Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bu Anggi

Perempuan di Klinik Bersalin

Part 2

***

POV Bidan Dewi

***

"Bagaimana, Dewi? Apa kamu bersedia?" tanya Bu Anggi mengagetkan. Dia menatapku, sorot matanya sangat tajam.

Aku masih terdiam. Jujur aku merasa bingung. Di satu sisi aku memang sedang membutuhkan pekerjaan, tapi di sisi yang lain, aku merasa takut jika harus berdinas malam sendirian di tempat ini.

Jarak tempuh dari rumah ke klinik yang lumayan jauh, adalah salah satu hal yang jadi pertimbangan. Paling tidak sehabis waktu magrib aku harus sudah berangkat agar tak terlambat sampai di sini. Belum lagi berada di jalan pada waktu malam. Apalagi aku baru pertama kali datang ke daerah di mana Klinik Bersalin Kencana berdiri.

Diri ini balas menatap wajah Bu Anggi. Sesaat mata kami saling bersirobok. Dan entah kenapa, tiba-tiba seperti ada sebuah magnet yang menarikku untuk menganggukan kepala tanda setuju dengan apa yang dia tawarkan padaku.

"Iya, Bu. Saya bersedia bekerja di klinik bersalin ini," jawabku akhirnya. Padahal aku sendiri tak yakin dengan jawaban tersebut. Dan entah mengapa aku menjawab seperti itu.

Kulihat Bu Anggi tersenyum simpul, penuh misteri.

"Baiklah Dewi. Kalau begitu, sekarang mari ikut saya. Akan saya tunjukan semua ruangan yang ada di dalam klinik bersalin ini, agar kamu bisa langsung beradaptasi," kata Bu Anggi seraya berdiri lalu berjalan keluar dari ruangan dalam klinik.

Aku mengikutinya dari belakang. Bu Anggi menuju ke sebuah ruangan yang berada paling depan dari bangunan Klinik Bersalin Kencana.

"Ini ruang apotek, kamu bisa belajar lebih banyak tentang obat-obatan di sini. Karena saat berdinas sendirian nanti, kamu dituntut untuk bisa memberikan pertolongan pertama pada pasien yang datang, sebelum kamu memberitahukan kondisi pasien itu kepada dokter jaga atau dokter penanggungjawab klinik ini," jelas Bu Anggi.

Aku melihat sekeliling ruang apotek itu. Ruangan yang cukup luas, berukuran sekitar 16 meter persegi. Ada dua buah lemari berukuran besar, yang satu digunakan sebagai lemari obat, dan yang satu lagi untuk tempat peralatan lain. Ada sebuah meja tulis yang di atasnya terdapat beberapa buah buku folio besar, tempat ATK (alat tulis kantor seperti bolpoin, pensil, penggaris, tip ex, penghapus dan semacamnya), dua buah mortar (alat untuk menumbuk obat) berukuran besar dan sedang, sebuah rak kecil berisi tumpukan kertas resep, plastik obat, nota, kwitansi dan lain-lain.

Bu Anggi kemudian masuk ke ruangan di sebelah ruang apotek, setelah dirasa cukup memberikan beberapa penjelasan padaku tentang ruang apotek tersebut.

Tertulis di atas pintu masuk 'Ruang Periksa.' Ruangan itu lebih besar dari ruang apotek tadi. Mungkin berukuran sekitar 20 meter persegi. Di dalam ruang periksa aku melihat ada dua buah bed gynecologi beserta bantal dan selimut di atasnya, dua set meja dan kursi, dua buah lemari yang satu berisi peralatan medis dan yang satu lagi berisi obat-obatan, yang terletak berjejer di pojok ruangan, dua buah tabung oksigen berukuran besar dan kecil, dua buah tiang gantungan infus, serta sebuah poster Penanganan Syok Anafilaktik yang terpasang di dinding.

Setelah dari ruang periksa, Bu Anggi masuk lagi ke ruangan dalam klinik. Di sebelah ruangan kerja Bu Anggi, terdapat beberapa buah ruangan yang digunakan untuk kamar perawatan.

"Semua kamar di sini sama, jadi nggak ada kamar VIP. Karena klinik bersalin ini berdiri di kampung, maka menyesuaikan dengan keadaan di sekitarnya," jelas Bu Anggi, sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah beberapa kamar tersebut.

[Di kampung? Kampung yang mana? Perasaan waktu aku datang ke sini, nggak lihat ada rumah selain rumah yang ada di depan klinik. Atau mungkin aku yang belum tahu, kalau di sekitar sini memang ada kampung?]

Kami lalu memeriksa setiap kamar perawatan tersebut. Jumlahnya semua ada sepuluh buah, dan di setiap kamar perawatan itu ada dua buah tempat tidur beserta nakas di masing-masing sisinya, dengan kamar mandi di dalam. Setiap kamar perawatan itu berukuran 20 meter persegi.

[Sepertinya Bu Anggi menginginkan agar setiap pasien yang dirawat di klinik bersalin ini, bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman. Baik mereka yang sebelum melahirkan ataupun setelah melahirkan]

Di depan masing-masing kamar perawatan, terdapat sebuah bangku panjang, mungkin untuk duduk para pengunjung atau menunggu pasien yang sedang dirawat inap.

