan sangat terpaksa aku membuangnya ke tempat sampah. Walaupun sebetulnya ada rasa yang mengganjal dalam hati karena telah membuang makanan. Tapi aku tak melihat ada seekor hewan pun yang berkeliaran di sekitar dapur, baik ayam atau kucing, yang bisa aku beri makanan tersebut.

Setelah semua peralatan makan selesai aku cuci, aku kemudian buru-buru menyusul Bidan Eka ke ruang depan klinik. Merinding juga aku lama-lama berada di dapur sendirian.

***

"Dewi, sekarang sudah waktunya gantian shift, aku mau pulang, nanti malam ada Bidan Ara yang akan dinas menggantikan kamu," kata Bidan Eka, seraya melihat jarum jam di pergelangan tangan kirinya, begitu dia melihat aku masuk ke ruangan dalam klinik.

Bidan Eka tampak sedang duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan ruang perawatan, berhadapan dengan ruang kerja Bu Anggi. Aku segera menghampirinya, tanpa berani memandang wajah perempuan itu.

Aku lantas melihat jarum jam yang menempel di dinding, yang ada di sebelah atas meja pendaftaran. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Memang sudah saatnya pergantian shift, dari yang dinas pagi ke yang dinas sore.

"Iya, Mbak," kataku singkat, masih tetap tanpa memandang wajah Bidan Eka. Degupan jantungku masih belum teratur.

Bidan Eka kemudian keluar ruangan dan berjalan menuju ke depan klinik. Aku mengikutinya dari belakang, bermaksud akan mengantar dia pulang.

Tanpa berpamitan lagi kepadaku, Bidan Eka berjalan ke arah depan jalan. Dia tidak bersedia waktu aku menawarkan diri untuk mengantarnya sampai ke ujung jalan depan, entah kenapa. Padahal jarak yang harus ditempuh cukup jauh.

Dan sudah pasti lumayan melelahkan. Jangankan dengan berjalan kaki, aku yang mengendarai sepeda motor saja merasa lumayan capek.

Saat sedang melihat Bidan Eka berjalan ke arah jalan depan, kakiku tiba-tiba digigit semut, spontan aku menjerit, karena terasa sangat sakit. Aku lantas berjongkok untuk melihat bagian yang terasa sakit. Ternyata ada seekor semut merah besar (semut rangrang) yang menggigit kakiku. Segera aku membuang semut itu.

Aku lalu menengadahkan muka, tampak di atas kepala ada sebatang pohon jambu yang sedang berbunga, tumbuh di luar pagar klinik dan sebagian rantingnya menjuntai ke halaman samping klinik. Mungkin semut yang tadi menggigitku jatuh dari atas pohon jambu itu.

Beberapa saat kemudian, kembali aku berdiri, untuk melihat Bidan Eka sudah sampai sejauh mana. Tapi ternyata dia sudah tak terlihat lagi berjalan ke arah depan, padahal belum sampai dua menit aku tadi berjongkok. Cepat sekali Bidan Eka berjalan, atau mungkin dia berlari, agar segera bisa sampai di ujung jalan, aku membatin. Entahlah ...

***

Aku kembali masuk ke ruangan dalam klinik. Menuju meja pendaftaran, dimana terpasang beberapa buah STR (Surat Tanda Registrasi) yang dibingkai. Aku membaca satu demi satu nama yang tertulis di STR itu.

Ada STR milik dua orang dokter, dokter Dian selaku penanggungjawab Klinik Bersalin Kencana, dan dokter Susan sebagai dokter jaga.

Ada STR milik tiga orang perawat, yaitu Suster Evi, Suster Ina dan Suster Tia.

Dan ada STR milik dua orang bidan, Bidan Eka dan Bidan Ara.

Aku kemudian mengamati satu per satu semua foto yang ada di masing-masing STR tersebut dengan saksama. Aku merasa seperti ada yang janggal dengan foto-foto itu, tapi apa? Ada yang terasa aneh menurutku, tapi lagi-lagi diri ini tak tahu apa yang janggal dan aneh itu.

Aku lantas beralih melihat jadwal dinas karyawan Klinik Bersalin Kencana yang tertulis di whiteboard, yang dipasang di dinding dekat pintu masuk ruangan dalam klinik.

Tertulis di sana nama Bidan Ara yang akan dinas malam ini, juga tadi malam.

[Tapi kenapa aku hanya bertemu dengan Bu Anggi dan Bidan Eka tadi pagi ya, padahal waktu aku datang ke sini kan belum saatnya pergantian shift malam ke shift pagi? Aku juga nggak berpapasan dengan seorang pun di jalan, saat akan menuju ke klinik ini. Atau Bidan Ara izin nggak masuk dinas tadi malam?]

Setelah itu, aku lalu melihat-lihat Buku Register Kunjungan Pasien Klinik Bersalin Kencana. Terlihat di catatan, masih belum banyak pasien yang datang berkunjung ke klinik bersalin ini, seperti kata Bu Anggi tadi pagi. Sebab Klinik Bersalin Kencana ini masih baru dan belum banyak orang yang mengetahui keberadaannya.

Aku lantas larut membaca buku-buku yang ada di dalam lemari. Tiba-tiba aku seperti mendengar suara air kran yang mengalir.

Aku menutup buku yang sedang dibaca. Kemudian memasang telinga dengan saksama, agar bisa mendengar dengan lebih jelas lagi, apakah memang betul itu suara air kran yang mengalir atau hanya aku yang salah dengar.

Sepuluh detik aku bergeming, sambil mempertajam pendengaran. Ya betul, ternyata memang aku tak salah mendengar. Suara air mengalir itu terdengar sangat jelas. Tapi siapa yang menyalakan air kran, sebab dari tadi pagi aku tak menggunakan air, karena sedang berhalangan. Aku sama sekali belum masuk ke kamar mandi, atau memakai air untuk berwudu.

Dengan masih merasa heran, diri ini segera beranjak dari duduk lalu berjalan mencari arah sumber suara itu. Ternyata suara air mengalir tersebut berasal dari dalam kamar mandi ruang bersalin.

Perlahan aku membuka pintu ruang bersalin. Namun ketika masuk, di dalam aku tak mendengar suara apa-apa. Aku lantas membuka pintu kamar mandi yang ada di dalamnya, juga tak terlihat ada air yang mengalir di sana.

Seketika aku merinding. Bergegas aku kemudian keluar dari ruang bersalin dan menutup kembali pintunya dengan rapat. Aku segera pergi ke meja pendaftaran dan melanjutkan membaca buku di sana, yang tadi sempat tertunda.

***

Waktu telah menunjukan pukul setengah lima sore, tapi belum ada seorang pasien pun yang datang berkunjung ke klinik.

Karena merasa bosan membaca buku, aku pergi keluar ruangan dalam klinik lalu duduk di bangku yang ada di depan. Sembari memperhatikan rumah bertembok bata merah yang ada di depan Klinik Bersalin Kencana, sambil berharap akan melihat seseorang yang ada di sana. Tapi sampai lama aku duduk menunggu, tak juga terlihat ada orang di rumah itu.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel