Bab 5 Aku Ingin Bercinta Dengan Kamu, Sayang!
“Aku suka sama kamu.”
Pernyataan itu cukup membuat jantung Dini berdegup kencang. Pipi Dini langsung berubah jadi merah. Napasnya memburu. Ngos-ngosan, seperti habis dikejar hantu.
Padahal niat Dini ke rumah Anton hanya meminta flashdisk-nya, untuk kepentingan presentasi besok. Tapi apa dayanya, ternyata takdir mempunyai rencana yang lebih besar daripada itu.
Melihat Dini hanya terdiam, Anton mulai bicara lagi. Anton tersenyum. “Kenapa kamu diem aja? Jawab aku dong.”
“Aku harus jawab apa?” Tanya Dini bingung.
Ada benarnya juga, kalau Anton cuma melontarkan pernyataannya, bukan pertanyaan.
“Ya udah kalo begitu. Sekarang aku yang nanya kamu. Apa kamu mau jadi pacar aku?” Tanya Anton to the point.
Deg! Deg! Jantung Dini malah semakin berdegup kencang. Sebentar lagi akan copot sepertinya.
“Kenapa kamu tiba-tiba mau jadi pacar aku? Bukannya kamu….. Kamu sudah balikan sama Rani?” Tanya Dini yang masih tak percaya.
Yang ada di dalam pikiran Dini saat ini adalah mana mungkin Anton suka sama dirinya? Bisa jadi Anton cuma kesambet setan, apalagi rumah Anton lagi sepi sekarang ini.
“Siapa yang bilang begitu? Aku nggak pernah balikan sama Rani.”
“Terus yang di kantin tadi itu apa?”
Deg! Kini giliran Anton yang di skak. Dia menghela napasnya. “Oh, yang tadi itu sih emang aku sengaja. Aku emang sengaja bikin kamu cemburu. Abisnya aku kesel banget. Ngapain si Martin deket-deket sama kamu?”
Dini tersenyum. “Jadi, gara-gara itu?”
“Iya.” Kata Anton. “Jadi, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Dini terdiam sejenak. “Aku nggak tau. Aku bingung. Aku ngerasa nggak ada sesuatu yang istimewa dalam diri aku. Jadi, aku bingung kalo tiba-tiba kamu ngomong suka sama aku.”
“Siapa bilang nggak ada yang istimewa dalam diri kamu? Kamu istimewa bagi aku. Walaupun menurut kamu nggak ada. Tapi, di mata aku, kamu itu istimewa. Beda dari yang lainnya.”
“Kamu bohong!” Kata Dini malu-malu.
“Apa kamu mau buktinya?”
“Nggak. Nggak usah. Aku percaya kok sama kamu.” Kata Dini sambil tersenyum. “Iya. Aku mau jadi pacar kamu.”
Anton tersenyum lebar, kemudian memeluk Dini. Pelukan Anton cukup erat, seolah-olah Dini akan dibawa angin kalau tidak dipeluk erat-erat.
Dini tersenyum. “Apa kamu kangen sama aku? Kok peluknya erat bener?”
Anton menatap mata Dini. “Sebenernya aku mau bilang aku suka kamu udah lama banget. Tapi, entah kenapa aku nggak berani.”
“Emangnya sejak kapan?”
“Sejak aku masih SMP. Kelas sembilan, habis UN matematika, eh, aku malah jadi suka sama kamu. Tapi, kayaknya lebih lama dari itu sih, cuman dulu aku nggak sadar.”
Ah, Dini jadi teringat. Dulu Dini memang sering mengajari Anton matematika. Kasih les gratis. Maklum otak Anton tidak seencer otak Dini. Terutama dibidang hitung-menghitung. Dapat nilai 50 saja, Anton sudah senang sampai terbang ke awan.
“Tapi, aku liat, kamu udah punya pacar?”
“Iya, tapi aku nggak pernah tulus sama mereka. Buat have fun aja. Ada enaknya juga sih punya pacar, ada temenin. Kemana-mana nggak sendirian. Kalo aku mau cerita, ada yang dengerin.” Jawab Anton apa adanya.
“Kasian ya….. Masa kamu mau jadiin mereka mainan?”
“Biarin aja. Mereka juga nggak tulus sama aku.”
“Kamu kok kayak peramal sih? Kamu tau darimana kalo mereka nggak tulus sama kamu?” Canda Dini.
“Banyak. Dari sikap mereka, gerak-gerik mereka. Semakin sering kamu pacaran dan interaksi sama orang lain, kamu semakin bias bedain, mana yang tulus, mana yang nggak.”
“Kamu….. Kamu nggak bakal jadiin aku sebagai mainan kamu, kan?”
“Aku nggak akan buat kayak gitu sama kamu. Karena aku nggak akan nyakitin orang yang aku cinta.” Jawab Anton.
Tak lama kemudian mama dan Yeni pulang sambil membawa kantong-kantong berisi belanjaan yang jumlahnya lumayan banyak.