Di tengah ruangan, ada meja pendaftaran. Di dindingnya terdapat beberapa buah bingkai foto berisi STR (Surat Tanda Registrasi) dokter, bidan dan perawat yang bekerja di Klinik Bersalin Kencana. Juga SIP (Surat Izin Praktik) dan SIBB (Surat Izin Bekerja Bidan)

Setelah itu, kami menuju ke sebuah ruangan berukuran sekitar 24 meter persegi dengan kamar mandi di dalamnya, yang digunakan sebagai kamar bayi. Letaknya di ujung ruangan. Di sana terdapat lima buah box bayi lengkap dengan kelambu, ada dua buah alat inkubator (tempat untuk merawat bayi baru lahir dengan resiko, seperti berat badan lahir rendah, ikterus atau bayi kuning, dan semacamnya), dua buah tabung oxygen ukuran kecil, sebuah lemari baju dan perlengkapan bayi lainnya, serta sebuah meja yang bisa digunakan untuk memandikan bayi sekaligus untuk mengganti baju atau popok bayi.

Di depan kamar bayi adalah kamar bersalin yang berukuran 20 meter persegi. Ada dua buah bed ginekologi yang digunakan untuk melahirkan beserta nakas di masing-masing sisinya, sebuah tabung oxygen ukuran besar, dua buah tiang gantungan infus, lemari kaca untuk tempat peralatan medis, sebuah meja seperti di ruangan bayi dan beberapa buah kursi plastik yang ditumpuk di sudut ruangan.

Di antara kamar bayi dan ruang bersalin, ada pintu keluar menuju ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Klinik bersalin ini agak aneh menurutku, karena biasanya ruang UGD itu terdapat di depan, tapi di sini terletak di belakang. Di samping UGD ada ruang PI (Pencegahan Infeksi, tempat untuk mensterilkan alat-alat kesehatan seperti partus set, hecting set, alat untuk kuret dan sejenisnya) dan di sebelah ruang PI adalah dapur.

Setelah menunjukan semua ruangan yang ada di dalam Klinik Bersalin Kencana, kami kembali ke ruang kerja Bu Anggi.

"Jadi kapan kamu akan mulai dinas di sini, Dewi?" tanya Bu Anggi, setelah kami duduk.

"Apa bisa mulai hari ini?" lanjutnya, sebelum aku menjawab pertanyaannya yang pertama. Nada suara Bu Anggi seakan memaksa.

"Kamu bisa mulai dinas sore hari ini," titahnya kemudian, tanpa menunggu persetujuan dariku, apakah aku bisa atau tidak.

Aku melihat jam dinding yang ada di ruangan itu. Waktu sudah menunjukan hampir pukul 12.00 WIB, berarti sebentar lagi waktu pergantian shift dinas sore.

[Eh tunggu ... aku sejak tadi pagi nggak melihat ada seorang pun di klinik bersalin ini selain Bu Anggi. Padahal dia bilang ada tiga orang perawat dan dua orang bidan yang dinas secara shift. Seharusnya ada dua orang petugas yang dinas malam dan yang dinas pagi yang aku temui, karena aku datang ke sini tadi belum waktunya pergantian shift dinas malam ke dinas pagi]

"Bagaimana, Dewi?" Sekali lagi Bu Anggi bertanya.

"Oh ... iya, Bu. Saya bersedia mulai dinas sore hari ini," jawabku dengan setengah ragu.

"Kalau begitu kamu nggak perlu pulang lagi, waktunya tinggal sebentar. Nanti kamu bergantian shift dengan Bidan Eka yang dinas pagi hari ini."

[Bidan Eka dinas pagi? Rasanya aku nggak melihat siapa pun dari tadi di klinik bersalin ini. Atau dia sedang berada di ruangan yang lain?]

Bu Anggi berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia lantas memanggil Bidan Eka.

"Eka ... tolong kamu ke ruangan saya sebentar," panggil Bu Anggi setengah berteriak.

Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan yang dipanggil Eka. Dia sepertinya seumuran denganku.

Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dia menatapku dengan tajam, tak ada senyum sedikitpun di bibirnya. Aku tak berani balas menatap wajahnya. Bulu kuduk di leher dan kedua tanganku tiba-tiba berdiri. Aku melihat wajah Bidan Eka sangat menakutkan.

"Eka, ini Dewi. Bidan baru di klinik. Dia akan mulai dinas sore hari ini," kata Bu Anggi memperkenalkan aku pada Bidan Eka.

"Iya, Bu," jawab Bidan Eka, tetap datar tanpa ekspresi.

"Ya sudah, sekarang saya mau pulang. Tolong nanti Dewi diberitahu apa saja yang harus dia kerjakan," pesan Bu Anggi pada Bidan Eka.

[Pulang? Aku kok nggak lihat ada kendaraan terparkir di depan klinik selain sepeda motorku. Atau Bu Anggi akan dijemput?]

Bu Anggi kemudian keluar ruangan, sambil tersenyum ke arahku. Tapi entah kenapa, aku malah merasa takut melihat senyumannya.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel