Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sekar

Perempuan di Klinik Bersalin

Part 5

***

POV Bidan Dewi

***

Hingga menjelang waktu magrib, aku duduk di depan klinik. Tapi tetap saja tak terlihat ada seorang pun di rumah bertembok bata merah itu.

Juga tak ada seorang pasien pun yang datang berkunjung ke klinik. Jangankan pasien, sejak dari tadi aku duduk di depan, aku tak melihat ada orang yang lewat di depan klinik. Kendaraan pun sama. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat, baik sepeda, sepeda motor maupun mobil. Sepi sekali suasana di sekitar Klinik Bersalin Kencana ini.

Aku kemudian pergi ke belakang untuk menyalakan semua lampu. Saat akan menyalakan lampu dapur, mataku tak sengaja melihat ke arah pohon bambu yang ada di samping dapur.

Seperti ada sepasang mata yang sedang menatapku di balik pohon bambu tersebut. Buru-buru aku menyalakan lampu dapur, kemudian dengan setengah berlari aku kembali ke depan dan masuk ke ruangan dalam klinik.

***

Jarum jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh malam, aku sedikit merasa lega. Karena itu artinya, sebentar lagi Bidan Ara akan datang, dan aku bisa segera bergantian shift dengan dia, lalu pulang. Begitu pikirku. Meskipun aku merasa, waktu sepertinya lama sekali berjalan. Jarum jam seakan begitu lambat berputar. Entahlah kenapa bisa seperti itu.

Hari itu aku terpaksa tidak mandi, sebab tak membawa pakaian ganti. Lengket sekali rasanya badan ini, tapi mau bagaimana lagi. Aku hanya membasuh muka, kedua tangan dan kaki untuk membuang keringat dan mengurangi rasa lengket.

Aku tak menyangka sama sekali, kalau akan langsung diterima bekerja oleh Bu Anggi dan diminta untuk langsung dinas sore di Klinik Bersalin Kencana ini. Beruntung aku selalu membawa pembalut jika sedang datang bulan, untuk ganti. Jadi tak begitu risih, karena daerah kewanitaan-ku selalu bersih.

Aku kembali ke depan klinik, setelah menyalakan semua lampu yang ada, sambil menunggu Bidan Ara datang.

Saat tiba di depan, tampak seorang perempuan muda sedang duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang periksa. Usianya mungkin belum ada 20 tahun, sebab terlihat masih sangat muda. Dia sedang menggendong bayi.

"Bu, saya numpang duduk sebentar ya," kata perempuan itu, setelah aku berada di dekatnya.

"Oh ... iya, Mbak. Silakan. Memangnya Mbak dari mana dan mau ke mana? Kok malam-malam ada di sini?" tanyaku, seraya duduk di sebelahnya.

"Saya dari rumah sakit, mau pulang," Bu.

"Siapa yang sakit, Mbak? Kenapa nggak ada yang mengantar?" tanyaku sambil melihat sekeliling, siapa tahu ada orang lain selain perempuan yang ada di sampingku ini.

"Tadi saya sama suami, tapi motornya mogok di tengah jalan. Jadi saya disuruh pulang duluan oleh suami saya, nanti katanya dia akan menyusul," jawab ibu muda itu.

"Oh ... gitu. Terus Mbak mau pulang ke mana?"

"Saya mau pulang ke desa Alang-alang, Bu. Panggil saja saya Sekar, jangan Ibu."

"Desa Alang-alang? Di sebelah mana itu? Bukankah sekarang ini kita juga sedang berada di Desa Alang-alang?" tanyaku.

"Di sana, Bu," jawab Sekar sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah jalan belakang.

"Memangnya di sana ada desa, Sekar?" tanyaku penasaran.

"Ada, Bu. Sekitar tiga kilometer, nggak jauh sih dari sini. Justru pusat Desa Alang-alang itu ada di sana. Kantor Kelurahan-nya juga tempatnya di sana."

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Sekar. Kami lalu saling diam.

Berarti Desa Alang-alang ada di sekitar sini, tapi kenapa seharian tadi aku tak melihat seorang pun berjalan melewati depan klinik? Atau ada jalan yang lain, selain melewati jalan ini? Kapan-kapan aku akan melihat-lihat suasana di sekitar klinik ini, biar tahu jalan, aku membatin.

"Bu, bisa nggak minta tolong, antarkan saya pulang sampai rumah?" tanya Sekar tiba-tiba, setelah beberapa saat kami saling diam.

Aku tak langsung mengiyakan permintaan Sekar. Jarak tempuh tiga kilometer memang tidak terlalu jauh, jika jalanan beraspal. Tapi bagaimana jika jalan tanah yang sulit untuk dilewati, seperti jalan dari depan sana menuju ke klinik? Secara aku belum pernah melalui jalan itu. Lagipula sudah malam dan gelap. Terus terang aku merasa agak khawatir.

Lalu bagaimana dengan klinik ini jika kutinggalkan? Bagaimana jika tiba-tiba ada pasien yang datang berkunjung ke sini, saat aku sedang mengantarkan Sekar pulang? Walaupun seharian tak ada seorang pasien pun yang datang berkunjung.

Tapi jika tidak kuantarkan pulang, kasihan bayi dalam gendongan Sekar, dia pasti sangat kelelahan. Aku melihat dia masih terlelap tidur. Berbagai macam pertimbangan melintas di kepala. Antara mendahulukan kepentingan orang lain atau klinik.

"Apa nggak dicoba dulu menghubungi suamimu, Sekar?" tanyaku, setelah beberapa waktu.

"Saya nggak bawa HP, Bu."