“Ada Dini toh?” Tanya mama heran.
“Maaf, tante. Saya ke sini nggak lama kok. Saya cuman minta flashdisk yang dipinjem Anton kemaren.” Kata Dini gugup.
Mama tersenyum. “Mau lama juga nggak apa-apa kok. Kayak sama orang lain nggak kenal aja.”
Dini cuma tersenyum kikuk.
Tak lama kemudian, Dini pamit pulang. Anton menemani Dini sampai ke rumahnya. Tak sampai sepuluh menit juga sampai. Sesampainya di rumah Dini, Anton mencium kening Dini.
“Jangan lupa mimpiin aku ya.” Kata Anton.
Dini cuma tersenyum. Anton kembali bicara. “Besok abis pulang kuliah, apa kamu ada acara?”
Dini menggeleng. “Nggak ada.”
“Apa kamu mau nonton bareng aku?”
“Boleh. Tapi, kali ini beneran, kan? Kamu nggak bohongin aku, kan?”
Anton tersenyum. “Beneran dong. Masa boongan.”
*****
Keesokan harinya, tak seperti biasanya, Anton membawa mobil sport merah miliknya ke kampus. Biasanya dia selalu naik motor.
Selain supaya cepat sampai, Anton malas kalau disuruh menyetir sendirian, malah jadi mengantuk. Sudah itu, karena jalanan macet, Anton jadi capek kalau harus menyetir sendirian. Tapi, karena hari ini dia ditemani Dini, andaikan harus menyetir berjam-jam tanpa henti pun, dia rela.
Seluruh mata langsung tertuju pada Anton. Maklum, mungkin Anton satu-satunya mahasiswa yang memakai mobil sport sebagai kendaraan sehari-hari. Hampir tidak pernah malah.
Tahu dirinya jadi pusat perhatian orang-orang, Anton cuek saja. Pikirannya hanya tertuju pada Dini saja sekarang.
“Widih! Mau kemana, bro? Keren amat!” Seru Revan.
“Mau pergi abis kuliah nanti.”
“Mau kemana emangnya?” Tanya Revan lagi.
Anton menaikkan satu alisnya. “Kepo banget sih lo ini!”
Revan menyeringai. “Ada cewek baru ya? Yang mana? Jurusan apa?”
Anton tak menjawab. Revan kembali bicara. “Congrats ya! Emang bener, kalo lo nggak bisa sebulan nggak pacaran.”
Anton sengaja tak mau cerita pada teman-temannya kalau dia sudah pacaran dengan Dini. Apalagi pada orangtuanya. Karena menurut Anton, Dini adalah orang yang spesial. Dia mau menyimpannya sendiri. Biar orang-orang tahu dengan sendirinya.
Selesai kuliah, Anton langsung menepati janjinya. Dia membawa Dini nonton film.
Selesai nonton, keduanya tak langsung pulang. Mereka mengobrol dulu. Salah satu alasan mengapa dia membawa mobil kesayangannya hari ini adalah supaya ada tempat mengobrol dengan Dini, di dalam mobil tentunya.
“Gimana tadi presentasinya?” Tanya Anton saat duduk di kursi kemudi.
Sementara Dini duduk di kursi penumpang. “Sukses kok. Pak dosen sangat suka katanya.”
“Bagus deh kalo gitu.”
Dini terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Anton, aku mau tanya. Boleh?”
Anton tersenyum. “Kamu mau Tanya apa? Hm?”
“Apa kamu sudah pernah ‘gituan’ sama mantan kamu?” Tanya Dini malu-malu.
Anton mengernyitkan keningnya. “Maksud kamu ‘gituan’?”
“ML, Ton. Making Love……”
Anton menggelengkan kepalanya. “Belum pernah.”
“Kenapa emangnya?”
“Aku pikir kamu udah pernah. Soalnya banyak temen-temen aku bilang, katanya mereka udah pernah seperti itu.” Kata Dini.
“Karna aku nggak mau ngelakuin itu sama orang yang nggak aku cinta. Dan satu lagi, aku nggak mau merawanin anak orang, Din. Yah, meskipun banyak dari mantan aku yang udah nggak perawan juga.”
“Kok kamu bisa tau?”
“Mereka yang ngomong sendiri sama aku. Ya, aku sih dengerin aja.”
“Apa mereka nggak pernah minta yang ‘begituan’ sama kamu?”
“Pernah. Tapi, nggak semua juga.”
“Terus? Apa kamu kasih?”
“Kan aku udah bilang dari awal. Aku nggak mau lakuin ‘gituan’ sama orang yang nggak aku cinta.”
Dini menggigit bibir bawahnya. Rupanya dia sedang nervous.
Anton menyeringai. “Kamu kenapa? Kamu mau ML sama aku?”
“Ih, Anton! Apaan sih kamu ini?” Kata Dini yang pipinya sudah semerah tomat.
“Aku mau kok making love sama kamu, Din.” Goda Anton.
“Ih, Anton! Kalo kamu masih mesum aja, aku tinggal nih!” Ancam Dini.
Anton tersenyum. “Kamu tenang aja. Aku akan tunggu kamu. Pokoknya sebelum kamu siap, aku nggak akan maksa kamu.”
“Kalo sampe kita udah nikah nanti, terus aku masih belum siap, gimana?”
“Hm…. Ua udah, aku ‘main sendiri’ aja pake tangan. Atau pake buah semangka, terus aku bolongin tengahnya.”
Dini tersenyum. “Kenapa harus buah semangka?”
“Biar dingin. Jadi, dingin-dingin gimana gitu?”
“Ih, Anton nakal, ih!” Canda Dini.
Anton menyeringai. “Ya udah. Daripada ‘maen’ pake semangka atau tangan sendiri, mending pake tangan kamu aja. Gimana? Itu lebih asyik kayaknya.”
Dini mencium pipi Anton. “I love you, Antonku yang mesum. Ini masih pagi, jadi jangan ngomong yang aneh-aneh. Pamali!”
Anton tersenyum. “Udah malem nih. Aku anterin kamu pulang aja sekarang, gimana? Takut malah kebablasan malah nanti.”
Dini membalas senyum Anton. “Boleh. Tapi aku mau mampir dulu ke KFC. Aku mau belie s krim.”
sebelum pulang, Anton mengantarkan Dini ke salah satu restoran cepat saji yang paling terkenal itu. Dari luar, antrian terlihat cukup panjang. Ramai sekali. Sesak dan banyak orang. Maklum saja, hari ini adalah hari Jum’at, besok libur.
“Kamu tunggu di sini aja ya. Biar aku yang beli.” Kata Dini.
“Yakin kamu nggak mau aku temani?”
Dini mengangguk. “Iya. Nggak usah.”
Sepuluh menit telah berlalu. Karena menunggu terlalu lama dan juga gerah, akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri Dini. Dan benar saja, Dini masih mengantri.
Tapi Dini tidak sendirian. Dini sedang asyik mengantri sambil mengobrol dengan salah satu orang yang paling tidak disukai sama Anton, yaitu Martin Darmawan. Kenapa Anton harus bertemu dengan laki-laki itu lagi?
“Lho, Anton? Kok kamu ada di sini juga?” Tanya Dini.
“Iya. Aku gerah, lama-lama di dalam mobil.” Jawab Anton dingin.
Dini mengenalkan Anton pada Martin. “Anton, kenalin, ini Martin, senior kita yang baru aja lulus.”
Martin mengulurkan tangannya. “Martin Darmawan. Panggil aja Martin.”
Anton tak membalas uluran tangan Martin. “Anton Wiranata. Panggil Anton aja cukup.”
Melihat Anton yang sudah mulai jutek, Dini tahu pasti Anton sedang marah. Bagaimana tidak? Jelas-jelas sebelumnya Anton sudah mengaku pada Dini, kalau dia cemburu pada Martin.
“Anton Wiranata? Kamu anak dokter Angga Wiranata itu ya?” Tanya Martin.
“Iya. Beliau papa saya.” Jawab Anton. Wajahnya masih sama, jutek terhadap Martin.
Merasa tak enak pada Martin, akhirnya Dini angkat bicara. “Kayaknya antriannya masih lama. Kita balik duluan aja ya. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendirian di sini?” Tanya Dini pada Martin.
“Ah, iya. Bagus kalo gitu. Kita balik duluan aja.” Tambah Anton.
Martin tersenyum. “Iya. Aku nggak apa-apa. Kalian duluan aja. Lagipula aku nggak sendirian di sini. Temen aku bentar lagi juga dateng.”
Dini mengernyitkan keningnya. “Siapa?”
“Ah, itu dia udah dateng.” Kata Martin sambil menunjuk.
Anton dan Dini langsung beralih menatap ke arah yang ditunjuk Martin. Seorang perempuan cantik berpenampilan rapi dan necis datang menghampiri mereka. Rambutnya panjang sebahu. Hidungnya mancung. Matanya besar dan kulitnya putih bersih. Kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya perempuan itu keturunan kaukasia alias bule.
Anton dan Dini sangat terkejut melihat siapa perempuan yang dimaksud Martin tadi. Begitu pula dengan perempuan itu.
“Brenda?!” Kata Anton dengan tatapan tak percaya.
“Brenda?! Kamu kenal cewek itu?” Tanya Dini.
Dia adalah Brenda Darmawan, mantan kekasih Anton. Perempuan yang sempat mengisi kekosongan hati Anton. Brenda adalah satu-satunya dari sekian banyak mantan Anton yang pernah Anton cintai dengan tulus.
Tapi, dia juga perempuan yang mengkhianati dan meninggalkan luka di hati Anton.
Bersambung……….