"Kamu bisa pakai HP saya saja."

Aku kemudian mengambil HP dari dalam saku baju.

"Tapi saya nggak hafal nomor HP suami saya, Bu."

Kembali aku diam. Kasihan juga Sekar dan bayinya, kalau harus menunggu sampai suaminya datang. Entah berapa lama lagi.

"Atau begini saja, nanti saya akan mengantarkan kamu pulang jika memang suamimu belum datang juga. Tapi tunggu teman saya yang dinas malam datang dulu ya, biar di klinik ini nggak kosong."

"Masih lama ya, Bu?"

Aku melihat jam yang melingkar di tangan kiri. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh lewat 15 menit. Berarti masih sekitar 45 menit lagi Bidan Ara datang.

"Sebentar lagi, sekitar 45 menit," jawabku.

"Baiklah kalau gitu, saya akan menunggu," kata Sekar dengan wajah pasrah.

Tiba-tiba bayi dalam gendongan Sekar menangis. Sekar berusaha untuk menenangkan, tapi bayi itu terus saja menangis, bahkan tangisnya semakin lama semakin kencang.

"Bu, bisa minta tolong antarkan saya pulang sekarang nggak? Kasihan anak saya," tanya Sekar dengan wajah memelas. Dia berkata dengan nada suara memohon. Tampak dia sangat kebingungan.

Aku menarik napas dalam. Merasa kasihan melihat Sekar dan bayinya.

"Baiklah, ayo saya antar pulang, Sekar."

Akhirnya aku mengiyakan permintaan Sekar untuk mengantarnya pulang. Tak tega juga rasanya melihat bayi dalam gendongan Sekar terus saja menangis. Dia pasti kelelahan dan merasakan ketidaknyamanan. Lagipula sebentar lagi Bidan Ara akan datang, klinik tak terlalu lama aku tinggal.

"Sebentar saya akan menulis pesan untuk teman saya dulu ya."

"Iya, Bu. Terima-kasih banyak sebelumnya."

Aku masuk ke ruangan dalam klinik, menuju meja pendaftaran, mengambil selembar kertas dan bolpoin. Kemudian menulis pesan untuk Bidan Ara, mengatakan kalau aku sedang mengantar Sekar pulang ke desa Alang-alang.

"Ayo Sekar, saya antar pulang sekarang," kataku sambil menghidupkan mesin motor, setelah selesai menulis pesan untuk Bidan Ara.

Sekar naik di jok belakang, tas yang dibawanya kutaruh di depan. Perlahan sepeda motor yang kami kendarai meninggalkan halaman depan Klinik Bersalin Kencana.

"Apa rumahmu masih jauh?" tanyaku pada Sekar, setelah beberapa lama kami dalam perjalanan.

"Nggak kok, Bu. Sebentar lagi sampai."

Dalam perjalanan kami tak banyak bicara. Aku hanya ingin segera sampai di rumah Sekar, kemudian kembali lagi ke klinik.

"Bu sampai di sini saja mengantarnya," kata Sekar tiba-tiba.

"Loh ... kenapa nggak sampai rumah? Memangnya rumah kamu di mana?" tanyaku heran sambil mematikan mesin motor.

"Di sana, Bu. Tinggal sedikit lagi, jalannya agak sulit, nanti malah Bu Bidan nggak bisa pakai motornya."

Kuperhatikan arah jalan yang ditunjuk oleh Sekar. Terlihat ada beberapa sinar lampu dari kejauhan.

"Betul hanya sampai sini saja saya mengantarnya?" tanyaku memastikan.

"Iya, Bu. Saya bisa jalan sendiri sampai rumah kok. Terima-kasih sekali lagi, Bu Bidan sudah mau mengantarkan saya pulang."

"Iya, sama-sama, Sekar. Kalau begitu saya langsung pulang lagi ke klinik ya."

"Iya, Bu. Hati-hati di jalan."

Aku kemudian menghidupkan mesin motor dan pergi meninggalkan Sekar.

***

Sesampainya di klinik, aku melihat ada seorang perempuan sedang duduk di kursi panjang.

Mungkin itu Bidan Ara, aku bernapas lega. Akhirnya bisa segera pulang dan beristirahat.

"Assalaamu'alaikum, Mbak."

Aku menyapa setelah mematikan mesin motor.

Perempuan itu tak menjawab, dia hanya tersenyum. Lagi-lagi senyum menakutkan yang kulihat, sama seperti senyum Bu Anggi dan Bidan Eka.

"Ini Mbak Ara ya? Saya Dewi, Mbak." Aku memperkenalkan diri padanya.

"Iya, tadi Eka sudah bilang kalau ada bidan baru yang dinas sore."

Bidan Ara menjawab sambil menatap mataku dengan tajam. Aku bergidik, mengerikan sekali sorot matanya, lebih menakutkan dari Bidan Eka.

Kulihat jam di tangan, masih lima belas menit lagi waktunya bergantian shift.

Aku kemudian masuk ke ruang dalam klinik, bermaksud akan mengambil tas dan bersiap-siap pulang.

Tiba-tiba datang seorang pasien ibu hamil. Bidan Ara langsung membawanya ke ruang bersalin.

Aku berjalan keluar, akan memanggil keluarga pasien itu untuk melakukan anamnesa. Tapi tak terlihat siapa pun di luar.

Dengan perasaan aneh dan heran, aku kemudian segera menyusul Bidan Ara ke ruang bersalin.

***

Bersambung

Di part 6 nanti, saya akan menulis POV Bu Tuti (ibunya Bidan Dewi, yg mencarinya karena sudah seminggu Bidan Dewi nggak pulang)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel